🐰 23. Memaksa🐰

740 65 1
                                    

23. Memaksa

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰




"Hai, Sayang." Sapaan Ali yang terdengar begitu sensual. Entah kenapa membuat Illy yang mendengar menjadi bergidik takut akan sikap pria di hadapannya.

Ia seakan mendapati diri Ali yang lain saat ini. Belum lagi saat tiba-tiba saja ingatan akan apa yang terjadi beberapa waktu lalu di antara mereka hadir berkelebat begitu saja, semakin membuat wanita itu merasa khawatir.

Satu jentikan jari Ali membuyarkan lamunan Illy akan kejadian beberapa hari lalu. Ditatapnya sang sahabat masa kecil yang saat ini menampilkan senyum smirk di hadapannya. Jangan tanya seberapa gelisahnya Illy saat ini.

"Kamu tidak mempersilakan aku untuk masuk?" tanya Ali. Pasalnya, mereka kini masih berdiri di ambang pintu.

Mendengar itu, Illy semakin mengeratkan genggaman pada gagang pintu. Merapatkan tubuhnya pada daun kayu itu. "Mm ... kakak kamu Rasya sedang tidak ada di rumah, Li. Jadi, aku tidak bisa mengizinkan kamu masuk," jawab Illy dengan mantap meski terbata. Berusaha keras untuk menutupi rasa takutnya.

Hanya ada kedutan di bibir pria itu, seperti apa yang baru saja ia ucapkan adalah hal lucu. "Sejak kapan?" tanya Ali kemudian.

Satu alis Illy terangkat. Pertanda bahwa dirinya bingung akan pertanyaan Ali. "Sejak kapan kamu tidak membolehkan aku masuk kalau Kak Rasya tidak ada di rumah?"

Dam't. Illy merasa bingung akan pertanyaan itu, merasa bodoh saat ini. Memang benar adanya. Ali selalu bebas keluar masuk di rumahnya meskipun sedang tidak ada Rasya. Hal itu sudah biasa terjadi sejak dulu.

Akan tetapi, itu dulu. Lima tahun yang lalu. Dulu sebelum Ali ke London, dan dulu sebelum kejadian beberapa hari lalu terjadi di antara keduanya. Cengkeraman tangan Illy semakin mengeras akan hal itu.

Tidak membiarkan, Illy memutar otak untuk mencari alasan lain dalam menolak kedatangan Ali. "Tapi ini, kan sudah malam sekali, Li. Terlihat tidak wajar untuk bertamu," ucap Illy yakin untuk bisa mengusir Ali.

Lagi-lagi senyum yang menurut Illy menakutkan terlihat di wajah Ali." Memangnya siapa yang mau bertamu?" Mendengar pertanyaan dari Ali, sontak saja membuat mata Illy membulat.

"Aku mau menginap di sini. Aku baru saja pulang dari lembur dan merasa sangat lelah. Karena rumah Kak Rasya lebih dekat dari apartemenku, aku memutuskan untuk menginap di sini," jelasnya.

"Tap— Aaa." Belum selesai Illy membantah perkataan Ali. Ia dibuat terkejut kembali ketika dengan tiba-tiba pria di hadapannya mendorong tubuhnya begitu saja masuk ke rumah.

Dapat Illy lihat Ali yang menutup pintu rumah dengan satu kaki sebelum tubuhnya terhempas ke dinding dengan Ali yang mencengkeram erat bahunya.

Mata Illy membulat saat mengetahui seberapa dekatnya jarak di antara wajah mereka. Bahkan, saking dekatnya ia bisa merasakan embusan hangat napas Ali yang menerpa wajahnya.

Tidakkah Illy dapat menghirup aroma alkohol dari napas Ali dengan jarak wajah sedekat itu? Jawabannya, tidak.

Karena Alu memang tidak meneguk setetes pun alkohol saat ia berada di club tadi. Pria itu hanya mengantarkan Rasya untuk minum sampai mabuk. Mengantarkan? Ah tidak. Memang itulah rencananya. Membuat sang kakak mabuk dan membuat dirinya bisa datang kemari saat ini.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Illy dengan nada tinggi tepat di depan wajah Ali. Lagi-lagi sebuah seringai yang ia lihat.

"Kamu tahu?" tanya Ali dengan suara yang mulai terdengar parau. Jari telunjuknya terulur untuk menyusuri wajah ayunya sehingga membuat dirinya segera memalingkan wajah.

