3

11.2K 1.7K 30
                                    

Lelaki yang diperkenalkan Aiya sebagai paman Ruby ini terlihat seperti pria berusia sekitar dua puluhan. Rambut hitam. Mata biru. Dia berperawakan tinggi dan gagah, mengenakan pakaian bagus, sangat mahal (sepertinya). Berbeda sekali dengan penampilan John yang terkesan kerempeng. Sekali lihat pun orang pasti tahu bahwa si paman yang tiba-tiba datang ini bukan orang biasa. Terutama bila menyaksikan kereta kencana (sebutanku bagi kendaraan ala dunia dongeng) yang terparkir di depan rumah.

“Duke, Ruby terlihat kecil karena dia anak pemilih,” Aiya menjelaskan. Barangkali dia menyadari tatapan Duke yang terasa tidak bersahabat ketika melihatku. “Dia benar-benar susah diatur. Suka menolak makanan yang kami berikan dan hanya mau makan yang dia inginkan saja.”

‘Hadew,’ kataku dalam hati. ‘Jangan bohong. Kau bahkan membiarkanku tidur keroncongan di kandang.’

Benar-benar keterlaluan. Tubuh sekering ini, tubuh Ruby, sudah pasti karena kurang makan. Bahkan anak-anak yang sepantaran dengan Ruby pun bertubuh lebih segar daripada dia.

Aku tidak bisa menyalahkan John maupun warga desa yang hanya bisa menawarkan sedikit perlindungan kepada Ruby. Dengan watak Aiya yang mirip mercon, maka sudah pasti mereka takut menerima tulah dan memang tidak ingin memperpanjang urusan. Betapa menyedihkan bahwa ada manusia dewasa yang tidak ragu menyakiti anak-anak demi alasan apa pun. Tunggu saja, nanti ketika aku dewasa akan kubalas perbuatan Aiya kepada Ruby. Bila perlu berkalipat!

“Kami tidak bisa membelikan pakaian bagus,” Aiya melanjutkan, suaranya sengaja dibuat semenyedihkan mungkin, lengkap dengan air mata buaya. “Hidup kami serbakekurangan dan memberi makan tiga mulut amat susah. Duke, saya harap Anda bersedia memahami situasi dan kondisi kami.”

Seharusnya Aiya bekerja sebagai pemain drama karena bakatnya amat mencengangkan, saudara-saudara. Luar biasa! ‘Lalu, jangan salahkan kemiskinan atas luka-luka yang diperbuat oleh tanganmu! Apa tidak ada setetes darah dan air mata pun dalam tubuhmu itu hingga satu kali pun tidak merasa sesal usai memukul Ruby?’

Tidak lama kemudian John pulang. Dia langsung mematung begitu melihat Duke yang kini berdiri di antara kami. “Du-Duke?”

“Sayang, lihat. Ruby kita perlu mandi.”

Ketika Aiya hendak menyentuhku, Duke langsung bersuara, “Jangan berani kau sentuh dia walau seujung kuku pun.”

“Du-Duke, Anda salah paham. Saya hanya ingin membersihkan Ruby sehabis bermain,” Aiya mencoba beralasan. “Anda pasti tidak ingin mengirup aroma keringat dan....”

“Cukup,” Duke memotong. “Suamimu sudah menjelaskan segalanya.”

Aiya, merasa terkhianati, menatap John dan melemparkan tatapan menusuk.

‘Aduh, John,’ kataku dalam hati. ‘Lebih baik kau cari istri baru.’

“Dia menyerahkan kalung mendiang adik lelakiku,” kata Duke. “Dan menyatakan bahwa bocah cilik ini adalah putri yang hendak disembunyikan mendiang adikku. Selama ini kau memperlakukan putri adikku dengan sewenang-wenang. Apa kau pikir aku bodoh tidak bisa melihat bekas-bekas kekerasan yang tertinggal di tubuhnya?”

Aiya gemetar, tubuhnya seolah kehilangan kekuatan, langsung jatuh dan bersimpuh. “Ma-maafkan saya. Saya terpaksa.”

“Kata orang yang tega melukai bocah cilik,” Duke mencibir. Kemudian dia menatap John. “Aku sarankan lekas tinggalkan perempuan yang tidak bisa menghargai jerih payahmu.”

Duke, yang entah namanya siapa ini, berlutut di hadapanku. Berbeda dengan caranya menatap Aiya, kedua matanya terlihat lebih teduh daripada sebelumnya. “Ruby,” katanya, lembut. “Aku adalah pamanmu. Kau boleh memanggilku ‘Paman’.”

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang