“Jangan pikir aku tidak tahu kau bermaksud menjadikan putriku sebagai bahan suap!”
Otak Nicholas Aveza kadang bekerja dengan cara yang tidak bisa dipahami oleh siapa pun, termasuk Ragnok sekalipun. Tuduhan Nicholas tidak berdasar dan sangat lemah. Bisa saja dia menuduh Ragnok ingin menelan Ruby, bocah semungil itu cocok dijadikan kudapan bagi monster setua Ragnok, tetapi Nicholas memilih berasumsi bahwa Ruby setara sebagai bahan tukar.
“Kau pasti ingin memanfaatkan putriku!”
Nicholas terlihat seperti anjing yang selalu menyalak setiap kali melihat manusia lewat. Bukan jenis hubungan yang disukai Ragnok: Menjinakkan manusia.
“Apa kau yakin meninggalkan Nona di sini akan menjamin keselamatannya?” Ragnok membujuk akal sehat Nicholas. “Paladin dan pendeta, lalu jangan lupakan kesatria yang bekerja di bawah panji bangsawan lain. Apa kau yakin mereka tidak akan membocorkan mengenai putrimu? Di sini? Akan lebih baik bila aku membawanya kembali ke Sevie daripada....”
Kata-kata Ragnok terputus begitu melihat ekspresi di wajah Nicholas; kening berkerut, cuping hidung kembang kempis, wajah merah padam. Dia yakin bahwa Nicholas, andai bisa, akan langsung melejit dan membawa Ruby kabur dari hadapan Ragnok saat itu juga.
“Putriku tidak akan pergi ke mana pun,” Nicholas memutuskan. “Dia harus bersamaku. Bersama ayahnya.”
“Dengan orang-orang asing yang akan mempertanyakan kehadirannya?” Ragnok menyerang. “Jangan lupakan mengenai paladin dan pendeta. Mereka tahu siapa aku, Nicholas Aveza. Semakin kau menghalangiku menyelesaikan masalah, makin buruk urusan yang harus kauselesaikan. Apa kau bermaksud mengajak putrimu menyingkirkan dua monster lainnya? Apa kau ingin menyiarkan Ruby Aveza sebagai saint berikutnya? Orang suci yang membaktikan diri kepada kerajaan dan manusia? Apa itu yang kauharapkan?”
Nicholas tidak berkutik.
Perlahan Ragnok menjulurkan tangan, meraih Ruby dari pelukan Nicholas, dan menimangnya. “Selamat tinggal.”
Sulur hitam menguar keluar dari titik di belakang Ragnok, perlahan membesar, kemudian Ragnok pun melesat masuk—meninggalkan Nicholas Aveza.
Sesampainya di Sevie, Ragnok mendapati Zan telah mengurung Ung dalam sangkar yang terbuat dari jalinan ranting rowan. Ung mengaok dan mengepakkan sayap, selalu mematuki jeruji seolah bisa bebas dengan cara menghancurkannya menggunakan paruh mungil.
“Kaaaak!”
“Kau yang memulai,” desis Zan sembari menunjuk sangkar. “Dasar gagak tidak tahu diri. Akan aku kembalikan kau kepada Cerkho dan kita lihat saja! Oh, Ragnok. Beres?”
Zan duduk di batu. Dia dikelilingi pixy yang tengah mengolok-ngolok Ung. Sangkar yang mengurung Ung kini dibawa pergi oleh sekelompok burung dengan sayap berwarna-warni. Ung terus mengaok seolah tengah protes.
“Gagak bulat itu akan menjalani hukuman karena telah berani merusak rambutku,” ujar Zan seraya memamerkan rambutnya yang indah. “Para niad menyukai rambutku. Rambutku!” Kemudian pandangan Zan jatuh kepada Ruby yang ada dalam buaian Ragnok. “Lekas pulangkan dia ke Aveza. Jangan pakai wujud manusia,” katanya memperingatkan. “Sebaiknya kau tampil menggunakan wujud asilmu: Ular. Kau tidak tahu saja manusia yang cemburu itu bisa sangat menyebalkan.”
Beberapa peri kupu-kupu terbang mendekat. Mereka setinggi anak-anak manusia. Masing-masing saling bantu mengangkat keranjang yang amat besar hingga bisa dipakai untuk tidur seorang bocah.
“Jangan masukan Ruby ke dalam mulutmu,” Zan menjelaskan, menepuk keranjang yang terbuat dari anyaman rotan. Di dalam keranjang telah dipasang aneka bulu burung, terlihat amat empuk. “Dia pasti sangat lelah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...