Hanya terdengar kekehan dari pria ini. "Sejak kejadian itu, Aku tidak bisa menghilangkan bayangan kamu saat berteriak merdu di bawahku." Ucapan Ali sontak saja membuat Ali terkejut. Ia menoleh dengan tatapan amarah.

"Ngomong apa kamu?"

Satu sudut bibir Ali terangkat. "Janganlah pura-pura lupa Illy. Saat tubuhku bisa menyentuh tubuhmu secara langsung kala itu, aku selalu merindukan tubuh ini," ucap Alu dengan membelai tubuhnya dari lengan atas hingga ke sela-sela jari.

"Merindukan kehangatanmu. Merindukan desahanmu. Dan ...,"

Illy menatap Ali penuh tanya kala pria itu menggantungkan ucapannya. "Salah tidak, sih jika aku menginginkannya lagi?"

Mata hazzle itu semakin membulat sempurna. "Jangan kur— Aaaa." Lagi-lagi saat Illy belum sempat menyelesaikan ucapannya, Ali langsung membopong tubuh mungil itu di pundaknya. Menggendongnya bak karung beras.

Dalam keadaan terbalik Illy meronta-ronta, memukul punggung tegap Ali meski tidak mendapatkan hasil. Bola matanya bergerak ke kiri dan kenan, mencari cara agar pria ini mau melepaskannya.

Di saat ia telah dibawa masuk ke salah satu kamar, perasaan Illy semakin tidak karuan. Belum lagi saat Ali menutup pintu kamar itu dengan satu kakinya.

Ia merasakan tubuhnya yang dihempaskan pada ranjang secara kasar. Segera beringsut ke arah kepala ranjang, menjauhi Ali yang saat ini berdiri dengan berkacak pinggang. Menatap dirinya dengan seringai penuh nafsu.

Lihatlah. Bola mata hitam pekat itu menandakan bahwa si empunya tengah lapar, lapar dengan artian berbeda. Rasa takut semakin menjalari tubuh Illy. Ia memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Bayangan beberapa waktu lalu semakin terlihat jelas dalam benaknya. "Ali. Jangan lakukan itu. Aku ini kakak ipar kamu," ucap Illy mengingatkan Ali akan siapa dirinya.

Berharap lebih sang adik ipar akan menghentikan aksinya. Namun, dirinya ternyata salah. Ali malah melepaskan gelak tawa. Dari balik mata berkaca ia bisa melihat sahabat masa kecilnya itu mulai merangkak mendekat. Air mata pun mulai jatuh kala melihat itu semua.

"Aku tidak peduli Illy. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan, hanya kamu. Karena apa?"

"Aaa." Illy kembali berteriak saat Ali menarik kedua kakinya secara tiba-tiba. Jadilah kini ia yang terkungkung di bawah tubuh Ali.

Sesuatu terjadi. Wajah menyeramkan Ali yang sebelumnya terlihat kini menampilkan keteduhan. "Kamu tahu, Ly? Aku itu sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Sejak lama. Sejak aku mengenal kata cinta. Dan mungkin ... mungkin sejak kecil. Tapi, tapi kenapa kamu malah menikah dengan Kak Rasya? Padahal aku yang lebih kenal kamu. Aku yang selalu ada dan lindungi kamu. Bahkan aku yang cinta kamu lebih dulu."

Air mata Illy semakin deras ketika mendengar serentetan kata-kata yang diucapkan Ali, ia seperti mendengar pesakitan dari suara itu.

"Aku menunggu selama lima tahun agar kamu berpisah dengan kakakku. Karena aku yakin, kamu tidak akan bahagia dengan Kak Rasya. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi. Aku sudah tidak kuat, Ly. Aku sudah tidak tahan melihat kamu bersama dia lagi. Aku sakit. Sakit, Ly.

"Apalagi, saat tahu kenyataan kamu benar-benar tidak bahagia bersama dia. Itu semakin membuat aku yakin untuk merebut kamu dari Kak Rasya."

Illy menggelengkan kepalanya dengan air mata yang semakin membanjiri pipi. "Aku bahagia, Li. Aku bahagia."

Tawa Ali kembali pecah, entah apa yang lucu. "Aku lebih mengenal kamu dari pada kamu sendiri, Ly. Kamu lupa?" Ia semakin terisak di bawah kungkungan Ali.

