🐰 49. Pemgadilan. 🐰

879 88 33
                                    



49. Pengadilan

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰



Semenjak Tuan Yarendra keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, Rasya dan juga Illy tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Keduanya sama-sama tinggal di rumah keluarga Tuan Yarendra. Hal itu dilakukan karena permintaan Illy beberapa waktu lalu mengenai perceraian.

Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Ali saat itu. Ia selalu melayani Illy bak dia adalah suami siaga di mana sang istri tengah hamil. Beberapa kali Desi yang memang marah pada Illy menegur putra bungsunya akan sikap berlebihan itu.

Pernah mulut Desi kembali berulah dengan kata-katanya yang sangat menyakiti Illy. "Katanya dia hamil dengan kamu, yang berarti bukan suaminya. Jangan-jangan, itu juga bukan anak kamu melainkan Pria lain."

"Mama!" Ali yang mendengar itu tentu saja marah. Bahkan ia sampai berdiri dan membanting sendok pada tangannya.

Jangankan Ali. Rasya dan Tuan Yarendra pun tidak habis pikir dengan Desi. Putra sulung keluarga ini menghela napas dalam. "Ma. Aku tahu bagaimana Illy," jawabnya.

"Tahu yang bagaimana ini?"

"Ma. Cukup." Tuan Yarendra berujar. Semuanya pun diam pun dengan Desi yang hanya mencebikkan bibir dan kembali melanjutkan makannya.

Illy? Ia tidak banyak bicara. Hanya diam menerima caci maki dari Desi. tu adalah hal segelintir kegaduhan yang terjadi.

Kini, kelima orang itu sudah duduk bersama di ruang keluarga Yarendra. Pria yang menjadi kepala keluarga itu menatap satu persatu putra dan putri mereka.

"Illy," panggilnya dengan suara berat. Illy yang mendengar itu hanya menunduk dan meremas tangannya di atas pangkuan. "Papa mau bertanya soal permintaan kamu waktu Papa masih di rumah sakit. Apa kamu yakin soal itu?"

Illy mengangguk pelan dan samar. "Iya, Pak," jawabnya lirih.

Kakak beradik putra Yarendra sama-sama menunduk. Jika Rasya hanya diam dengan mimik datar, maka Ali menarik senyum di bibir.

Yarendra menghela napas dalam. "Baiklah. Papa akan menuruti permintaan kamu."

"Setelah ini, cari lagi pemuda kaya yang mau menerima kamu yang hamil ini, ya," ucap Desi yang sejak kemarin terus menyindir apa keputusan Illy.

"Mama!" tegur Desi.

Perempuan paruh baya yang selalu diam beberapa hari ini jika ditegur sang suami, kini tidak lagi. "Terus saja, Pa. Terus saja Papa membela menantu tercinta Papa ini." Ia bangkit dan memandang Illy tajam. "Setelah ini, jangan lagi menampakkan wajah di depan saya. Saya berjanji akan menikahkan Rasya dengan wanita yang lebih dari kamu."

"Mama!" Tidak ada jawaban dari Desi. Perempuan itu langsung pergi begitu saja dari ruang keluarga.

Illy bangkit, duduk bersimpuh di bawah Yarendra. "Sayang." Illy menolak bangkit, ia menggenggam tangan pria yang selama ini sudah merawatnya sedari kecil sejak kedua orang tuanya meninggal.

"Illy minta maaf kalau Illy sudah mengecewakan Papa. Maafkan Illy kalau Illy menyakiti Papa," ucap Illy dengan linangan air mata.

Tuan Yarendra berkaca, ia menggeleng. "Tidak Sayang, Tidak."

"Terima kasih selama ini Papa sudah mau menampung Illy," lanjutnya dengan suara serak.

"Tidak. Apa yang kamu katakan. Kamu putri Papa yang paling Papa sayangi." Iyalah. Orang perempuan sendiri. Tuan Yarendra membawa tubuh Illy ke dalam pelukannya. Lebur dalam kesedihan yang menyayat perasaan.

***

"Mama kenapa?" tanya Rasya ketika melihat sang Mama yang terus memijit kepalanya. Ia duduk di samping perempuan yang telah melahirkannya itu.

Desi melirik sekilas lalu mendengus. "Kepala Mama sakit mikirin kalian." Ia mendesis dan semakin menekan kepalanya.

"Ma. Rasya antar ke rumah sakit, ya?" Desi hanya mengangguk. Putra sulungnya membantu berjalan ke arah mobil.

***

"Tante." Panggilan seseorang membuat Desi menoleh. Senyum ya melebar ketika mendapati seorang wanita yang hampir dua bulan ini tidak bertemu.

"Tasya." Menampik rasa pening di kepala, ia merangkul wanita itu. "Apa kabar kamu? Lama tidak bertemu semakin cantik saja," pujinya.

Tasya terkekeh. "Baik, Tan. Tante ini masih suka memuji." Keduanya tertawa bersama. "Ngomong-ngomong Tante kenapa bisa ada di sini? Dan juga ... Tante sendiri?”

Desi tersenyum. "Tante kelelahan saja. Tante sama Rasya, dia sedang menebus obat." Ia melihat wanita di depannya hanya mengangguk sekilas.

"Kalau kamu, kenapa bisa ada di sini?"

"Oh. Tasya mau ke dokter kandungan, Tante." Jangan tanya bagaimana terkejutnya Desi dengan jawaban Tasya.

"Dok—dokter kandungan?" Tasya mengangguk. "Kamu hamil?" Lagi-lagi wanita itu mengangguk. "Kamu sudah menikah?"

Tasya tersenyum. "Sebulan yang lalu, Tan."

Semakin hancurlah perasaan Desi. Masih ingat bukan kalau ia berusaha menjodohkan Rasya dan Tasya? Pandangan Desi mengedar. "Kok kamu sendiri?"

"Sengaja, Tante. Biar nantinya bisa menjadi hadiah suami aku yang beberapa hari lagi ulang tahun." Desi semakin menenggelamkan perasaan.

"Ma." Rasya kembali dengan kantung plastik berisi obat milik mamanya. Pandangannya bertemu dengan Tasya. "Tasya apa kabar?"

"Baik," jawabnya. Pandangan wanita itu beralih pada Desi. "Kalau begitu Tasya pamit duluan ya, Tante." Saling berpelukan sebentar, mereka pun berpisah.

Desi hanya menatap kepergian Tasya sendu. Rasya yang menyadari itu bertanya. "Kenapa, Ma?" tanyanya.

"Impian Mama pupus," jawabnya dengan memandang Rasya sendu. Pria itu hanya melipat kening tanda tidak mengerti. "Tasya ternyata sudah menikah."

Rasya menarik napas dalam. "Mama ini. Masih saja berusaha menjodohkan Rasya dan Tasya."

"Tapi, kan—"

"Sudah ayo pulang." Rasya segera menggandeng lengan mamanya untuk mengajak pulang agar segera bisa istirahat.

***

Illy dan Rasya saat ini sama-sama duduk di kursi persidangan. Hari ini adalah hari terakhir sidang perceraian mereka. Setelah beberapa kali proses mediasi, akhirnya hari ini keduanya akan menerima hasil putusan sidang terakhir.

Rasya dan Illy sama-sama menunduk menunggu hakim berbicara. Di belakang sana, sudah ada keluarga mereka. Ali dengan rasa kemenangan dan bahagianya. Yarendra dengan pandangan sendunya. Desi dengan pandangan kebenciannya. Dan juga Clara yang memandang dengan tatapan tak terbacanya.

Hingga suara ketukan palu terdengar tiga kali menandakan Rasya dan Illy telah resmi bercerai. Illy menghela nafas dalam. Entah kenapa ada rasa ... kelegaan dalam dirinya. Setelah ini, tidak akan ada lagi hati yang terluka.

Desi yang melihat itu segera keluar dari ruang sidang dengan keadaan marahnya. Sedangkan Ali, ia tersenyum dengan lebarnya. "Kamu pasti bahagia sekarang. Karena Illy sudah bercerai dengan kakak kamu." Suara Papanya membuat Ali menoleh.

"Oh. Jangan ditanya betapa bahagianya aku, Pa," jawabnya dengan senyuman.

"Kamu memang sudah tidak waras."

"Terserah apa kata Papa." Ali pergi dari hadapan Papanya. Meninggalkan ruang sidang untuk pergi ke suatu tempat dengan perasaan bahagianya.

Illy dan Rasya saling berpandangan. "Maafkan aku, Kak."

"Seharusnya aku yang meminta maaf, Ly. Maaf sudah membawamu pada hubungan yang rumit ini." Rasya dan Illy berpelukan sejenak.

"Aku antar pulang?" Illy mengangguk.

Ya. Semenjak mereka memutuskan untuk bercerai, Illy tak lagi tinggal di rumah mereka yang dulu. Melainkan di sebuah apartemen yang dibelikan Rasya. Itu pun dengan pemaksaan Rasya.

Saat itu Illy menolak. Akan tetapi, dengan ancaman Illy yang harus tinggal di rumah orang tua Rasya jika Illy tak menerima apartemen dari Rasya, akhirnya Illy pun menyetujuinya. Dari pada ia harus tertekan jika harus tinggal di rumah orang tua Rasya. Bukannya apa, Illy hanya tidak mau mengambil risiko dengan kehamilannya.

Dan mengenai kehamilannya, Rasya juga tetap menyanggupi kebutuhan Illy saat hamil maupun setelah melahirkan nanti. Terlepas dari siapa ayah dari bayi yang dikandung oleh Illy. Illy juga sempat menolak. Akan tetapi, dengan seribu penjelasan dari Rasya, akhirnya Illy pun menerimanya.

Toko Roti dan toko kue pun juga seperti itu. Karena Rasya membangunnya untuk Illy, Rasya pun meminta Illy untuk tetap mengelolanya. Dengan catatan dari Illy, Illy ingin membagi hasilnya dengan Rasya. Kali ini, Rasya mengiyakannya. Karena Illy sudah menuruti keinginan Rasya yang sebelumnya.

Tak ada suara obrolan dalam mobil Rasya. Hanya ada keheningan di dalamnya. AEntahlah apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Yang jelas, semuanya telah berakhir.

"Aku duluan, kak." Illy berpamitan pada Rasya saat mobil Rasya sudah berhenti di depan apartemen tempat tinggal Illy.

Pandangan Illy jatuh pada Clara yang saat ini duduk di samping Rasya. "Cla. Aku duluan." Tidak ada jawaban dari Clara. Wanita itu hanya mengangguk singkat tanpa menoleh pada Illy. Tak ingin lebih lama dalam keadaan yang seperti ini, Illy pun segera turun. Tanpa menunggu kepergian mobil Rasya, Illy berlalu begitu saja.

Ali memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah megah. Memakai kacamata dan mimik wajah dingin ia melangkah menuju pintu utama.

Seorang wanita tua yang Ali kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini mempersilahkannya untuk masuk. Ali segera menuju ke tempat di mana keberadaan mereka setelah asisten tadi memberitahunya.

Ali melihat pasangan paruh baya yang sedang bercengkerama di ruang keluarga. "Om, Tante," sapanya yang langsung mendapat perhatian dari Pasangan paruh baya itu, mengalihkan pandangannya ia tidak mendapati putri semata wayang mereka.

"Eh Ali. Tumben ke sini? Zizi pasti senang sekali. Tante panggil dia dulu, ya." Ibunya Zizi tampak terlihat antusias dengan kedatangannya. Membuat Ali tersenyum miring dengan apa yang sebenarnya ia niatkan untuk datang kemari.

"Ayo, Li. Duduk!" Ali duduk di kursi yang berhadapan dengan Papanya Zizi. Menguatkan keyakinan akan apa yang ingin ia sampaikan.  "Ada yang ingin saya sampaikan, Om."

Bram. Papanya Zizi merasakan adanya sesuatu yang akan terjadi. Namun, Ia tetap menyikapinya dengan tenang.  Tidak lama, suara langkah kaki yang berlari terdengar dari arah tangga. Terlihat Zizi dengan wajah bahagianya menatap kedatangan Ali.

"Ali. Aku rindu kamu." Zizi memeluk lengan Ali begitu saja. Namun, Ali berusaha melepas pelukan itu dengan pelan yang berakibat Zizi yang cemberut. Semua itu, tidak lepas dari pandangan Bram.

Mama datang dengan minumannya. Setelah duduk, Ali siap untuk memulai pembicaraan. "Ada apa, Nak Ali?"

"Begini Om, Tante, Zizi. Maaf sebelumnya. Kalian semua sudah tahu kalau rencana perjodohan saya dan Zizi adalah rencana Mama. Saya sudah menolak karena saya mencintai orang lain. Tapi, karena Mama selalu memaksa, saya mencoba menerimanya. Tapi— " Raut wajah Zizi dan Mamanya sudah berubah seketika.

