9. 🍎

24 3 6
                                    

"Kamu nyakin hanya beberapa hari?" Tanya Tia setelah mendengar penjelasan Daisy.

Ya, sesudah pulang tadi. Daisy menemui Tia untuk membicarakan niatnya tentang Rama, laki-laki kecil yang ditemuinya di sekitar toko gitar.

Daisy hanya memberi tahu belum membujuk. Daisy akan membujuk jika Tia awalnya menolak saja.

"Tentu Nek. Dia ingin merasakan keluarga dan Daisy kira memberikan sedikit perhatian kita padanya sudah cukup sebelum Daisy bawa ke panti untuk tinggal disana," jelasnya lagi.

"Jika itu keputusanmu. Nenek dukung saja selama tidak membahayakan keharmonisan keluarga kita," ucap Tia membuat Daisy tersenyum cerita.

"Terima kasih, Nenek."

Daisy sering meminta pendapat awal dari Tia, sebab kunci terbesar keberhasilan persetujuan adalah Tia sendiri. Meski bukan kepala keluarga tapi keputusannya lebih sering disetujui.

Mengingat kembali anak pertamanya, Beni. Sangat penurut kepadanya. Apapun perintah selalu disetujui asalkan tidak memberatkan sebelaha pihak.

Setelah selesai berbicara dengan Tia. Daisy pergi ke kamar untuk melihat Rama. Saat pertama dibuka, bisa dilihat Rama sedang tertidur pulas diatas ranjang tengah.

Daisy tersenyum sambil mendekat. Mengelus kepalanya dengan lembut layaknya kakak kepada adiknya. Lama-lama Daisy mengawati wajah Rama yang terlihat cukup tampan setelah mandi.

æ

Setelah selesai merangkum pelajaran hari ini. Joe menegakkan tubuhnya. Melihat luar yang sudah menunjukkan Sore.

Joe berpikir ternyata lama sekali dia belajarnya. Joe pergi keluar kamar untuk membersihkan ruangan sambil menunggu pesanan makanan yang dipesan lewat online.

Sedang asiknya tiba-tiba terlintas gambaran kemarin saat ada gadis yang memutarkan lagu Hindia. Senyum setipis kertas muncul dari sudut bibirnya.

Namun tidak selang lama, pintu apartemennya berbunyi dan bersuara tanda akan ada orang yang akan memasukinya. Matanya terus menatap hingga sosok orang melahirkannya muncul dengan senyum tipisnya.

"Lagi nyapu nak?" Tanyanya diangguki kecil olehnya.

Joe menatap mata ibunya yang terlihat sedikit bengkak. Menyandarkan sapu di sofa lalu mendekati ibunya.

Senyum ibunya semakin mengembang dengan mata teduhnya. Tangan sibuk mengelus punggung lebar Joe.

"Mama tidak apa apa sayang," ucapnya berusaha bersikap biasa saja. Dirasa Joe menggeleng membuatnya menghela nafas.

Lula, ibu Joe hanya membiarkan anaknya terus memeluknya. Lula nyakin setelah ini pasti Joe akan lebih tenang.

"Mama masih punya kamu, sayang. Jangan bikin mama sedih melihat kamu terus terpuruk. Sudahilah rasa penyelesan kamu, kamu harus ikhlas," lanjutnya membuat mata Joe berkaca-kaca sambil menggeleng.

"Ini sudah sepuluh tahun berlalu. Sampai kapan kamu akan terus menyalahkan diri kamu sendiri? Selama ini kita sudah berusaha tapi tidak ada hasil, nihil."

Sifat Joe memang pendiam tapi tidak sependiam dulu. Apapun lawan bicara yang dilakukan, Joe akan tersenyum sebagai respon. Tapi setelah kejadian itu, Joe jarang berbicara dan tersenyum.

Bahkan Joe menutup dirinya dengan tinggal sendiri di apartemen yang dibelikan oleh ayahnya. Meski orang tuanya khususnya Lula, sering mendatanginya tapi sebagai orang tua pasti tidak akan tega membiarkannya tinggal sendiri.

Kejadian yang membuat perubahan drastis pada diri Joe, sebenarnya sudah ikhlaskan sejak lama oleh kedua orangnya. Namun tetap saja Joe masih dalam rasa penyesalannya.

Joe juga tahu, orang tuanya mengakatakan keikhlasan tapi matanya tidak pernah salah. Joe melihat rasa kehilangan besar yang tertutupi oleh senyumnya.

Dalam tangisannya Joe mengucapkan sesuatu yang membuat Lula semakin bersedih dikala mengetahui Lula juga yang membuat Joe seperti ini.

"Tangisan Mama yang membuatku seperti tertusuk ribuan anak panah. Setiap air mata yang mengalir melewati pipi Mama bagaikan setiap detik malaikat penyabut nyawa ku,"

Lula mengeratkan pelukannya sambil berusaha menahan air matanya. Namun tetap saja terdengar suara isaknya.

"Jangan menangis Mama...,"

æ

Malam telah datang hingga menunjukkan waktu makan malam. Semua keluarga berbondong-bondong mendekati meja makan.

Beni yang sudah pulang dari kantor jiga hadir setelah menyegarkan diri. Begitupun Daisy yang baru saja membuka pintu bersama Rama di sampingnya.

Beni dan Nila menyergit saat melihat orang tak dikenal yang berdiri di samping Daisy. "Siapa?" Tanya Beni.

"Ini Rama. Dia akan tinggal di sini beberapa hari," jawab Daisy merangkul bahu Rama yang tersenyum malu-malu pada Beni sekeluarga.

Beni mengangguk mengerti. "Yang Bunda ceritain tadi?" Tia mengangguk sebagai jawaban.

"Ayo nak duduk. Kita harus segera makan malam," ucap Tia agar semua duduk di kursinya masing-masing.

"Kamu mau makan apa?" Tanya Daisy pada Rama. "Ayam goreng! Aku belum pernah makan ayam goreng. Kata orang-orang ayam goreng rasanya enak, jadi aku pengen makan itu." 

Semua orang menatapnya sendu dan terkejut. Rasa kasian dihati mereka begitu besar untuk anak kecil ini.

"Ambil yang banyak nak. Puaskan perut kamu dengan ayam goreng ya," ujar Tia membuat Rama tersenyum senang.

"Terima kasih tapi aku tidak boleh serakah. Masih ada kalian, aku tidak mau melupakan tuan rumah. Nanti kalau masih sisa, ngak papa aku makan," ucap Rama tidak enak hati.

"Umurmu masih kecil tapi sudah dewasa sekali pemikiran kamu," puji Nila.

"Sama apa lagi?" Tanya Daisy setelah menyambil satu potong ayam goreng. "Sayur sop tanpa kuah, kak."

Setelah mengambilkan semua apa yang disebutkan Daisy meletakkan piring di depan Rama, baru gelas berisikan air putih.

Mereka memakan makanannya dengan santai. Meski tidak ada perbincangan di ruang makan itu.

Setelah selesai mereka berpencar sesuai kegiatan yang diinginkan. Beni pergi ke ruang kerja. Dimas pergi keluar katanya ada yang ingin dibeli.

Sedangkan sisanya menemani Tia menonton TV. Rama yang notabenya laki-laki sendiri, tidak masalah jika berkumpul dengan perempuan.

"Jadi ini rasanya berkumpul sama keluarga? Meski tidak semuanya ada," ucap Rama ditengah-tengah menonton TV.

"Selama hidup, aku akan berhutang budi sama kak Daisy karena telah membiarkan aku hidup bersama keluarganya, ya meski hanya sementara," lanjutnya tersenyum lebar pada Daisy.

"Memangnya kamu tidak punya keluarga atau kerabat?" Tanya Nila.

"Jangankan keluarga atau kerabat, nama dan mereka tinggal saja aku tidak tahu. Tapi aku selalu berdoa agar segera di pertemukan dengan mereka, walaupun aku tidak tahu apakah kehadiran ku di terima atau tidak," ucapnya begitu polos dimata Tia dan Nila.

"Mereka pasti sangat menanti kehadiran dan pertemuan kalian. Tidak ada orang tua yang tidak suka dengan adannya anak dikehidupan orang tua."

"Orang tua dan anak itu adalah satu kesatuan, dua itu saling melengkapi. Jika orang tua tanpa anak tentu akan kurang rasanya begitupun dengan seorang anak," tutur Nila.

Nila mendekati Rama yang terus menatapnya. "Peluklah Bunda sebagaimana kamu memeluk ibumu agar kamu tahu seberapa hangatnya kasih sayang seorang ibu,"

Rama menitiskan air matanya begitu saja saat mendengar kata indah itu. Rama berhambur ke pelukan Nila dan memeluknya seerat mungkin agar bisa tahu kehangatan seorang ibu.

"Terima kasih tanten," ucapnya terbata-bata. "Panggil Bunda saja, sayang."

Rama semakin menangis dikala suara Nila begitu lembut ditelinganya. Rasanya Rama sudah sangat bersyukur bisa bertemu dengan Daisy ditambah lagi keluarganya yang sangat menerima kehadirannya tanpa terganggu sedikitpun.

"Terima kasih..., terima kasih...."

Bersambung.

Kisah Cinta DAISY (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang