Sembari menggandeng jemari Natalie, kami berjalan menuju ruang kerja Duke Aveza. Beberapa kali aku berpapasan dengan pekerja yang kemungkinan tengah mempersiapkan kamarku. Mereka menyapaku dengan senyum cerah dan mata berbinar, benar-benar jenis tatapan terpukau seakan mereka hendak mencium pipi dan memelukku.
Aku akui penampilan Ruby tidak buruk ketika dirawat dengan benar. Dia, si Ruby ini, tipikal anak-anak yang membuatmu merasa dilanda cinta dan kasih sayang. Seolah kau ingin merawat dia sampai besar dan memastikan tidak ada satu kekurangan pun dalam dirinya.
Akan tetapi, bila Ruby diperlakukan sebaik ini oleh Aveza, lantas mengapa ketika dewasa dia merasa iri dan ingin merebut kasih sayang dari Pearl?
“Nona, kita sudah sampai.”
Karena terlalu sibuk dengan pikiran mengenai Ruby, aku sampai tidak sadar bahwa kami telah berdiri di depan pintu ruang kerja Duke. Ada dua penjaga yang berlagak keren, seolah tidak ingin mengelus kepala Ruby, tetapi mata mereka selalu mencuri pandang ke arahku.
“Ayo,” Natalie menyemangati. “Beliau pasti ingin melihat Anda.”
Aku ingin mengetuk, tetapi sejauh ini suara yang bisa aku hasilkan hanya berupa ketukan halus—sama sekali tidak bisa dianggap panggilan membanggakan.
Salah satu penjaga berdeham. Dia kemudian mengetuk dan setelah terdengar suara Duke, mempersilakan kami masuk, barulah Natalie membukankan pintu. Di dalam ada Duke dan seorang pelayan pria yang aku duga sebagai kepala pelayan. Mereka berdua terdiam, kemudian Duke langsung bangkit dan menghampiriku.
“Ruby,” katanya, senang. Dia langsung meraih dan menggendongku. “Kau seperti anak ayam.”
‘Mohon maaf, pesona Anda tidak baik bagi kesehatan jantung,’ kataku dalam hati.
Armand Aveza benar-benar seperti wine. Rambut hitamnya tertata rapi, di balik setelan mewah tersembunyi otot yang terpahat sempurna, rahang bersih tanpa jenggot, kulit mulus, sepasang mata biru yang indah. Dia pasti merupakan incaran lady semasa masih melajang.
Pamanku bisa sekeren ini, pasti ayah kandungku tidak kalah tampan!
“Mengapa kau melihat pamanmu seperti itu?” Duke mengusap rambutku.
“Ingin tahu Ayah,” kataku.
Sejenak ruangan terasa dingin. Seakan ada penyihir jahat yang mengembuskan angin dan berharap kami semua mati beku.
“Kau belum pernah melihat potret ayahmu?” Duke bertanya, “Sama sekali? Bahkan ibumu?”
Aku menggeleng.
Kemudian Duke memerintahkan pelayan agar membawakan album keluarga Aveza. Sembari duduk di pangkuan Duke, aku memandang satu per satu potret orang asing yang sama sekali tidak aku kenali satu pun.
Kemudian, Duke menunjuk satu potret pria rupawan. “Dia Nicholas,” katanya. “Ayahmu.”
Berbeda dengan Duke, Nicholas terlihat anggun. Rambutnya berwarna sepertiku, matanya pun sama seperti milikku. Dia mengenakan seragam, tengah menggenggam pedang, dan rambutnya yang panjang diikat menjadi ekor kuda. Nicholas amat menawan, hampir saja aku mengira dirinya sebagai perempuan andai Duke tidak menyebut namanya.
“Ingin melihat makam,” kataku, lirih.
“Andai saja aku bisa mengantarmu menengok makan ayahmu,” Duke menjelaskan. “Sayangnya ayahmu tidak memiliki makam.”
Maka, Duke mulai bercerita. Nicholas merupakan salah satu ahli sihir terbaik di kerajaan. Dia mendapat kepercayaan membereskan monster di perbatasan. Namun, ada kecelakaan yang mengakibatkan beberapa orang tewas. Masalahnya tidak ada seorang pun berhasil menemukan jasad Nicholas. Tim pencari telah dikerahkan dan semua orang pun menyimpulkan bahwa Nicholas tewas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...