Perjalanan ziarah para pendeta menuju ritus suci berakhir hancur. Nicholas tidak bisa menjelaskan secara keseluruhan mengenai kemunculan monster-monster dalam bermacam kelas yang begitu mendadak. Paladin dan sebagian kesatria sewaan hanya bisa memukul mundur monster kelas rendah. Namun, beda cerita dengan monster kelas kakap. Dia tidak ingat secara persis selain keputusan menjauhkan serombongan monster ke tempat lain agar tidak mengincar peziarah. “Pada akhirnya aku lupa dengan tujuan awalku,” katanya menjelaskan. “Kemudian ketika aku sadar ... semua berubah. Tidak ada paladin maupun peziarah. Hanya aku, di sini, dengan monster dan lingkungan asing.”
Setiap kali rombongan Armand beristirahat, maka Nicholas akan menyempatkan diri menuturkan pengalamannya di Ghuya. Perihal makanan yang ia konsumsi, cara mencari air bersih, dan segala hal yang berkaitan dengan bertahan hidup.
Sejujurnya Nicholas yakin dirinya berbau amat tidak sedap. Begitu keluar dari Ghuya, dia langsung mencari sumber mata air dan membersihkan diri. Armand memberikan pakaian bersih. Begitu sudah berganti pakaian, barulah Nicholas terlihat lebih sedap dipandang.
“Cukur janggutmu,” Armand menyarankan. “Jangan temui Ruby dalam wujud seperti itu!”
Meskipun bentuk tubuh Nicholas masih bagus, tetapi janggut yang tumbuh subur di wajahnya membuat dia terlihat seperti pria pemabuk yang gemar menghabiskan waktu di kedai sekadar menenggak bir dan memakan sekerat daging kering.
“Aku justru terlihat seperti ayah idaman dengan janggut ini,” Nicholas menolak. “Putriku pasti akan mengagumi ayahnya.”
Baik Armand maupun Carlos tidak membalas komentar Nicholas. Keduanya hanya duduk diam dalam kereta. Terlalu letih menanggapi argumen Nicholas.
Sejujurnya Nicholas memiliki wajah tampan yang amat indah. Keindahan tersebut telah tertutup brewok yang bahkan membuat gadis mana pun yang mereka temui di sepanjang peristirahatan tidak bersedia menoleh sedikit pun. Adapun perhatian mereka, para gadis, jatuh kepada kesatria dan paladin. Jangan lupakan Jarga dan Armand yang menjadi pusat hiburan. Dalam hati setiap gadis dan janda muda berharap berkesempatan melewatkan satu malam bersama Jarga maupun Armand. Sayang itu tidak terjadi bahkan dalam mimpi sekalipun.
Begitu mencapai Kota Zeru, pihak Giham dan Menara Sihir pun memutuskan berpisah. Mereka sudah menunaikan misi dan saatnya kembali ke rumah. Kini rombongan Aveza pulang dengan hati lapang dan perasaan gembira. Kesatria membayangkan ranjang bersih bebas nyamuk, sementara ketiga Aveza sibuk dengan pikiran masing-masing.
Clare, istri Armand, menyambut kehadiran rombongan. Dia memeluk Armand dan menghujani wajahnya dengan ciuman. “Selamat datang,” katanya, lembut.
“Maaf telah membuatmu cemas.”
“Aku tahu kau selalu menepati janji,” kata Clare. Kemudian dia membelalak begitu melihat Nicholas keluar dari dalam wagon. “Nicholas?”
“Halo, Kakak Ipar,” Nicholas menyapa.
“Armand, apa kau akan membiarkan Ruby melihat ayahnya dalam ‘wujud’ seperti itu?”
“Biarkan saja,” Carlos membalas pertanyaan menantunya. “Aku lelah dan ingin memeluk cucu-cucuku.”
Mereka semua langsung berderap menuju taman. Alex dan Pearl harus mendatangi undangan minum teh yang diselenggarakan oleh Pangeran Sislin. Clare menjelaskan bahwa Ratu mengharap kehadiran Ruby. Namun, tentu saja undangan tersebut tidak bisa diamini Clare karena kondisi Ruby yang belum menerima pelatihan sosial. Pearl dan Alex jauh lebih awal mendapat bimbingan dasar sehingga Clare mengizinkan.
“Begitulah,” kata Clare. “Sekarang Ruby sedang bermain dengan Natalie.”
Di taman tampaklah Ruby. Dia mengenakan gaun oranye cerah dengan pita-pita hijau. Burung gagak bertengger di meja, sibuk mematuki buah ara, sementara Natalie, pelayan merangkap pengasuh, tengah menemani Ruby bermain bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...