🐰 32. Pengakuan. 🐰

661 69 7
                                    

32. Pengakuan

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰



"Aa." Gerakan tidak terduga dari Ali yang menyeretnya begitu saja membuat Illy terkejut. Dengan langkah susah ia menggerakkan kakinya, mencoba untuk menendang pria itu.

Namun, cengkeraman tangan Ali begitu kuat, cukup membuat Illy merasakan nyeri pada tangannya. "Sakit. Ali lepas." Illy memukul tangan kekar yang menggenggam tangannya. Berharap pria itu mau melepaskan cengkeramannya.

Hanya saja apa yang dilakukannya tentu saja tidak akan membuahkan hasil sama sekali melihat betapa kuatnya cengkeraman itu. Illy semakin dilanda ketakutan, sekelebat bayangan beberapa waktu lalu kembali melintas. Bagaimana jika kali ini Ali benar-benar melakukannya?

Ah. Siapa yang bisa menebak pria di depannya saat ini, karena Ali yang sekarang bukanlah sosok yang dulu ia kenal. Setidaknya itulah yang Illy rasa saat ini.

"Ali lepaskan. Lepaskan." Illy menahan kaki agar tidak melangkah mengikuti Ali. Namun, semua yang ia lakukan percuma dan sia-sia adanya. Tenaga pria itu sangat kuat dalam menyeret dirinya. Pandangannya mengedar ke segala penjuru arah, berharap ada seseorang yang sekedar lewat atau apa untuk bisa membantunya.

Namun, sejauh mata memandang hanya ada tanaman teh tanpa seorang pun yang memetik pucuknya. Tentu saja. Ini bukan waktunya para pekerja memanen. Tetapi, tidakkah ada satu pun orang yang lewat?

Pandangan Illy kini beralih pada pria di hadapannya yang masih menyeret dirinya. Perlakuan itu seperti dirinya bukan manusia saja. Tiba-tiba saja rasa marah melingkupi Illy. "Brengsek kamu, Li. Lepaskan." Hilang sudah kesabaran Illy. Kata-kata tidak terduga pun ia lontarkan.

Tiba-tiba saja langkah di depannya berhenti. Detik selanjutnya Ali mengubah posisi tubuh menjadi menghadapnya. Bola mata Illy membeliak saat melihat pria itu yang menatap nyalang dirinya. Seringai kembali bisa dilihat dari bibir tebal itu.

Sebuah desisan terdengar. "Bibir manismu tidak pantas mengeluarkan umpatan, Sayang. Yang cocok dari bibirmu hanya mengeluarkan desahan di bawahku." Mata Illy membulat seketika. Oh tidak, apakah kali ini Ali akan benar-benar akan melakukannya? Kepalanya menggeleng cepat sekali. Tidak, tidak, tidak. Illy tidak mau hal itu terjadi.

"Aa." Dengan gerakan kilat kali ini Ali membopong tubuhnya seperti karung beras. Tentu saja ia tidak tinggal diam, sekuat tenaga meronta dalam gendongan itu. Memukul punggung tegap yang kini berada di depan wajahnya. Akan tetapi, seperti biasa apa yang dilakukannya seperti sia-sia belaka.

"Brengsek kamu, Li. Turunkan aku. Turunkan." Di sela pukulannya, tidak dapat ia gambarkan betapa takut dirinya saat ini. Ali benar-benar telah berubah.

Sesaat kemudian, Illy merasakan tubuhnya terhempas di sebuah papan. Ia melihat sekitarnya untuk mengetahui di mana dirinya berada saat ini. Sebuah gubuk yang sebelumnya tidak Illy ketahui keberadaannya kini menjadi tempat dirinya dan Ali berada.

Memandang kembali Ali yang saat ini menyunggingkan senyum miring kepadanya. Illy secara reflek memundurkan tubuhnya. Berusaha ingin menjauh dari jangkauan dari pria yang menurutnya seperti psikopat ini.

"Aa." Lagi dan lagi. Apa yang ia lakukan terasa percuma. Ali menyeret pergelangan kakinya. Dan dengan satu tarikan, kini ia sudah berada di depan Aki. Tangan kekar itu kembali mencengkeram kedua pundaknya.

"Biar si brengsek ini memberitahukanmu kenikmatan, Sayang," ucapnya tepat di depan bibir Illy. Tanpa pikir panjang ia segera meronta dengan kuat, bergerak ke segala arah tidak peduli bagaimana dirinya. Yang terpenting hanya ingin terlepas dari pria ini.

"Lepas-lepas. Lepaskan aku, Ali," ucapnya keras, kedua matanya terpejam tidak ingin melihat mimik wajah Ali yang pastinya saat ini menampakkan seringai menakutkan.

"Lepas. Biarkan aku pulang." Yang ada ia merasakan cengkeraman itu semakin menguat di kedua sisi pundaknya. Illy menggelengkan kepalanya keras, pertanda apa yang ditakutkan tidak ingin terjadi.

"Diam." Ia mendengar jelas suara itu. Namun, rasa takut yang mendominasi membuat ia tidak memedulikannya. Illy tetap meronta, bergerak brutal ingin terlepas dari Ali.

"Diam!" Hingga sebuah teriakan membuat ia berhenti seketika, masih memejamkan mata dan menundukkan kepala, kali ini tangisnya mulai keluar. Ia sesenggukan dalam cengkeraman Ali.

"Jangan menangis." Bisikan pria itu terdengar jelas di telinganya. Hanya saja rasa takut yang masih menguasai diri Illy membuat wanita itu enggan berhenti menangis.

"Berhenti menangis, Illy. Aku hanya ingin berbicara padamu! Atau kamu memang ingin aku melakukan hal yang kamu takutkan?" Pertanyaan Ali kali ini yang berhasil membuat dirinya semakin takut, tetapi cukup membuat Illy mencoba untuk menghentikan tangis. Ancaman itu terdengar tidak main-main. Jika Ali ingin berbicara baiklah, ia akan menuruti. Asal tidak dengan apa yang ada dalam pikirannya.

"Dengar. Aku masih tidak mengerti kenapa kamu menjadi milik kakakku. Sedangkan aku pun yakin kamu sangat tahu bagaimana perasaan aku terhadap kamu sejak dulu." Meski menunduk, Illy dengan baik mendengarkan ucapan pria itu.

"Aku. Akan tetap berusaha membuat dirimu menjadi milikku, Ly. Sampai kapan pun itu. Entah siapa pun atau seisi dunia pun menentangnya." Illy merasakan cengkeraman tangan Ali yang mengendur, detik kemudian terlepas.

Karena menunduk, rambutnya sebagian menutupi wajah. Illy membuka sedikit matanya, melirik ke depan dari balik helai rambutnya. Terlihat Ali yang saat ini tengah berdiri dengan berkacak pinggang. Sesekali tangan kanannya mengacak rambut seperti orang frustrasi.

Detik kemudian pria itu kembali memutar tubuh menghadap ke arahnya. "Dengar," ucapnya dengan suara lirih. "Ada sebuah pengakuan yang harus aku katakan padamu." Di balik surainya kening Illy terlipat. Apakah pengakuan perasaan yang dimaksud pria ini? Jika iya maka itu sudah menjadi hal biasa yang ia dengar. Hanya saja kalau menerima, Ali tahu sendiri apa statusnya.

Namun, ia tetap mendengarkan dalam diam pria itu yang kembali berbicara. "Lima tahun lalu. Tepatnya di malam pernikahan kamu dan kakakku. Pesta minuman alkohol diadakan." Ya. Illy mengingat hal itu. Dan dia pun juga ingat kalau dirinya ikut menikmati sampai mabuk. Lalu apa hubungannya dengan Ali?

"Di sana, kamu minum terlalu banyak sampai mabuk. Kak Rasya memintaku untuk mengantarkan kamu ke kamar. Tapi, di sana kamu yang dalam keadaan tidak sadar menggodaku. Aku sudah mencoba menahannya. Tapi, mau bagaimanapun aku seorang laki-laki, dan waktu itu pun aku juga terpengaruh alkohol. Tapi aku masih bisa mengingat jelas setiap detailnya." Bola mata Ava membola seketika, penjelasan Ali membawa pikiran perempuan itu pada hal yang kacau.

"Akhirnya ...." Entah apa yang terjadi, Ali seperti memotong perkataannya. Kedua tangan Illy mengepal di atas paha, sesuatu menjalar seperti menakuti dirinya.

"Akhirnya malam itu kita tidak sengaja melakukannya. Malam pengantimu dan kakakku, tidak sengaja menjadi milikku." Mata Illy semakin lebar membola, bahkan tubuhnya saat ini menegang seketika.

Benaknya terlempar ke kejadian lima tahun lalu, di mana pesta alkohol itu dilakukan. Di mana ia minum sampai mabuk. Setelahnya ia tidak mengingat lagi. Karena yang ada dirinya sadar di atas tempat tidur pada kamar pengantinnya dengan Rasya. Rasa nyeri yang terasa di pangkal paha membuat ia menyadari telah kehilangan keperawanan malam itu. Ia pikir, Rasyalah yang melakukannya, karena suaminya pun waktu itu ada di sampingnya ketika ia membuka mata.

Lalu ... ini? Kenyataan yang sangat mengejutkan. Jadi malam itu dirinya bukan bersama Rasya, tetapi Ali.

"Ly—"

"Pergi." Baru saja suara Ali terdengar, tetapi Illy sudah memotongnya. Wajahnya mendongak, mimik sendu Ali tertangkap penglihatan.

Illy tidak peduli. "Pergi," ucapnya lagi. Helaan napas dalam terlihat dari bahu tegap itu yang naik lalu turun perlahan. Saat itulah air matanya tidak mampu lagi ia bendung. Mendapati kenyataan ini sangatlah mengejutkan sekaligus ... membingungkan. Rasa sakit itu juga ada di sudut hatinya.

"Please. Jangan menangis. Waktu itu kita sama-sama terpengaruh alkohol," ucap Kafka dengan mengangkat tangan mendekati tangannya.

Akan tetapi, Illy menghindar dan kembali berucap, "Pergi."

"Ly—"

"Pergi." Lagi-lagi hanya kata itu yang Illy keluarkan dari bibirnya. Tidak ingin berucap lebih untuk menanggapi Ali.

"Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seper—"

"Pergi!" Teriakan Illy disertai tatapan penuh luka. Riak itu semakin kentara tercipta di bola matanya.

Sosok di hadapannya mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan siap pergi. Akan tetapi, langkahnya kembali terhenti dan kembali menoleh pada dirinya. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Ly. Aku mencintai kamu dari dulu. Kamu tahu itu, bukan karena ingin bertanggung jawab di malam pengantin itu. Karena bagiku malam itu adalah sebuah kecelakaan, bukan kesengajaan. Dan karena itu juga membuat aku semakin yakin untuk tetap mendapatkan kamu bagaimanapun caranya."

Tidak ada kata yang mampu Illy ucapkan. Semua ini masih terasa mengejutkan.

"Aku mencintaimu," ucap Ali lagi yang ia dengar. Detik selanjutnya pria itu pun berlalu.

Tangis Illy pecah setelah Ali pergi. Merutuki nasib yang membuatnya terjebak dalam kondisi seperti ini. Sungguh. Illy membenci nasib ini. Bangkit dari tempatnya, Illy berlari melawan arah kepergian Ali. Berlari dengan tangisannya. Berlari bersama jatuhnya air mata. Tidak peduli ke mana kakinya akan membawanya. Yang ia cari, pelampiasan kemarahannya.


🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰

38. Horeee. Up. Maaf, ya kemarin enggak up 🙏😭😭😭 kejar daily di Fizzo soalnya.😁😁😁

Jangan lupa untuk selalu kasih likenya.

😘😘😘

Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang