44. Galau.
***
Ia hanya mampu berdiam diri. Duduk dengan tangan menyanggah dagu sembari memandang kosong ke arah luar kaca ruangan kerjanya. Di balik benak sana masih diingat jelas kejadian yang ia alami satu bulan lalu. Kejadian yang menurutnya adalah hal menyakitkan dan menyenangkan yang telah dilalui secara bersamaan.
Kejadian yang bersangkutan dengan seseorang. Seseorang yang berarti dalam hidupnya. Masihkah bisa ia tetap menomor satukan Dia? Maka jawabannya adalah iya.
"Hah." Lagi-lagi ia mengembuskan napas kasar.
Seperti masih bisa ia rasa saat tubuh kekarnya memeluk erat tubuh mungil yang kedinginan.
Seperti masih bisa ia rasa kakinya yang lelah namun berusaha ditampik karena ada seseorang yang berharga dalam gendongannya.
Seperti masih bisa ia rasa tetesan-tetesan peluh yang mengalir di sudut keningnya kala tubuhnya menerima sengatan matahari demi melindungi seseorang yang ada di gendongannya.
.
Namun, seperti masih ia ingat juga pandangan benci, amarah murka, kata-kata kebencian yang ia terima dari bibir manis seseorang itu.Pastinya masih bisa ia ingat pandangan kosong yang diberikan kala tubuh yang ada pada gendongannya itu telah diambil alih oleh seseorang yang lebih berhak akan seseorang itu.
Apa kurangnya ia? Pertanyaan itu sering kali terlintas di benaknya. Tidak sepantas itukah ia mendapatkan cinta? Kepulangannya sebulan lalu tentulah hanya akal-akalan saja.
Suara ketukan membuyarkan lamunannya akan seseorang. Dilihatnya pintu ruang kerja yang saat ini terbuka menampilkan sosok wanita dengan pakaian rapi. "Maaf, Pak. Sepuluh menit lagi meeting dimulai."
Ia mengangguk. "Ya. Terima kasih," ucapnya.
Mengenyahkan sejenak pikirannya. Saat ini, ia harus fokus. Move on lebih tepatnya. Dengan membenarkan jasnya, ia mulai melangkah ke ruangan di mana meeting akan dilaksanakan. Menarik napas panjang, ia bergumam. "Lupakan, Li."
***
"Permisi." Illy dan Clara baru saja memasuki ruang rawat Resti. Hari ini keduanya tengah menjenguk sahabat mereka yang baru saja melahirkan bayinya.
"Kalian," ucap Resti antusias. Keduanya memasang senyum bahagia, mendekati Resti lalu berpelukan erat. Tidak lupa sapaan untuk suami Reti yang tengah menata sesuatu di meja samping brankar sahabatnya dirawat.
"Kita bawakan sesuatu nih untuk keponakan kita." Clara berucap dengan memperlihatkan apa yang ia bawa dan apa yang Illy bawa. Dan setelahnya, mereka melipir ke arah box bayi di mana bayi Resti tengah terlelap di sana.
"Lucu ya, Li," ucap Clara dengan tatapan memuja pada bayi laki-laki Resti.
"Iya." Ucapan itu terdengar lirih di pendengaran Clara dan Resti. Keduanya mengerti dengan perasaan Illy saat ini.
Hampir enam tahun menikah belum juga diberi momongan. Pasti sedih rasanya. Belum lagi tekanan dari sang mertua. Jika keduanya membayangkan berada di posisi Illy, mungkin mereka sudah meminta cerai karena tidak kuat akan sikap sang mertua.
Namun, Illy begitu sabarnya ia hingga tetap bertahan dalam rumah tangganya. Sungguh wanita yang tangguh. Semoga ia lekas diberi momongan.
Dilihatnya Illy yang tengah mengelus pipi gembul bayi Resti dengan pandangan berkaca-kaca. Dalam hati ia bertanya. "Kapan aku bisa memiliki dia?"
"Li." Panggilan Clara menyadarkan Illy dari khayalannya. Ia memasang senyum untuk menyembunyikan perasaan sedih. Mencoba memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadikanmu Milikku (APL)
RomanceTidak ada yang bisa Ali lakukan selain merelakan Illy untuk kakaknya saat melihat dua orang yang disayanginya akan menikah. Namun, semua berubah karena ketidaksengajaan di malam pertama sang kakak dan kakak iparnya. Bagaimana mungkin malam itu bisa...