47. Permintaan Illy.
🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰
“Ternyata bayi yang dikandung Illy bukan anakku. Tapi anak Ali,” ucap Rasya tanpa basa-basi saat ia memeluk Clara dari belakang.
Ucapan Rasya tentu saja membuat Clara terkejut. Masih dalam pelukan Rasya, Clara membalikkan tubuhnya menghadap Rasya. “Bagaimana bisa?”
Rasya menghela napas dalam. “Entahlah. Yang jelas, tadi Papa memintaku datang untuk membicarakan sesuatu. Sesampainya di sana aku mendengar teriakan Ali. Aku pikir ada apa, ternyata soal pengakuan itu. Aku mendengarnya sendiri dari mulut Ali saat ia bicara dengan Papa. Setelahnya aku tidak tahu lagi karena langsung memutuskan pergi dari sana.” Clara mendengarkan baik setiap ucapan Rasya.
"Keputusan yang papa kamu ambil benar-benar menghancurkan semua anaknya." Perempuan itu menghela napas dalam. "Aku tidak tahu. Aku haruskah bahagia, atau sedih mendengar ini. Bagaimanapun juga, Illy adalah sahabatku. Rasa bersalah juga ada dalam diriku.”
Tangan Rasya menyelipkan helaian rambut Clara. “Bisakah saat ini kita melupakan itu? Aku sedang merindukanmu saat ini.” Rasya menatap dalam mata Clara. Ia mendaratkan satu ciuman ringan pada bibir Clara.
“Bisa ulangi lagi ciuman itu?” Rasya menautkan kedua alisnya. “Kali ini, lebih panas.”
Rasya menyeringai. Segera ia raih tubuh Clara dan membawanya ke dalam kamar.
***
"Apa yang sudah kamu lakukan, Li?" Illy bertanya sembari menahan kekesalannya terhadap Ali.
Perdebatan mereka saat ini terjadi di lorong rumah sakit. Setelah mendengar papa mertuanya terkena serangan jantung dan dirawat di rumah sakit yang sama, segeralah Illy keluar dari kamar rawatnya dan menemui sang papa mertua.
Sayangnya, hal yang Illy dengar dari alasan papanya masuk rumah sakit membuat Illy merasa tidak habis pikir.
"Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Mengenai Clara, Kak Rasya, mengenai kita." Ali menjawab apa adanya. Meski begitu, raut wajah kekhawatiran masih tampak jelas di wajahnya. Ali tidak menampik jika ini semua adalah salahnya. Papanya masuk rumah sakit setelah mendengar semua kenyataan dari dirinya.
Ali Illy mengusap wajahnya dan menarik napas dalam. "Kenapa kamu bisa seceroboh ini sih, Li. Lihat akibatnya sekarang."
"Aku hanya tidak suka Papa terus-terusan mengatakan bayi dalam kandungan kamu anaknya Kak Rasya. Padahal dia adalah anakku."
Tatapan Illy memicing. "Dari mana kamu yakin ini anak kamu?" tanya Illy.
mengedikkan bahu acuh. "Aku hanya yakin saja. Instingku tidak pernah salah."
Memejamkan mata sejenak, detik selanjutnya membuka lebar. "Tidak bisakah kamu mengesampingkan keegoisanmu sedikit, Li? Lihat akibatnya sekarang."
Tangan Ali terkepal kuat mendengar ucapan Illy. Selalu soal ego. Tak sadarkah Illy? "Sekarang aku tanya padamu, Ly. Bisakah kamu berhenti memikirkan kebahagiaan orang lain? Bisakah kamu berhenti menjadi sok malaikat? Kamu hanya manusia biasa yang juga butuh kebahagiaan. Berhenti memikirkan kebahagiaan orang lain. Jangan korbankan lagi kebahagiaan kamu demi mereka!" ucap Ali dengan amarah yang sudah memuncak. Bahkan kini ia memakai nada tinggi pada Illy.
Sesaat kemudian ia mencoba mengontrol emosinya. "Karena saat kamu melakukan itu, kamu juga telah menghancurkan kebahagiaanku," ucap Ali beralih lirih. Ucapan yang mampu membuat Illy bungkam.
"Berhentilah memikirkan orang lain dan mulailah memikirkan dirimu sendiri. Dan juga ... aku.”
Ali segera menarik napasnya dalam, tidak ingin lepas kendali. Berusaha mengontrol emosinya. Sungguh, ia tidak bermaksud membentak Illy. Hanya saja—
Suara hentakan kaki yang terburu-buru membuat keduanya mengalihkan pandangan mereka. Di sana, terlihat Rasya yang mungkin saja baru mendapat kabar tentang kondisi papanya.
"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Rasya saat sampai di depan Ali dan Illy.
"Sudah membaik. Sekarang sedang ditemani Mama di dalam," jawab Ali sekenanya.
"Syukurlah." Tatapan Rasya beralih pada Illy yang tengah menunduk. Tangan kiri Rasya terulur memegang pundak Illy. Sontak saja membuat Ali melotot. Namun, masih hanya Ali lihat.
Illy mendongak saat merasakan usapan di bahunya. "Kamu tidak papa?" Illy mengangguk dan tersenyum. "Maaf." Ucapan Rasya kali ini hanya mendapat anggukan tanpa ada senyuman. Rasya memaklumi itu.
Kini tangan kanan Rasya membelai perut rata Illy. "Bagaimana keadaannya?"
Illy tahu yang dimaksud Rasya saat ini adalah bayi yang ada di dalam perutnya. "Baik," jawab Illy sembari menggigit bibir bawahnya.
Ali yang melihat itu semakin melebarkan matanya. Segeralah ia mendekati mereka dan menepis tangan Rasya yang masih berada di perut Illy. "Jangan menyentuhnya!"
Rasya memutar bola matanya malas. Suara pintu terbuka dari ruangan Yarendra membuat ketiganya mengalihkan pandangan mereka. Dilihatnya Desi keluar dari ruang rawat.
Tatapan Desi tertuju pada Illy. Memasang senyumnya, ia menghampiri Illy. "Papa mau bicara sama kamu," ucapnya pelan.
Illy mengalihkan pandangan pada Rasya dan juga Ali. Setelahnya, ia mengangguk untuk memasuki ruangan Yarendra.
***
Yarendra memandang sebuah foto seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Seseorang yang sudah beda dunia dengan dirinya. "Maafkan aku sobat. Maafkan aku yang telah gagal membahagiakan putri kita.”
"Papa." Yarendra mengalihkan pandangannya pada Illy yang baru saja memasuki ruangan. Tangan Yarendra terulur bermaksud untuk menggapai Illy. Segeralah perempuan itu mendekat dan menggenggam tangannya.
"Papa," ucap Illy lirih. Sungguh Illy tidak sanggup melihat seseorang yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri terbaring lemah di brankar rumah sakit. Apalagi, dengan penyakit yang cukup membahayakan.
"Maafin papa, Sayang." Yarendra mengucapkannya dengan begitu lirih. Namun Illy masih bisa mendengarnya. Satu titik air mata jatuh dari sinar hazzle itu.
"Tidak, Pa. Papa tidak ada salah sama Illy. Untuk apa Papa minta maaf?" Satu tangan Yarendra yang lain berusaha membelai kepala Illy.
"Justru Illy yang harus minta maaf sama Papa. Illy sudah membuat Papa susah. Illy sudah membuat Papa kecewa." Kali ini tangisnya semakin deras.
Yarendra menitikkan air mata. Sungguh mulia sekali hati putri sahabatnya ini. Tidak ada sesal pun ia rasa karena telah membesarkannya. Begitu Yarendra sangat menyayanginya. Hingga membuat ia melakukan semua hal untuk membahagiakan Illy.
Akan tetapi, apa yang selama ini ia pikir benar ternyata salah. Kebahagiaan yang ia kira akan datang untuk Illy menurutnya, ternyata jauh dari perkiraannya. Yang ada, putrinya ini merasakan tekanan batin. Secara tidak langsung, ia sendirilah yang mengantarkan Illy pada penderitaannya.
"Kenapa kamu tidak pernah mengatakan semuanya, Sayang?"
Illy semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Tuan Yarendra. "Illy sayang Papa. Illy yakin, apa yang menurut Papa baik, akan baik pula bagi Illy."
"Maafin Papa, Sayang. Papa sudah membuat kamu susah," ucap Yarendra dengan isak tangis yang mulai terdengar.
"Tidak, Pa. Tidak." Illy memeluk Yarendra erat. Menumpahkan tangis pada pelukan orang yang sangat berarti seperti Papanya.
"Kebahagiaan Papa adalah kebahagiaan aku juga." Keduanya sama-sama menangisi keadaan yang memilukan.
"Kamu sayang Papa?" Illy mengangguk dalam pelukan Yarendra. "Berjanjilah untuk tidak membohongi Papa lagi."
"Janji."
Yarendra melepaskan pelukan mereka. "Sekarang katakan pada Papa. Apa keinginan kamu?"
"Pa?"
"Katakan yang sejujurnya." Illy tampak menggigit bibir bawahnya. "Katakan, Nak."
"Illy," ucap Illy ragu, “Illy ingin berpisah dari Kak Rasya, Pa."🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰
Selamat pagi. Apakah hari kalian cerah saat ini?
Sok atuh kini sapa aku.
Guys. Kan ada tiga cerita yang lagi jalan nih.
1. Yakin Putus?
2. Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
3. Menjadikanmu MilikkuKalian baca yang mana aja?
Sini jawab😋😋😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadikanmu Milikku (APL)
RomanceTidak ada yang bisa Ali lakukan selain merelakan Illy untuk kakaknya saat melihat dua orang yang disayanginya akan menikah. Namun, semua berubah karena ketidaksengajaan di malam pertama sang kakak dan kakak iparnya. Bagaimana mungkin malam itu bisa...