36

6.2K 1.2K 46
                                    

Ruby menolak tidur sekamar bersama Alex maupun Pearl. Sekalipun mereka berdua mengiming-imingi Ruby dengan sejumlah mainan maupun perhiasan kesukaan mereka, Ruby tetap bersikeras hanya mau tidur dengan Nicholas. "Ayah!" serunya dengan suara lantang. Gaun tidur berhias pita-pita mungil membuat Ruby makin mirip boneka. Dia meloncat-loncat, mencoba menunjukkan bahwa dirinya cukup tinggi hingga bisa bersaing dengan ayahnya.

"Kenapa kau meloncat seperti kelinci?" Alex bertanya, masih berusaha membujuk Ruby agar bersedia ikut dengannya. Dia sama sekali tidak ciut dengan Nicholas yang berdiri di belakang Ruby. Sosok pria dewasa yang kontras dengan nuansa anak-anak yang ada di sekitarnya, di kamar Ruby. "Sini, biarkan Kakak menggendongmu-Ah! Pearl, jangan sikut aku!"

"Ruby, ayo ikut aku," Pearl mencoba meniru cara Clare berbicara. Biasanya Ruby patuh kepada Clare dan itulah yang tengah Pearl incar. "Aku akan menyanyikanmu lagu tidur."

"Uuuung!" Ruby menggeleng. "Ayah!" Lantas ia pun memeluk kaki Nicholas. "Gendong!"

Nicholas lekas mengamini permintaan Ruby. Sembari memamerkan seringai kemenangan, dia membawa Ruby pergi meninggalkan kamar dan langsung menuju kamar pribadinya. Alex dan Pearl melontarkan protes, tetapi mereka teredam oleh bujukan Natalie yang menyarankan agar lekas tidur sebelum Armand yang memaksa kedua Aveza cilik itu.

"Uuuung!" seru Ruby, memanggil gagak yang kini terbang rendah di sekitar Nicholas. "Uuung!" Meski gagak itu mengoak sekali, tanda tidak menerima nama panggilan dari Ruby, dia tetap menurut dan memilih mendarat di pelukan Ruby. "Uuung bulat!"

"Dia sepertinya akan semakin berat dan suatu saat kau tidak kuat menimangnya," kata Nicholas. "Ruby, apa kau akan merindukan Ayah?"

"Rindu," sahut Ruby.

Koridor tampak temaram. Hanya ada beberapa pelayan yang bertugas mengecek penerangan dan kesatria yang kebagian tugas sebagai penjaga. Sesekali ada serangga yang menempel di kaca jendela. Seekor ngengat dengan sayap putih dan tubuh diselimuti bulu-bulu halus.

Sampai di kamar, Nicholas langsung membaringkan Ruby di ranjang. Dia melepas sepatunya sendiri, kemudian melepas selop dari kaki Ruby. "Ayah pasti akan pulang secepat mungkin," katanya sembari menyelimuti Ruby. "Paham."

"Cerkho!"

"Dewa kegelapan tidak akan menyakiti anak-anak," Nicholas menenangkan. "Dia tidak suka mengganggu anak-anak. Kau tidak perlu risau."

Ruby menggeleng, kemudian menunjuk gagak yang ada dalam pelukannya. "Cerkho!"

"Ada cerita bahwa gagak merupakan salah satu jelmaan Cerkho. Konon bila kau memberi makan gagak yang kelaparan, maka Cerkho akan memberkatimu dengan keselamatan dari sentuhan sihir jahat. Namun, itu hanya legenda. Tidak mungkin kita setiap hari memberi makan rombongan gagak. Lagi pula, tidak semua gagak sehebat milikmu."

"Ung dari Cerkho!" Kali ini Ruby bangkit. Dia duduk dan terus menunjuk gagak. "Akan aku panggil. Cerkho!"

Seulas senyum tersungging di bibir Nicholas. Imajinasi anak-anak selalu mengesankan. Andai orang dewasa meniru sedikit saja kreatifitas anak-anak, niscaya dunia menjadi tempat yang menakjubkan.

"Cerkho!" teriak Ruby. "Kemari. Ayahku harus lihat."

"Kaaaak!" Gagak pun mengepak-ngepakkan sayap. Beberapa kali mengeluarkan suara seolah sedang mengomel kemudian diam. Kedua matanya menatap Nicholas seolah menyuruhnya lekas duduk tegap.

Barangkali karena pelototan gagak dan mata Ruby yang terlihat berkaca-kaca, Nicholas pun menurut dan tidak mengeluarkan pendapat konyol perihal Ruby. Armand dan Carlos memang telah memperingatkan Nicholas bahwa ada kemungkinan Ruby memiliki bakat yang jauh lebih mahal dan langka daripada kebanyakan manusia. Namun, memikirkannya saja tidak lantas membuat Nicholas percaya begitu saja.

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang