🐰 22. Kedatangan Ali 🐰

681 66 8
                                    

22. Kedatangan Ali

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰



Cahaya lampu temaram menghiasi tempat gelap ini. Suara dentuman alunan musik yang memekakkan telinga turut meramaikannya. Aroma menyengat dari berbagai merk alkohol menyatu dengan keringat para lautan manusia yang tengah asyik meliukkan tubuhnya secara setengah sadar di atas lantai dansa.

Bercampur dan berbaur menjadi satu. Tidak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, pejabat atau gelandangan, yang ada hanya kesenangan.

Seseorang pria menggunakan kemeja dengan kancing bagian atas yang telah terbuka, serta lengan baju yang ditekuk hingga siku tengah turut menikmati pesta malam ini. Dia ... adalah Rasya.

Ya, di sinilah pria itu saat ini. Duduk di atas kursi dan bersandar tidak berdaya pada meja bar. Satu tangan memegang gelas berisi cairan berwarna merah kehitaman. Kepala yang hampir menyentuh meja tidak membuat anak sulung Gautama itu menyerah untuk menyodorkan gelas kosong itu pada seorang bar tender di hadapannya.

"Tambah lagi," ucapnya yang sudah tidak terdengar jelas.

Sedang seorang pria lain yang duduk pada kursi satunya hanya mengamati dengan senyum dan gelengan kepala. Tidak habis pikir dengan keadaan Rasya yang sudah mabuk tetapi tetap memaksakan diri untuk meneguk kembali cairan yang membakar tenggorokan itu.

Pria dengan kemeja biru tua itu menggerakkan tangan sekali sebagai tanda agar sang bar tender selalu menuruti kemauan Rasya.

Dua puluh lima menit kemudian, tubuh itu meluruh di atas meja. Mata terpejam dan tangan yang tidak mampu lagi mengangkat gelas meski gelas itu telah kosong terkulai. Rasya telah tumbang.

"Bantu saya," ucap pria bermata tajam yang sedari tadi duduk di samping Rasya. Ia meminta bantuan pada bar tender di hadapannya. Jangan tanyakan siapa sosok itu, karena kalian pasti tahu.

Setelah mendapat bantuan dari beberapa orang bar di sana, Ali ... memapah tubuh tidak berdaya sang kakak menuju ke salah satu kamar yang telah disewa, menghempaskan begitu saja di atas ranjang.

"Terima kasih," ucap Ali. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari saku di balik kemeja. Sebuah amplop berwarna cokelat ia berikan pada dua orang bar yang tidak ia kenal.

Terlihat jelas senyum kepuasan dari dua orang itu setelah menerima amplop darinya. Bahkan salah satu dari mereka sampai mencium amplopnya. Setelahnya, Ali hanya memandang dua pria itu meninggalkan kamar ini sembari mengibaskan isi amplop itu pada wajah seperti kipas.

Ali mendengus sinis. "Semua hanya perlu uang."

Beralih pada sosok yang terkapar di atas ranjang, ia mengamati tubuh tidak berdaya Rasya sembari menggelengkan kepala. Membungkuk dan mulai membenahi posisi agar tidur Rasya menjadi lebih nyaman.

Baik bukan Ali sebagai adik? Pria itu menepuk pelan pipi sang kakak setelah ia menyelimuti tubuh yang masih asyik terpejam.

meraih ponsel dari saku celana, ia menekan salah satu nama dari kontak pada benda pipih itu. mendialnya dan menunggu sambungan panggilan terhubung.

Senyum merekah kala ia mendengar sapaan dari seberang. "Club Night Star. Kamar nomor dua belakang bar tender." Tidak ada jawaban dari seberang, hanya ada suara deru napas yang terdengar.

Ali tersenyum miring. "Aku hanya memberi tahu posisinya. Setelah ini, terserah kalian. Akan tetapi, segalanya bagiku belum terlambat. Tidak peduli apa yang akan kamu lakukan. Yang pasti, aku akan tetap pada rencana selanjutnya."

Mematikan sambungan ponsel tanpa menunggu jawaban dari seseorang yang ia hubungi. Sekilas ia memberi senyuman miring pada benda pipih di tangannya.

Beralih menatap sang kakak lagi, Ali berucap senang, "Istirahatlah, Kakak. Kini saatnya aku yang bersenang-senang."

Sosok Ali berlalu dari sana dengan senyum yang mengembang. Entah apa yang membuatnya begitu terlihat bahagia saat ini, yang jelas, sebuah rencana berada dalam genggamannya.

Jika kalian mengira Ali akan turut meneguk sebuah minuman dan menyewa seorang wanita, kalian salah besar. Langkah pria bermata tajam itu mengarah keluar dari bar. Berjalan ke area parkir dan menaiki mobil, ia mengendarainya keluar dari lokasi tersebut.

Dalam perjalanan pun, senyum itu tidak luntur dari wajah tampan Ali. Bibirnya bersenandung mengikuti alunan musik yang ia putar dari tipe recorder beberapa saat lalu.

Tidak lama kemudian, mobil berwarna hitam milik Ali telah terparkir sempurna di depan sebuah rumah. Lampu masih terlihat menyala terang meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sepertinya seseorang di dalam belum tidur.

Mata hitam Ali menatap tajam rumah di hadapannya. Mengamati dengan saksama. Menampilkan smirk yang bisa membuat seseorang bergidik saat melihatnya.

Keluar dari mobil, ia melangkah ke arah rumah itu. Berdiri dengan berani di depan pintu utama. Satu tangan masih terbungkus manis oleh saku celana dan satu tangan kanan terangkat untuk mengetuk pintu besar yang menjulang di hadapannya.

Satu dua ketukan yang ia lakukan tidak mendapat respons apa pun. Hingga ketukan beberapa kali yang ia lakukan membuahkan hasil. Indra pendengarnya menangkap suara langkah kaki dari dalam, lebih tepatnya berlari.

Senyum smirk itu pun semakin lebar. Turut memasukkan tangan yang bebas dalam saku celana, ia mendongak untuk menunggu seseorang menyambut kedatangannya.

Pintu terbuka, suara lembut menyapa. "Sayang." Seorang wanita cantik dengan gaun tidur malam terlihat kala pintu di depannya terbuka.

Ali menggigit bibir kala melihat wanita di hadapannya kini hanya berbalut lingerine putih yang tipis. Tercetak betul lekuk tubuh sempurna wanita itu.

"Shitt." Lagi-lagi umpatan itu keluar lirih dari bibirnya. Hanya melihat. hanya melihat saja littlenya mencuat. Oh, sungguh memesona wanita di hadapannya.

Apalagi kata sayang yang sebelumnya terucap dari bibir wanita ini terdengar sangat manja sekaligus seksi. Namun, Ali bisa melihat wajah cantik di hadapannya kini dipenuhi rasa terkejut akan keberadaan dirinya di sini.

"Ali." Oh. Bisakah kalian dengar panggilan lirih itu seperti menunjukkan rasa takut?

Tidak. Karena bagi pria beralis tebal itu adalah hal yang memabukkan. Ali mengembangkan senyum manis saat menyapa. "Hay, sayang," sapanya dengan suara serak.

***

Illy tampak gelisah. Berjalan mondar-mandir bak setrika di ruang tamu rumahnya. Mimik wajah penuh kekhawatiran. Beberapa kali dirinya melihat jam dinding yang ada di atas foto pernikahan.

Entahlah, sudah berapa kali Illy mengamati jam itu. Saat ini jarumnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akan tetapi, sang suami yang ia tunggu sedari tadi tidak kunjung juga datang. Belum pernah Rasya seperti ini.

"Ke mana kamu, Sayang?" tanyanya lirih yang ia ketahui tidak akan mendapat jawaban. Ingatan Illy kembali pada kejadian tadi pagi di mana apa yang ia utarakan memicu pertengkaran yang tidak diinginkan saat sarapan bersama.

Awalnya, Illy merasa kecewa akan sikap Rasya mengenai apa yang dibicarakan tadi pagi. Toh ia merasa apa yang diungkapkan tidaklah salah. Semuanya juga demi kelangsungan rumah tangga mereka.

Akan tetapi, Illy bukanlah orang yang suka mempunyai masalah berlarut-larut. Ia lebih memilih menurunkan egonya terlebih dulu saat ini, memutuskan akan meminta maaf pada sang suami saat ia pulang dari tokonya.

Itulah kenapa Illy memilih untuk pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Akan tetapi, kekecewaan itu hadir kembali karena sang suami tidak kunjung pulang hingga waktu yang sudah selarut ini.

Mendesah kecewa, Illy pun memilih melangkahkan kaki menuju kamar, memutuskan untuk menyudahi aksi menunggu kepulangan suaminya.

Mengambil satu lingerine berwarna putih, Illy membawanya ke kamar mandi. Membersihkan diri dari make-up yang menempel dan segera mengganti baju dengan lingerine yang sebelumnya ia bawa.

Illy memutuskan untuk mengambil segelas air terlebih dahulu sebelum ia beranjak tidur. Baru saja kakinya menapaki anak tangga terakhir, suara ketukan pintu utama rumah terdengar.

Sontak saja hal itu memicu senyumnya untuk mengembang. Tidak berpikir seorang tamu yang datang melihat waktu saat ini. Yang ada dalam benaknya hanya sang suamilah yang datang.

Illy semakin melebarkan langkah kala ketukan pintu itu terdengar kembali. Dengan antusiasnya, wanita bermata hazzle itu membuka pintu utama rumahnya.

"Sayang," panggilnya dengan nada manja dan penuh antusias. Binar bahagia Illy pasang pada wajah cantiknya.

Namun, senyum itu kini berubah menjadi rasa terkejut saat bukan suaminyalah yang terlihat ketika membuka pintu. Melainkan sosok yang beberapa hari terakhir ia hindari.

"Ali," panggilnya lirih akan sosok yang ada di hadapannya.

"Hay, Sayang."

🐰🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰

Selamat Pagi☺☺☺

Jangan bosen ya baca cerita ini😍😍


Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang