Beberapa hari menetap di kediaman Aveza, aku masih belum bertemu nyonya rumah—istri Duke Armand Aveza. Adapun yang sering kutemui ialah Pearl (yang senang mendandaniku bersama Natalie), Alex (yang gemar menempeliku persis tokek), dan Duke (yang masih keras kepala menggendongku di mana pun, kapan pun, tidak peduli protesku).
Rasanya sedikit aneh transisi ini. Dari hidup di dunia modern yang biasa saja, lalu pindah ke dunia serbasihir. Dari tinggal bersama keluarga yang hanya peduli pendapatanku, menuju keluarga normal bahagia. Ada sedikit perasaan cemas. Takut bila terlalu bahagia maka esok kebahagiaan, segala kesenangan yang berjatuhan di pangkuanku ini, akan lenyap begitu saja.
Aku tahu tidak boleh berpikir buruk. Namun, rasa waswas enggan lenyap. Masih bersembunyi dengan segenap ketakutan dari kehidupan pertamaku. Barangkali manusia yang merasa takut dengan masa depan pun bukan hanya diriku seorang, melainkan ada banyak orang tengah berjibaku dengan kehidupan sehari-hari; mencoba bertahan hidup mencari sesuap nasi, terus pasang senyum walau hati merana, dan tidak memiliki satu orang pun pendengar.
Pasti menyenangkan bila kita, sesama manusia yang merasa kesepian, saling dukung dan coba menghibur. Sedikit demi sedikit kepedulian akan mencairkan perasaan tidak berdaya dan menerangi masa-masa sulit.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” Alex mencubit pipiku, menolak kembali ke kamarnya dan memilih menemaniku bermain. Sebenarnya yang sedang bermain hanya dia seorang, bukan aku. “Kakak akan dengan senang hati mendengarkanmu. Lihat, huhu kenapa kau begitu menggemaskan. Apa sebaiknya aku menelanmu?”
Setop. “Tidak mau-huwaaaa!”
Masalah hidupku yang lain adalah emosi anak-anak yang menyertaiku. Sekalipun aku ingin mengendalikan pola pikir dewasaku, tetapi mental bocah cilik selalu keluar sebagai sang pemenang.
“Jangan menangis,” Alex mencoba menenangkan. Dia menyeka air mata menggunakan tangan, kemudian mencium pelipisku. “Kau tahu Ayah tengah mengurus surat keluarga. Itu artinya secara resmi kau akan diperkenalkan sebagai Aveza. Cih, aku tidak percaya Paman Nicholas bisa memiliki putri sepertimu. Bagaimana bisa dia tidak mempertimbangkan dirimu sebelum menghilang.”
Nicholas Aveza, adik kandung Armand Aveza. Dia lenyap dalam misi delapan tahun lalu. Secara resmi dia dinyatakan meninggal ketika menunaikan tugas, tetapi sampai sekarang tubuhnya belum ditemukan.
Pikiran mengenai Nicholas membuatku bertanya-tanya. Orang sekuat Nicholas tidak mungkin mati begitu saja. Apalagi monster yang dihadapi hanya sekelas teri, walau dalam jumlah banyak. Pasti ada sesuatu yang mereka, kerajaan dan Aveza, lewatkan.
“Natalie,” aku memanggil, menjulurkan tangan dan berharap dia bersedia menjauhkanku dari pelukan Alex.
“Kenapa kau selalu memanggil Natalie? Aku ada di sini.”
Kenapa kau tidak berlatih pedang? “Pergi,” kataku sembari menunjuk pintu. “Berlatih.”
“Ruby sayangku, Kakak sedang libur.”
‘Bohong. Pasti kau mengelak dari latihan,’ kataku dalam hati.
Natalie menutup mulut, mencoba menahan dorongan tertawa.
“Natalie!” aku memekik, benar-benar merasa putus asa dan butuh pertolongan. “Natalie! Huhu-waaaaa!”
Air mata terus saja mengalir tanpa bisa aku kendalikan. Jiwa bocah cilik benar-benar barbar—tidak sanggup dikalahkan mental wanita 31 tahun yang telah merasakan pahit, getir, dan asamnya dunia kapitalis. Tidak. HARGA DIRIKU!
“Alex, jangan ganggu Ruby.”
Duke datang. Kali ini dia membawa serta seorang tamu.
Dengan mudah Duke mengambil diriku dari dekapan Alex. “Ruby, kenapa kau memanggil Natalie?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...