35

6.4K 1.1K 40
                                    

Pagi ini Natalie mendandaniku dengan gaun merah muda berhias pita sutra berwarna merah. Rambutku dikuncir menjadi dua dan diikat dengan pita berhias sulaman mawar putih. Sepasang sepatu lengkap dengan kaos kaki empuk menjadi pemanis terakhir.

“Nona Ruby, saatnya menemui Duke dan yang lain,” kata Natalie sembari menggandeng tanganku. “Sarapan bersama. Koki sengaja memasak panekuk dengan siraman sirop manis.”

“Uuuuw,” sahutku, menyukai menu sarapan. “Ung!” panggilku kepada gagak yang membalas dengan kaok melengking. Bahkan meskipun dia tidak menyukai panggilanku, burung itu masih bersedia terbang di sekitarku. Akhir-akhir ini dia sering menghabiskan buah beserta daging asap. Bulunya makin mengilap dan tentu saja bentuknya pun terlihat ... oh bulat sempurna!

Belum sempat kami, aku dan Natalie, membuka pintu. Seseorang telah mendahului membuka pintu dan menyapaku. “Ruby, Ayah akan mengantarmu ke ruang makan.”

Pagi ini pun Nicholas terlihat berkilau. Rambutnya digerai menyamping. Ada sebuah pita sutra yang mengikat rambut agar tidak berantakan. Busana yang ia pilih pun amat elegan. Setelan bernuansa hitam dan ungu, cravat perak, dan sejumlah perhiasan penunjang semacam rantai emas dengan bros yang melintang di dada. Nicholas bisa saja beralih profesi sebagai model. Dia punya modal!

“Ayaaah!”

Aku melepas genggaman tangan Natalie dan berlari menghampiri Nicholas. Di mata orang dewasa sudah pasti cara lariku amat canggung. Berhubung kakiku pendek dan untuk ukuran manusia normal pertumbuhanku telat dan SEMOGA AKU TIDAK JADI KURCACI!

Nicholas langsung meraupku, menempatkan diriku dalam buaiannya. “Apa Ung akan ikut sarapan bersama kita?”

“Kaaaak!” seru si gagak yang masih saja menolak pemberian nama dariku. Dia terbang di sekitar kepala Nicholas kemudian melesat keluar dari kamar. Marah.

“Kita akan menikmati sarapan yang menyenangkan,” kata Nicholas sembari mengecup pipiku. “Ayo.”

Perubahan lain dalam rutinitasku. Nicholas kadang ikut tidur bersamaku. Dengan begitu Alex maupun Pearl tidak bisa mendominasi jam tidurku. Sungguh melegakan.

Natalie dan beberapa pelayan mengekor di belakang kami. Mereka semua tampak tenang dan sepertinya sibuk mencuri kesempatan memandangiku. Kadang kami berpapasan dengan kesatria. Mereka melihatku dengan sorot mata teduh, lantas tersenyum. Sebenarnya ketika tidak sedang bersama Nicholas maupun Aveza lainnya, kesatria sering menawariku permen. Tentu saja manisan tersebut disita Natalie. Mana sempat aku mencicipinya?

“Ayah, pergi lagi?” tanyaku ketika kami melintasi taman.

Beberapa hari lalu ada utusan dari istana. Mereka memberi mandat kepada Nicholas agar bergabung dengan pasukan khusus sebagai pemimpin agar membantu menumpas musuh. Sesungguhnya aku tidak suka dengan wacana tersebut. Maksudku, aku baru saja bertemu dengan ayahku. Minimal momen kebersamaan itu ingin aku nikmati selama mungkin.

Orangtua kandungku tidak sebaik Nicholas. Mereka lebih senang bertengkar di hadapanku, saling teriak, lantas salah satu di antara mereka akan berkata, “Salah siapa kau memilih menikah denganku?” Selalu seperti itu. Seiring bertambah usiaku, ketakutan dalam diriku pun terakumulasi. Entah emosi itu pantas disebut sebagai rasa takut atau kemarahan, aku tidak tahu. Yang jelas, tidak sepatutnya orangtua bertengkar dan meninggikan nada suara di hadapan anak-anak.

‘Nicholas,’ kataku dalam hati. ‘Mungkin kau bukan ayah terbaik. Namun, setidaknya kau tidak membuatku merasa malu menjadi diriku sendiri.’

“Ayah, berapa lama?”

Serta-merta Nicholas menghentikan langkah. Dia memandangku kemudian berkata dengan nada suara yang teramat lembut, “Ruby, Ayah pasti akan pulang secepat mungkin. Monster yang mengganggu manusia akan binasa.”

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang