Suara langkah kaki terdengar dari ruang tamu. Bunda menoleh ke sumber suara, Almeera baru pulang. Ia berjalan tanpa mengetahui keberadaan bunda dan Aaliyah di sana.
"Almeera"
Almeera menoleh ketika seseorang memanggilnya, bunda melambaikan tangannya. Seperti meminta Almeera agar menghampiri bunda, Almeera mengangguk, kakinya berjalan menuju sofa ruang tamu
Mata Aaliyah merah seperti habis menangis. Tapi, hal apa yang membuatnya sampai menangis sesegukan seperti ini
Almeera sudah duduk di sofa depan Aaliyah dan bunda. Ia menunggu bunda yang ragu untuk mengungkapkan sesuatu pada Almeera
"Ada apa, bun?"- pekiknya, memulai topik obrolan lebih dulu
Bunda mendesah "Bagaimana kamu dengan dokter Fahri?"- kata bunda to the point. Huh, lagi-lagi soal dokter itu.
Almeera menolak lamaran dokter Fahri mentah-mentah. Di hadapan bunda, Aaliyah dan Dhanes waktu itu.
Tapi sepertinya bunda penasaran dengan kelanjutan hubungan Almeera dan Fahri
"Gak gimana-gimana, bun. Bunda kan tau kalau dari awal Almeera gak suka sama dokter Fahri"- katanya. Ia meyakinkan bunda soal perasaan yang sedang ia alami sekarang.
Perasaan bimbang. Bingung harus mengiyakan permintaan bunda, atau tetap memilih mencintai Juna. Lagi pula, kalau ia menerima lamaran Fahri, Almeera tidak tau apakah ia akan hidup bahagia dengan pria yang tidak di cintainya.
Dan Almeera merasa kalau ia adalah perempuan paling jahat jika ia menerima lamaran laki-laki baik seperti Fahri hanya karena permintaan dari keluarganya
Almeera menatap mata Aaliyah. Ia menyingkirkan egonya beberapa hari yang lalu, walaupun hatinya belum pulih sepenuhnya, dan emosinya belum juga mereda. Tetapi Aaliyah adalah kakaknya.
"Lo kenapa nangis?"- tegur Almeera. Kemudian Aaliyah spontan menatap sinis Almeera
"Lo pikir aja sendiri, kenapa gue bisa sampai nangis kaya gini"- ketusnya. Almeera mengerutkan dahinya, ia sama sekali tidak tau alasan kenapa Aaliyah sampai menangis seperti itu.
Dan Aaliyah bukannya minta maaf soal kejadian beberapa hari yang lalu, justru malah semakin ketus dengan Almeera
"Gue gak tau, kak. Gue bukan peramal yang bisa menebak hati orang, jadi jelasin aja, jangan suruh gue buat mikir"
"Memang. Lo tuh memang gak bisa mikir. Buktinya aja lo gak bisa melihat hal yang sudah jelas ada di depan mata. Kenapa sih, Mir. Kenapa lo gak bisa melihat ketulusan Fahri buat lo? kenapa lo lebih milih tentara itu"
Sial. Mengungkit masalah ini lagi
"Lo tau gak. Gue tuh merasa gak enak sama dokter Fahri, karna adik gue sendiri menolak lamaran seorang dokter cuma karena tentara itu"
"Kalo lo ngerasa gak enak sama dokter Fahri. Terus perasaan gue gimana, kak? apa gue harus menerima lamaran dari orang yang gak gue cinta cuma karena perasaan gak enak lo itu, apa lo gak mikir perasaan gue gimana?"
"Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Almeera. Dan benar kan kata gue, lo akan di beratkan dengan dua pilihan nantinya. Menerima lamaran dari orang yang mencintai lo, atau menunggu lamaran dari orang yang lo cintai"
"Ya sudah, kalo gitu, lo tinggalin kak Dhanes, dan nikah aja sama dokter Fahri. Kan lo sendiri yang bilang, kalo cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu"
Aaliyah geram saat Almeera membalikan ucapannya. Aaliyah bangkit dari sofa dan berniat untuk menghampiri Almeera, namun bunda menarik tangan Aaliyah
"Bun, dia itu harus di kasih pelajaran, bun. Karena dia selalu menjawab perkataan orang yang lebih tua"
Bunda menggenggam tangan Aaliyah, dan Almeera melihatnya. Kemudian ia menunjukan senyum sinisnya.
"Benar kan apa yang gue bilang, kalo di rumah ini, yang di perdulikan cuma lo, kak. Selalu Aaliyah, bukan Almeera. Semuanya tentang lo, gak perduli seberapa sakit perasaan gue. Bahkan bunda aja tetap membela lo, walaupun bunda tau kalo lo salah"
"Jaga bicara kamu, Almeera!"
Almeera tersenyum, lalu mengarahkan kedua tangannya ke arah bunda "Ini, bun. Genggam tangan Almeera juga, karena anak bunda kan bukan cuma Aaliyah. Bela Almeera juga, bun. Biar Almeera ngerasain gimana rasanya jadi Aaliyah yang selalu di prioritaskan"
Almeera bangkit dari sofa, kemudian ia berlari dan menaiki anak tangga rumahnya. Almeera menutup pintu kamar, kemudian menguncinya dari dalam.
"Almeera"
"Almeera"
Seseorang mengetuk pintu kamar Almeera dari luar, awalnya Almeera tidak mau membuka pintu kamar itu. Tapi ia tidak tega kalau bunda mengemis agar Almeera mau membukakan pintu kamar untuknya.
Almeera berjalan dan membuka kunci pintu kamarnya. Bunda tersenyum, lalu masuk ke dalam kamar Almeera. Bunda duduk di atas tempat tidur Almeera, bunda mengarahkan Almeera agar ia mau duduk di sebelahnya
Almeera mengangguk, kemudian bunda memainkan rambut Almeera. Dari raut wajahnya, bunda terlihat lelah. Mungkin karena seharian bekerja
"Almeera. Mungkin maksud Aaliyah baik"
"Selalu memaksa Almeera ngelakuin hal yang gak Almeera suka, apa itu baik, bun?"
"Almeera, kamu juga harus memahami kakak kamu"
"Jadi harus Almeera aja ya, bun? yang harus memahami Aaliyah? apa akan jadi dosa besar jika seorang kakak mau mengalah dari adiknya?"
"Aaliyah cuma gak mau kamu salah memilih"
"Bun, kalau bunda ke sini cuma karena bunda gak mau liat Aaliyah sedih, dengan cara membujuk Almeera supaya menerima lamaran dokter Fahri. Maaf bun, kali ini Almeera gak bisa mengalah untuk hal itu, Almeera sudah capek, bun. Dari kecil selalu ngalah demi anak kebanggaan keluarga ini, Almeera kadang mikir, bun. Apa Almeera benar anak bunda atau bukan? karena yang kalian lihat itu selalu Aaliyah. Bun, Almeera cuma mau mempertahankan hal yang membuat Almeera bahagia, bun. Maaf kalo bunda gak suka, maaf bun, karena Almeera belum bisa jadi anak yang baik"
Bunda memeluk Almeera. Gadis kecilnya sekarang tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Herlina merasa kalau ia gagal jadi seorang ibu, karena yang ia perhatikan selalu kebahagiaan Aaliyah.
Herlina hampir lupa kalau putrinya ada dua. Sebenarnya ia juga tidak mau melihat kedua putrinya bertengkar hanya karena saling mempertahankan ego masing-masing
Almeera menangis di pelukan bunda "Bun, apa orang tua rela melihat anaknya tidak bahagia, bun? apa bunda mau lihat Almeera terpaksa menerima lamaran dokter Fahri? apa salah ya, kalau Almeera merasakan kasih sayang yang gak pernah Almeera dapet seumur hidup, dari seorang laki-laki yang tulus seperti Juna? Juna laki-laki yang baik, bun. Kalau kak Aaliyah bilang Juna sama saja dengan mereka yang selalu di nilai buruk, kak Aaliyah salah, bun. Pada kenyataannya hal itu bergantung dari pola pikir kita, bagaimana cara kita melihat seseorang itu, tapi bukan cuma dari luarnya saja, bun. Karena penampilan tidak menentukan baik buruknya seseorang"
Bunda menghela nafasnya "Almeera. Kadang orang tua hanya mau yang terbaik untuk anaknya, bagimana caranya supaya bunda bisa lihat anak bunda bahagia, tapi ternyata bunda keliru, bunda hanya memikirkan perasaan anak bunda yang pertama, dan bunda lupa kalau bunda punya anak perempuan kedua yang sekarang sudah tumbuh jadi cantik dan dewasa. Nak, pergi lah ke jalan yang menurut kamu benar, bunda hanya bisa memberi restu di setiap perjalanan Almeera. Kadang bunda lupa, kalau apa yang bunda inginkan itu ternyata tidak membuat kamu bahagia. Melangkahlah, jadilah kepompong yang tumbuh menjadi kupu kupu yang cantik. Bunda terlalu egois jika melarang kamu untuk bertemu dengan hal yang membuat anak bunda bahagia"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Juna (Antara Aku Dan Negara)
Romance"satu atau dua tahun lagi, pasti kamu akan lupa denganku, Almeera" Almeera si keras kepala ini menjawab "Mas Juna tau dari mana kalau satu atau dua tahun lagi aku akan lupa sama mas?" "Karena nanti akan ada laki laki lain yang datang ke hidup kamu s...