Berbeda dengan Bram, ia tetap dengan wajah tenang. Sejujurnya, wajah itulah yang membuat Ali was-was. Akan tetapi, pukulan akan ia terima setelah ini. Bahkan tusukan benda tajam pun juga siap ia terima. Asal, setelah ini ia bisa bebas dari Zizi dan bisa bersama Illy.

"Tapi maaf, Om. Saya tetap tidak bisa mencintai Zizi. Saya tidak bisa menikahinya. Saya berbicara ini karena saya takut akan menyakiti Zizi nantinya jika saya tidak bicara yang sebenarnya pada Om dan keluarga. Saya hanya tidak ingin terlambat, Om," jelasnya.

"Tidak!!!" Zizi sudah berteriak dan berdiri. Menampakkan wajah merahnya yang sebentar lagi akan tumpah tangisnya. "Aku tidak mau membatalkan perjodohan ini. Aku tetap mau nikah sama kamu. Tidak peduli siapa yang kamu cintai."

Ali menarik nafas dalam. Ia tahu, Zizilah yang akan menghambat jalannya ini. Ok Ali. Stay cool. Jangan buat segalanya jadi berantakan. Buat mereka mengerti. Ucap Ali dalam hati yang mencoba meredamkan amarahnya. "Tapi, Zi—"

"Pa. Pokoknya aku enggak mau membatalkan perjodohan ini. Aku tetap mau nikah sama Ali." Bram hanya diam saja. Membuat Ali menjadi gusar.

"Iya, Nak Ali. Kamu tidak bisa membatalkan rencana ini begitu saja dong." Ali semakin memandang dua wanita yang Ali anggap iblis di depannya ini tidak suka.

"Papa setuju dengan Ali." Ucapan Bram membuat Ali bernafas lega. Namun, tidak bagi istri dan anaknya yang memandang Bram tidak terima.

"Papa!"

"Ali benar, Zi. Jika dalam pernikahan kalian nanti tidak ada cinta, kalian tidak akan hidup bahagia." Zizi menyentakkan kakinya dan segera berlalu ke kamarnya.

Istri Bram memandang suaminya tak percaya. Tanpa kata, ia lebih memilih untuk menyusul putrinya. "Terima kasih Om Bram sudah mengerti saya."

Bram mengangguk. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Om. Saya lega bisa mengutarakan kejanggalan yang saya rasa."

"Itu lebih baik. Daripada semuanya terlambat." Ali mengangguk dan segera berpamitan. Meninggalkan Bram yang menampakkan senyum tidak terbaca.

Setelah ini, Ali akan menyiapkan acara kecil untuk melamar Illy. Acara kecil yang romantis.

***

Zizi menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia menangis merasa dikhianati oleh Ali. Pernikahan yang begitu ia impikan dihancurkan begitu saja oleh Ali. Usapan lembut di kepalanya membuat Zizi mendongak. Dipandangnya sang Mama lalu dipeluknya erat. “Aku tidak mau perjodohanku dan Ali batal, Ma,” ucap Zizi di sela tangisnya.

“Stt, kamu tenang dulu, Sayang.”

“Aku tidak mau melepaskan Ali, Ma.” Zizi merengek pada Mamanya. Pelukan Zizi dilepas oleh sang Mama.

“Kamu dengar, kan, tadi Ali bilang apa? Ali membatalkan perjodohan ini karena ia mencintai wanita lain. Kita harus cari tahu siapa wanita yang menghalangi pernikahan kalian.”

Zizi menautkan kedua alisnya. “Memangnya, Mama mau melakukan apa?” tanya Zizi.

“Sudah, asal kamu tahu kalau Mama bakal melakukan apa pun demi kebahagiaan kamu. Karena keinginan kamu sekarang menikah dengan Ali, Mama akan melakukan segala cara untuk mewujudkannya.”

“Ah, terima kasih ya, Ma.” Zizi memeluk Mamanya erat. Merasa bahagia karena sang Mama akan mewujudkan keinginannya. Sedangkan sesuatu yang tidak baik, tengah direncanakan oleh Mamanya Zizi.


🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰




Hallo. Cerita ini masih PO, ya. 😊😊😊

Yuk yang mau beli




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tuh. Cakep, kan?

Siapa yang mau bukunya?

😍😍😍

Atau kalian mau pdf?Juga ada kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atau kalian mau pdf?
Juga ada kok

Tuk chat aja👇👇👇👇
083873419998



Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang