33. Tersesat
🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰
Kakinya masih setia menapaki kasarnya tanah. Berlari tanpa tujuan dengan mata berembun. Menangis tergugu meratapi kisah cinta dan kehidupannya. Kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi padanya?
Kenapa? Kenapa sahabat sejak kecilnya tega melakukan hal itu kepada dirinya. Salah apakah ia? Lagi-lagi alasan mengatasnamakan cinta ia dengar dari bibir yang memang ia akui terdengar manis.
Namun, inikah cinta? Menyakiti seseorang yang ia cinta? Penjelasan yang dijabarkan Ali sebelumnya telah menandakan bahwa dirinya bukan perempuan sempurna bagi suaminya saat ini.
Tiba-tiba saja tubuhnya luruh bertumpu pada bumi kala kaki tidak lagi mampu memijak tanah. Meremas dedaunan kering yang ada pada bawah telapak tangan. Masih setia dengan tangis yang menyayat bagi siapa saja yang mendengarnya.
Saat emosi telah berhasil dikuasai, ia menyeka lelehan air mata untuk memperjelas penglihatan. Mendongak, cahaya tampak redup karena ditutupi rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sekelilingnya, juga suara-suara binatang liar yang baru saja ia sadari cukup meresahkan.
Hutan. Ya, kini ia terlalu jauh menapaki hutan, bahkan terlihat sangat dalam ketika mengamati betapa besar batang-batang itu tinggi menjulang. Rasa sakit yang teramat ia rasa beberapa waktu lalu membuatnya terdampar pada pelukan alam. Meringkuk di bawah pohon rindang. Menatap nanar kaki yang terlihat penuh luka.
Namun, satu hal yang harus diketahui, luka kaki itu, tidak sebanding dengan luka hatinya. "Aku benci kamu," ucapnya lirih dalam kesendirian dan tangis.
***
Rasya menggeliat di atas ranjang, meluruskan tubuh yang sedikit kaku akibat dari tidurnya. Merenggangkan otot mencari kesadaran. Mengerjapkan mata memandangi keadaan sekitar.
Pria itu bangkit dari baringan, mendudukkan tubuh pelan dan bersandar pada kepala ranjang. Tangan kanan terangkat membersihkan mata yang terasa lengket.
Diedarkan pandangan bermaksud mencari keberadaan sang istri. Namun, tidak dapat ditemui sosoknya. Menoleh ke arah kiri ia menghela napas saat mendapati jam dinding yang menunjukkan angka tujuh.
Tidak terasa, lima jam sudah ia tertidur. Mungkin, karena efek tubuhnya yang kelelahan. "Mungkin Illy sedang bersama yang lain," gumamnya sembari beranjak menuju kamar mandi.
***
Rasya menuruni tangga dengan Menyugar rambut basah Menggunakan jari-jarinya. Dapat ia dengar suara tawa meski dirinya masih berada pada anak tangga bagian atas. Saat sampai di bawah, pria berkaus putih itu menatap setiap orang yang ada di rumah tamu.
Ali, adiknya yang tengah sibuk dengan ponsel di tangan. Kedua orang tuanya dan Zizi yang sedang asyik mengobrol. Akan tetapi tidak ia lihat keberadaan Illy. Rasya berjalan menuju dapur, menduga bahwa sang istri berada di sana. Namun, tetap tidak ada sosoknya yang berhasil dilihat. Lalu, di mana dia?
Kembali ke ruang tamu, Rasya pun bertanya pada kedua orang tuanya. "Pa, Ma, Illy di mana?" Semua orang pun menatap Rasya. Tidak terkecuali Ali yang langsung menghentikan jari yang sedang mengetik sesuatu pada ponselnya.
"Illy? Kok tanya sama kita? Dia, kan sekamar dengan kamu," jawab Yarendra. Pria tua itu merasa bingung dengan pertanyaan putranya.
Sedangkan Rasya ia semakin mengerutkan kening. "Tapi, Illy nggak ada di kamar, Pa."
Tangan Yarendra yang sebelumnya merangkul sang istri kini terlepas. Sosok papa dua anak itu menegakkan posisi duduknya, menatap penuh pada sang putra sulung. "Loh. Kok bisa? Sedari tadi bangun, kita tidak melihat Illy sama sekali," jelasnya.
Rasya melipat tangan di depan dada, keningnya semakin terlipat pertanda pro aitu tengah berpikir. Memandangi satu persatu penghuni villa, ia pun mulai mengingat sesuatu. Bola matanya membulat seketika.
"Astaga. Tadi dia minta antar Rasya untuk menemaninya jalan-jalan di kebun, Pa. Karena aku kelelahan, akhirnya dia minta izin untuk jalan-jalan sendirian," jawab Rasya dengan menepuk keningnya.
Jangan tanyakan bagaimana reaksi Yarendra. Tidak jauh dari sana, Ali memutar otak pada kejadian beberapa waktu lalu antar dirinya dan Illy di kebun teh.
"Jangan-jangan Illy tersesat?" lanjut Rasya. Semua orang menatapnya dengan melotot.
"Shitt," umpat Ali. Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya. Meloncati meja dan langsung berlari keluar villa, ingin mencari di mana keberadaan Illy.
Sedangkan Rasya yang masih terkejut dengan gerakan tiba-tiba sang adik masih syok dan berdiri di tempat, memandang dengan tatapan tidak percaya arah kepergian Ali.
Yarendra yang sebelumnya juga terkejut dengan kelakuan putra keduanya kini cukup mengerti dengan tingkah laku itu. Illy dan Ali adalah sahabat sedari kecil, pasti putranya itu merasa khawatir saat ini.
Menoleh pada Rasya, ia cukup terkejut mendapati putra pertamanya yang hanya berdiri diam dengan menatap keluar vila. "Loh. Kamu kenapa malah diam di sini? Cepat cari?"
Mendengar ucapan papanya, Rasya langsung berlari keluar mengikuti Ali untuk mencari keberadaan sang istri. Pria itu merutuki diri karena membiarkan Illy keluar sendirian. Meskipun ada suatu hal di antara mereka yang tidak dapat ia jelaskan, tetap saja Illy tanggung jawabnya.
Yarendra menatap dua orang yang tersisa di Villa. "Ma. Papa akan meminta bantuan pada penjaga villa. Mama dan Zizi tolong coba cari di sekitar sini," ucap Yarendra pada sang istri. Pria itu langsung bangkit meninggalkan kedua perempuan itu yang masih duduk pada sofa.
Oh Tuan Yarendra, tidak tahukan engkau istrimu saat ini tengah tersenyum bahagia?
"Nyusahin saja, sih," gerutu Desi yang masih bisa didengar oleh Zizi.
"Tante, ayo kita cari di sekitar villa." Zizi mengajak Desi saat melihat perempuan itu malah terlihat lebih santai dengan menyandar pada sofa.
"Untuk apa, sih repot-repot. Biarkan saja. Syukur-syukur kalau hilang," ucapnya acuh yang malah menghidupkan tivi di hadapannya. Sedangkan Zizi, ia memilih mengedikkan bahunya dengan pikiran yang masih bingung melihat sikap Kafka tadi.
"Seperti perempuan itu orang berharga dalam hidupnya saja hingga membuatnya begitu panik." ucap Zizi dalam hati.
***
Ali masih berlari tidak memedulikan keberadaan Rasya di belakangnya. Pikirannya saat ini begitu kalut akan keberadaan Illy. Masih bisa diingat mata hazle itu mengeluarkan banyak air mata ketika ia mengungkapkan kebenarannya tadi.
Apa karena itu Illy itu tidak pulang? Ah. Jika iya. Kamu akan menyesal, Li.
Langkah keduanya telah sampai di persimpangan jalan. Napas terdengar memburu di kesunyian malam. "Kakak cari ke sana," ucap Ali pada Rasya saat keduanya telah berdiri sejajar. Tangan kanan pria itu menunjuk sisi lain jalan.
"Aku akan ke sini." Keduanya berpisah. Rasya yang menuju ke Utara. Sedangkan Ali dipastikan berlari ke arah di mana ia bertemu dengan Illy sore tadi.
"Illy." Ali memanggil nama wanita yang selalu ada di hatinya. Mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.
"Illy," panggilnya kembali dengan suara yang ia naikkan volumenya. Mata Ali memicing kala ia melihat sesuatu. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri benda itu.
"Ini sendal Illy," ucapnya kala ia melihat benda yang ia temukan. Mata Ali membulat kala dirinya menyadari satu hal. Letak jatuhnya sendal Illy, mengarah ke hutan.
"Oh tidak." Pria bermata tajam itu langsung berlari ke arah hutan. Rasa khawatirnya kini meningkat kala mengingat hari telah malam. Pasti saat ini Illy merasa ketakutan.
"Illy. Di mana kamu?" Suaranya kembali menggema kala ia memasuki area hutan. Menyibakkan semak-semak yang mengganggu jalannya secara kasar.
"Illy. Jawab aku jika kamu bisa mendengar suaraku!" teriaknya kembali. Langkahnya semakin membawa dirinya jauh memasuki hutan.
"Bodoh Ali. Kamu bodoh," oloknya dengan memukul kepalanya sendiri. Betapa khawatirnya ia saat ini. Begitu tergambar jelas di wajahnya.
"Kamu benar-benar bodoh Ali. Seharusnya kamu tidak meninggalkannya sendirian tadi." Ia merutuki dirinya sendiri. Merutuki kebodohan dirinya yang meninggalkan Illy di saat wanita itu merasa terpukul akan ceritanya.
Ali benar-benar merasa frustrasi saat tidak juga menemukan keberadaan Illy. "Illy," panggilnya lagi yang masih tidak mendapat jawaban.
"Illy." Ali semakin meninggikan suaranya untuk mencari keberadaan Illy. Berharap berdampingan dengan kecemasan.
"Illy." Ali mengedarkan pandangannya yang jarak pandangnya hanya beberapa meter. Berusaha menajamkan penglihatan untuk mencari wanita yang ia cintai.
Pengamatannya semakin tidak bisa jauh kala ia semakin memasuki hutan. Gelap menyelimuti keadaan. "Bagaimana ini? Apa aku harus kembali ke villa untuk mencari bantuan?" Pria itu merasa bingung. Berputra-putra di tempatnya berdiri.
"Tidak. Semakin lama, Illy pasti akan semakin merasa ketakutan." Ali kembali melanjutkan langkah sembari memanggil nama Illy berharap si empunya bisa mendengar panggilannya.
"Illy." Wajah Ali dipenuhi dengan kecemasan. Keadaan hutan yang semakin gelap membuat rasa khawatirnya semakin besar. Apa Ali tidak merasa takut? Tidak. Rasa khawatirnya lebih besar ketimbang rasa takutnya. Jika kalian saat ini berada di samping Ali, mungkin kalian akan bisa melihat wajah khawatir Ali, dan bisa saja, kalian melihat betapa besar rasa cinta Ali untuk Illy.
"Illy," panggilnya kembali. Samar-samar Ali mendengar suara isak tangis. Ia menghentikan gerakannya yang menimbulkan grasah-grusuh karena benturan dedaunan, menajamkan pendengaran berusaha untuk menemukan arah suara.
Sayup-sayup suara tangis itu kembali terdengar. Ali meyakini satu arah tangisan. Melangkah dengan lebih cepat satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Itu, adalah suara tangisan Illy.
"Tolong!" Suara itu semakin jelas terdengar. Ali semakin menambah kecepatan langkahnya. Saat ia membelah semak terakhir, di situlah Ali dapat melihat. Seseorang tengah terduduk dengan menunduk memeluk kakinya dan menangis.🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰
40. Selamat pagi semua.
Ada yang kangen aku?
Atau kangen sama Illy dan Ali?
Sini coba absen kalian dari mana. Kenapa sini sama aku😋😋
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadikanmu Milikku (APL)
RomanceTidak ada yang bisa Ali lakukan selain merelakan Illy untuk kakaknya saat melihat dua orang yang disayanginya akan menikah. Namun, semua berubah karena ketidaksengajaan di malam pertama sang kakak dan kakak iparnya. Bagaimana mungkin malam itu bisa...