"Sstt jangan menangis. Lebih baik kita lanjutkan kegiatan kita tadi." Ali mulai melucuti lingerine yang ia kenakan dengan gerakan halus. Tetap saja, itu tidak bisa menghilangkan rasa takut dalam diri Illy.

"Ali jangan, Li. Sebentar lagi Rasya pulang." Tangan Ava berusaha mencegah pergerakan Ali. Meski tahu ia akan gagal, ia tetap berusaha melakukannya.

"Tidak, Sayang. Kamu tenang saja. Aku sudah membereskan dia. Jadi, kita tidak akan mendapatkan gangguan. Oke?" Ali menampilkan senyum.

"Tapi, jika ia tahu pun tidak apa. Dengan begitu, aku akan memintanya untuk menceraikanmu dengan segera. Agar aku lebih cepat mendapatkan kamu." Ucapan Ali bertepatan dengan lingerine Ava Illy sudah terlepas sempurna. Semakin menjadilah tangisannya.

Sempat merasa lega kala Ali melepaskan kungkungannya, tetapi semuanya sirna saat pria itu melucuti pakaiannya sendiri dengan tergesa-gesa. Merasa percuma, Illy hanya memalingkan wajah kala tubuh berotot telah terekspose sempurna. Menampakkan senjatanya yang tengah mengacung dengan tegak.

Memejamkan mata saat Alu mulai menciumi wajahnya dengan nafsu, berharap semua hanya mimpi. Namun, ini adalah nyata. "Ali berhenti," racau Illy dengan memukul dada Ali dengan kedua tangan saat tidak tahan lagi dengan tindakan pria itu.

Entah karena gerakan yang ia lakukan mengganggu atau apa, tiba-tiba saja Ali mengunci kedua tangannya di atas kepala, membungkam bibir dengan bibir, membuat ia menghentikan penolakan karena tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

"Ali berhenti," ucap Illy di tengah tangisnya.Tangis Illy semakin menjadi, wajah sudah dibasahi air mata. Tangis Illy semakin menjadi, wajah sudah dibasahi air mata.

Entah kenapa, sesuatu baru saja seperti menghantam kesadarannya. Ali memandang Illy yang berada di bawahnya dalam keadaan mengenaskan. Belum lagi kedua tangan perempuan itu yang ia cekal. Dilepaskannya segera dan terlihat memar di sana.

Illy hanya mampu memalingkan wajah menghindari tatapan tajam itu. Tidak ingin memandang wajah sang adik ipar yang telah membuatnya marah.

"Jangan menangis," ucap Ali. Tangannya mendekati mata Illy bermaksud menghapus air mata itu.

Namun, ucapan Illy yang tajam menghentikan dirinya. "Pergi." Illy tidak mengindahkan ucapan yang keluar dari mulut Ali. Merasa muak, ia mengusirnya begitu saja. Tidak ingin pria ini berada lebih lama lagi di rumahnya.

Illy memejamkan mata kala merasakan Ali bangkit dari atas tubuhnya. Detik selanjutnya sebuah selimut menutupi tubuh polosnya, melalui ekor mata ia melihat Ali yang memunguti pakaian dan memakainya dengan tatapan sendu yang ditujukan padanya.

Ali kembali mendekat, bibirnya terbuka entah ingin mengatakan apa karena ia sudah menghentikannya hanya dengan mengangkat tangan pada pria itu. Menoleh dengan mata tajam memberikan isyarat agar adik iparnya itu segera pergi dari sini.

Tubuh tegap itu menjauh. Namun, saat menyentuh handle pintu, Alu menoleh padanya. "Maafkan aku, Ly. Aku tidak bermaksud. Aku ha—" Tidak ada lagi kata yang terdengar, hanya pintu yang tertutup melenyapkan sosok Ali.

"Aku benci kamu Ali," ucapnya diiringi lelehan air mata yang semakin menjadi pada pipi. Mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya, ia menangis tersedu di bawahnya.

Meski apa yang dilakukan Ali belum sampai ke tahap penyatuan dua inti tubuh mereka. Namun tetap saja apa yang baru saja Ali lakukan adalah sebuah pelecehan.

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰


Selamat pagi.😊😊😊😊😊😊

Masih suasana lebaran, kan, ya.

Minal aidin walfaidzin, ya semua 🙏🙏🙏🙏🙏

Maaf lahir batin🙏🙏😊😊😊

Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang