Almeera membuka pintu ruang tamu, ia berjalan menaiki anak tangga rumahnya. Aaliyah memanggil Almeera agar ia duduk di sofa ruang tamu
Almeera mengangguk, ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Aaliyah, lalu duduk di sofa sebelah Aaliyah
"Habis dari mana?"
"Jalan-jalan"
Aaliyah menghela nafasnya "Sama tentara itu lagi?"
Almeera diam beberapa detik. Hal yang ia sembunyikan dengan rapat, sepertinya sudah di ketahui oleh Aaliyah
Almeera mengangguk "Ya. Memangnya kenapa?"- jawab Almeera. Ia menduga kalau setelah ini, Aaliyah akan membanding-bandingkan Juna dengan Fahri.
Singkat cerita, Fahri adalah teman Dhanes (tunangannya Aaliyah). Fahri menyukai Almeera, ia selalu bertanya pada Aaliyah dan Dhanes tentang hal apa yang Almeera sukai dan tidak.
Tetapi ketika Almeera mengetahui itu, ia jaga jarak dengan dokter Fahri. Karena Almeera sering bertemu dengannya di rumah
Almeera menolak Aaliyah yang menjodohkannya dengan Fahri, alasannya pasti karena tentara itu. Aaliyah memergoki Almeera bersama dengan seorang pria yang memakai pakaian seperti tentara
Menyedihkan, kenapa Almeera menolak mentah-mentah pria tampan dan berwibawa seperti Fahri
"Memangnya lo benar-benar mau serius sama tentara itu?"
"Ck"- "Namanya Juna, kak. Bukan tentara itu"
Tidak perduli siapa namanya, apa jabatan yang dia miliki, tapi yang jelas, Aaliyah lebih setuju kalau Almeera dengan Fahri, bukan Juna.
Tidak tau kenapa, Aaliyah selalu memiliki firasat buruk pada Juna, mengingat banyak sekali kabar burung tentang tingkah laku seorang tentara yang ia dengar dari mulut ke mulut.
Tapi Almeera selalu bilang pada Aaliyah dan meyakinkannya, kalau keburukan seseorang itu tidak di lihat dari profesinya, tetapi berasal dari kepribadian mereka masing-masing.
"Lo jangan terlalu menaruh hati sama dia, apalagi dia seorang tentara, sering di tugasin di tempat-tempat yang jauh, kan? dan lo juga gak tau apa yang tentara itu lakuin tanpa sepengetahuan lo"
Almeera memutar bola mata malasnya. Yang bisa membenarkan Juna seperti apa orangnya, ya hanya diri Almeera sendiri. Karena Almeera yang sering bersama dengan Juna, bukan Aaliyah
"Udah?"- tegas Almeera. Ketika ia membalikan badannya dan beranjak dari sofa, Aaliyah dengan cepat menarik tangannya hingga membuat Almeera kembali duduk
"Sebenarnya lo hargai gue sebagai kakak lo gak sih?"
Almeera mengangguk "Iya. Terus kenapa? lo mau banding-bandingin Juna sama temen lo lagi?"
"Gue gak suka kalo lo deket sama tentara itu"
"Suka atau nggaknya lo sama Juna. Itu urusan lo sama hati lo, kak. Lo selalu nilai Juna buruk, hanya karena lo mendengar kabar dari orang yang kenyataannya belum tentu bener. Kalau ada salah satu dari mereka yang gak baik, bukan berarti Juna gak baik, kan? tapi balik lagi, itu urusan lo sama hati lo. Gue cuma minta lo jangan pernah samain Juna sama mereka. Lagi pula, kalo lo tau ada teman seprofesi Juna yang sifatnya mungkin gak baik, ya lo jangan menyamaratakan mereka. Karena mereka beda"
"Sekarang gue tanya sama lo. Apa yang lo harapkan dari tentara itu? memangnya lo pikir dia bisa setia dengan satu perempuan? kalau dia di tugasin di tempat yang jauh dari lo, apa lo fikir dia akan mikirin lo? lagi pula, kalo lo beneran sama tentara itu, memangnya yakin kalo lo siap di tinggal tugas kemana aja? enggak kan? di tinggal dua minggu aja lo mewek"
Almeera diam, sebenarnya ia juga tidak ingin bertengkar dengan Aaliyah dan memperburuk hubungan mereka
"Almeera. Lo tuh anak kecil, perempuan manja yang gak bisa sendirian"- pekiknya. Aaliyah mengucapkan hal itu tanpa berpikir panjang. Ia tidak berpikir kalau ucapannya barusan sudah membuat Almeera sakit hati
Almeera menoleh, ia mengerutkan dahinya, ingin bertanya pada Aaliyah apa maksud dari ucapannya "Maksud lo apa?"
Aaliyah tidak menjawab. Ia sebenarnya terbawa suasana sehingga dengan lantang mengucapkan hal yang mungkin membuat hati Almeera sedikit tergores karena ulahnya
"Lo mungkin udah lupa ya, kak? kalo dari kecil gue selalu sendirian? gue gak punya teman, gue gak punya sahabat, bahkan gue juga gak pernah dapetin kasih sayang ayah. Lo lupa kalo gue gak pernah bisa dapetin apa yang lo dapet. Gue ancur, kak. Sementara hidup lo begitu tertata dan bahagia. Ayah jauh, tapi yang ayah tanya selalu kabar kak Aaliyah, gimana kuliahnya, gimana pendidikannya. Bahkan keluarga ayah juga selalu membanding-bandingkan gue sama lo, kan? Terus, ketika ada laki-laki baik yang datang dan dia bisa menggantikan kasih sayang yang hilang dari hidup gue, lo malah larang gue untuk ketemu sama bahagianya gue"
"Gue ini Almeera, kak. Almeera si keras kepala, Almeera yang gak pernah nurut ucapan lo, bunda dan yang lain. dan sepertinya, gue juga gak akan pernah membiarkan lo larang gue untuk menjalin hubungan dengan Juna. Bahkan ketika lo minta gue untuk dekat sama dokter itu"
Benar kata orang. Jangan pernah menyakiti hati seseorang yang sedang emosi, atau kalau tidak, ucapannya akan lebih tajam melebihi sayatan pisau.
"Nyatanya lo gak pernah menghargai gue sebagai kakak lo, Mir"
"Nggak menghargai gimana, kak? apa gue belum cukup mengalah selama gue hidup? apa gue belum cukup mengorbankan semua yang gue punya hanya untuk kebahagiaan lo? lagi pula, kalo gue menghargai lo sebagai kakak, apa lo bisa seenaknya berbicara buruk tentang Juna? apa kalo gue menghargai lo, jadi lo bisa seenaknya mengatur hidup gue? dengan siapa gue nantinya?"
Aaliyah terdiam. Ia jatuh tersungkur ke lantai, lalu melipat kedua kakinya dan menangis. Benar kata Almeera. Ia tidak pernah bisa melihat pengorbanan Almeera untuknya selama mereka hidup
Tapi, Aaliyah hanya ingin yang terbaik untuk adiknya. Ia tidak ingin laki-laki sembarangan bisa dengan mudah mendapatkan Almeera begitu saja.
Perdebatannya dengan Aaliyah barusan membuat energi Almeera terkuras. Ia pergi meninggalkan ruang tamu
Jika di bandingkan dengan Almeera, mungkin sudah banyak sekali air mata yang ia sembunyikan dari orang lain. Sehingga ia sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air matanya di depan orang seperti apa yang di lakukan Aaliyah sekarang.
Almeera mengunci pintu kamarnya dari dalam. Berharap agar tidak ada siapapun yang mengganggu malamnya yang tenang. Ia mengambil alih lampu yang ada di meja rias sebelum bayangan hitam itu kembali hadir menemani malamnya.
Almeera membuka sebuah buku yang di dalamnya terdapat banyak sekali goresan tinta. Ia mulai menulis sesuatu di buku itu.
Lalu kemudian, aku terus bertanya tanpa henti. Perihal perintah siapa yang harus aku turuti, antara pikiran dan hati.
Semuanya bergerak mengikuti alunan nada dan gambaran ilusi.
Menunggu hingga lelah, sampai jiwanya benar-benar mati.
Malamku ini hanya memandang bintang yang tidak pernah bersuara.
Ia terdiam dan mengikuti alunan nada yang sunyi dari dalam kamar ini.
Dan aku memilih untuk tetap setia, pada pria yang teduh jiwanya.
Mata sayu miliknya yang berhasil mengubah dunia.
Aku mencintainya, sampai besi berubah jadi abu. Sampai langit sudah tidak bisa lagi membiru.Walau ada kabar dari bulan ke bulan, yang aku dengar tentang coretan tinta profesinya. Katanya ; "Berhenti menunggu, karena 'dia' tidak hanya memiliki satu, dia berdua di sana, di sana ada lagi, dan di sana juga."
Tidak, tidak, tidak mungkin. Kertas putih itu boleh tercoreng oleh tinta.
Tapi Almeera tau kalau Juna-nya selalu setia.
Meski banyak kemungkinan yang selalu beradu di dalam pikirannya ; "Mungkin ada jumpa dia dengan senja secara sembunyi, dan berbagi cerita di belakangku."
Aku tidak akan menyalahkan jumpa mereka. Sebab aku melakukannya bukan untuk dia, bukan untukku juga.
Tapi ini untuk ku tunjukan pada dunia kalau cintanya Almeera itu hanya Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Juna (Antara Aku Dan Negara)
Romance"satu atau dua tahun lagi, pasti kamu akan lupa denganku, Almeera" Almeera si keras kepala ini menjawab "Mas Juna tau dari mana kalau satu atau dua tahun lagi aku akan lupa sama mas?" "Karena nanti akan ada laki laki lain yang datang ke hidup kamu s...