Wajah mungil, kulit merah akibat iritasi matahari dan tamparan, bibir pecah berdarah, leher kecil, rambut acak-acakkan dan lepek, pakaian kotor. Heee anak kecil ini terlihat sangat mengerikan! Manusia dewasa mana yang tega memperlakukan bocah cilik dengan-oh tunggu, pantulan dalam cermin mengikuti gerakanku.
“Aiya, berhenti menyakiti Ruby!”
“John, minggir. Kau tidak tahu betapa malas dan tidak bergunanya keponakanmu itu! Dia hanya memberiku setengah dari hasil setoran yang selama ini dia berikan kepadaku. Bila seperti ini, terus berlangsung seperti ini, maka kita akan kekurangan makanan ketika musim dingin tiba! Kau tidak tahu betapa susahnya aku harus mengais penghasilan sebagai pencuci pakaian di rumah penginapan!”
Ruby? Aku Ruby? Heee ada apa ini?
Belum usai keterkejutanku, Aiya meraihku dan menyeretku ke luar. “Lebih baik kau tidur di gudang!” raungnya. “Anak pemalas!”
Aiya langsung melemparku masuk ke dalam gudang, menutup pintu, dan meninggalkanku seorang diri.
Di luar terdengar pertengkaran antara Aiya dan pria bernama John. Aku hanya bisa berusaha menahan nyeri yang melanda tubuh. Alas tidurku hanya jerami, ada seekor kambing jantan dan sekelompok ayam yang bersarang di pojok ruangan.
“Ini sih bukan gudang,” gumamku sembari mengelus tangan dan lutut. “Ini namanya kandang! Apa kau tidak bisa membedakan antara gudang, tempat menyimpan barang, dan kandang, tempat binatang ternak bersarang? Semudah itu!”
Perutku melilit. Perih melanda dan tenggorokkan terasa kering.
Tertatih-tatih aku mendekati ember, mencoba menemukan air, tapi nihil. Hanya ada air bercampur lumpur dan serangga. Sontak aku langsung bergidik, mundur, dan memilih duduk sembari mengamati kambing dan induk ayam.
Ruby? Ada beberapa cerita dengan tokoh bernama Ruby. Untuk saat ini aku belum bisa menentukan Ruby versi cerita manakah aku berada? Itu dengan asumsi bahwa aku ternyata tengah terdampar ke suatu novel, persis seperti orang-orang yang selama ini aku baca.
Sungguh kejam. Orang lain, tokoh dalam cerita yang aku baca, mati dan terlahir kembali menjadi putri keluarga kaya raya. Namun, aku justru langsung terdampar dan ditampar wanita bernama Aiya. Itu belum termasuk dengan hinaan dan makian kotor.
Yang benar saja. Ruby ini baru berusia delapan tahun! Bukan 23 tahun ataupun 35 tahun! Bocah cilik ini bahkan tidak memiliki bentuk tubuh sehat! Maksudku kurus! Tanda bahwa Aiya sering menelantarkan Ruby. Seingatku tadi Aiya mengenakan pakaian yang jauh lebih bersih dan rapi daripada pakaian yang sekarang dikenakan Ruby.
Sepatu Ruby terasa sesak dan membuat jari sakit. Kain pakaian yang ia pakai pun terasa kasar.
Andai aku bertemu Aiya dalam versi dewasa, maka sudah pasti akan kupukul dan kugampar dia! Tega-teganya mempekerjakan anak di bawah umur! Tanpa makan pula! Sinting! Bahkan pria bernama John itu pun tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan Aiya.
Kambing mengembik, mulai memakan jerami tanpa memedulikan pelototanku. Terbersit pikiran mengenai kambing guling dan gulai. Namun, perutku terlalu lapar dan tenaga seolah telah terserap habis.
Pada akhirnya aku memilih meringkuk, memeluk diri sendiri, dan tidur.
Esok paginya ketika ayam berkokok dan seseorang menamparku. Ah ya, Aiya kembali menampar dan menjewer telingaku. “Bocah pemalas! Sekarang kau harus berangkat ke pertanian! Kau harus memanen tomat! Ingat, awas kalau kau berani menyembunyikan bayaran!”
Terseok-seok aku ke luar dari kandang. Hanya untuk mendapati seorang bocah lelaki yang menatapku dengan pandangan melas. “Ayo,” katanya, lirih. “Kita berangkat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...