🐰 48. Marah. 🐰

787 95 46
                                    

48. Marah

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰

Selepas Illy memasuki kamar rawat Tuan Yarendra, juga Desi yang berpamitan ke kantin untuk membeli minuman, kedua kakak beradik ini tengah duduk termenung di ruang tunggu depan ruang rawat. Mereka sama-sama terdiam dan bermain dengan pikiran masing-masing.

"Kayaknya semua bakal sama saja." Rasya memecah keheningan setelah ia dan Ali hanya diam di koridor rumah sakit.

Ali yang mendengar menoleh, menatap sang kakak dengan satu alis yang menukik tanda tidak mengerti. "Maksudnya?"

Rasya mengembuskan napasnya dalam. "Kayaknya Papa bakal tetep mempertahankan rumah tangga kami," ucapnya lirih yang masih bisa didengar Ali.

Ali tahu kami yang dimaksud kakaknya pasti sang kakak dan juga Illy. Jujur saja, ia tidak menyukai perkataan itu. Detik selanjutnya pandangan mereka bertemu.

"Kau lihat sendiri, kan, Mama berubah baik pada Illy saat tahu Illy sedang hamil?" Rasya menjeda. "Itu pasti membuat Illy bahagia bisa mendapat kembali perhatian Mama setelah beberapa waktu ini ia selalu diperlakukan buruk. Dan Papa tidak mungkin membiarkan Mama berubah sikap lagi pada Illy."

"Tidak akan," bantah Ali cepat. Pria itu terlihat yakin dengan ucapannya.

Rasya menatap Ali dengan memicing. " Bagaimana bisa kau se-yakin itu?"

"Ya yakinlah. Mama itu marah pada Illy karena Illy belum juga hamil, kan?"

Rasya mengangguk. "Iya, dan sekarang dia sedang hamil. Dan Mama tidak akan membiarkan cucunya pergi kalau kami bercerai," jelas Rasya. Pria itu menatap sang adik dengan ekspresi datar, berharap adiknya ini bisa mengerti.

"Sudah aku katakan, kak. Semua itu tidak akan terjadi," ucapnya yang masih mempertahankan prediksinya. Ia mengubah duduk sedikit menyerong agar bisa menghadap Rasya dengan penuh.

"Biar kuberi tahu. Selepas kalian bercerai, aku akan datang dan menikahinya." Ali menunjukkan wajah kemenangan. Ia tidak peduli saat kakaknya memandang dengan sengit.

Keduanya menghentikan pembicaraan mereka saat melihat Desi yang datang berjalan mendekati mereka. Keduanya melihat jelas gurat kecemasan dari wajah Mama mereka. Kakak beradik itu saling pandang, menaikkan alis seolah bertanya melalui telepati mengenai mimik wajah mama mereka.

"Kalian masih di luar?" tanya Desi ketika sudah berdiri di hadapan kedua putranya. Napasnya sedikit naik turun dengan cepat akibat langkahnya tadi yang terkesan terburu-buru.

"Iya. Illy belum selesai bicara sama Papa," jelas Rasya yang masih memandang mamanya. Baru saja ia membuka mulut untuk menanyakan keadaan Desi, tetapi urung kala perempuan yang telah melahirkannya itu kembali berucap.

"Ya sudah, Mama mau masuk dulu." Langkah kaki Desi terhenti. Ia beralih menatap Rasya. "Sya, kamu harus baik-baikin Illy. Minta maaf sama dia atas kelakuan kamu kemarin. Mama yakin Illy pasti memaafkan kamu. Mama tidak mau, ya, menantu mama sampai stres gara-gara kamu. Kasih dia perhatian lebih, manjakan dia, turuti apa yang dia mau. Soalnya kalau orang hamil itu biasanya suka minta yang macam-macam." Desi berucap dengan wajah serius.

Baru saja Ali ingin menyela ucapan Mamanya, tetapi ia tertahan saat Rasya meremas tangannya di balik tubuh mereka. Setelah Desi memasuki ruangan suaminya, Ali menghempaskan tangan Rasya begitu saja.

"Kakak apa-apaan, sih?!" Teriak Ali yang merasa tidak suka akan sikap Rasya. "Kenapa kau melakukan itu, menahanku untuk mengatakan yang sebenarnya."

"Apa kau tidak melihat tadi wajah berharapnya Mama pada hubungan kami?" Rasya membalikkan ucapan untuk melawan argumen Ali.

Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang