17

9.5K 1.6K 61
                                    

Perayaan ulang tahun Clare berjalan lancar dan selesai tanpa permasalahan. 

Kecuali satu.

“Ruby, apa kau tidak ingin digendong pamanmu?” Armand mencoba membujuk. “Paman sangat ingin memelukmu. Kemari, Ruby.”

“Tidaaaaak,” Ruby menolak.

Ruby memilih menempel kepada Carlos sepanjang acara. Terutama setelah perkataan Alex mengenai berat badan Ruby. Sekarang gadis cilik itu memilih bersarang di gendongan Carlos. Kedua lengan Ruby melingkari leher Carlos dan wajah membenam di bahu. Benar-benar tidak mau terpisahkan.

“Kakek,” Ruby merajuk. “Ingin bersama Kakek.”

Nada suara Ruby membuat hati Armand seolah tersayat berkali-kali. Dia ingin Ruby menempel kepadanya, bukan Carlos. Dalam hati Armand meratap. Dia tidak bisa membayangkan di masa depan ketika Ruby dan Pearl dewasa kemudian memilih calon pendamping. Barangkali dia akan menangis sepanjang malam membayangkan tidak bisa bersama Ruby dan Pearl. Kedua gadis cilik itu merupakan pusat kebahagiaan Armand.

Dalam pertemuan antara bangsawan, kebanyakan selalu membanggakan putri mereka. Armand pun termasuk dalam kategori lelaki yang senang memamerkan putri mereka di hadapan para ayah.

“Armand, bagaimana bila Ruby ikut denganku?” Carlos menawarkan. “Dia bisa menikmati pemandangan pantai dan melihat kepiting merah berbaris di bibir pantai setiap sore.”

Sekarang Carlos dan Armand tengah berada di ruang kerja. Clare membujuk Pearl dan Alex agar lekas tidur dan tidak mengganggu kedua lelaki itu. Sayang sekali bujukan Clare tidak mempan di Ruby. Gadis cilik itu setengah mati berusaha menempel kepada Carlos dan menolak terpisahkan. Padahal Alex dan Pearl memilih sejauh mungkin dari kakek mereka, tetapi Ruby memiliki pendapat berbeda mengenai Carlos.

Duduk berhadapan, terpisah meja. Mereka berdua membicarakan masa depan Ruby.

“Tidak,” Armand menolak. “Baginda telah membantu memasukkan Ruby sebagai Aveza. Setelah Nicholas, maka aku yang berhak atas hak asuh Ruby.”

“Sayang sekali,” Carlos mendengus. Kemudian dia menepuk pelan punggung Ruby. “Cucuku, maukah kau tinggal bersama Kakek?”

“Unnnng,” Ruby membalas. “Bersama Kakek. Melihat kepiting merah.”

“Ruby,” Armand memperingatkan. “Di pantai tidak ada manusia. Artinya kau hanya hidup dengan kakek saja. Oh ya, kau bahkan tidak bisa bertemu Jarga.”

Salah satu hobi Ruby ialah melihat pria berwajah tampan. Armand mengetahui fakta ini setelah pengamatan. Ruby hanya bersedia digendong oleh pria yang berwajah rupawan. Dalam hati Armand mencemaskan masa depan Ruby ketika dewasa. Jangan sampai dia tertipu wajah dan hidup menderita. Sama seperti yang dialami mendiang ibunya. Sekalipun Nicholas tidak tahu-menahu dan kemungkinan dia memang tidak diberi tahu oleh Pendeta Sofia, tetapi bukan berarti kesalahan tidak jatuh ke pangkuan adiknya.

“Jarga?”

“Iya,” Armand membenarkan. “Kau tidak bisa melihat Jarga. Di pantai tidak ada Jarga.” Saat ini Armand menyamakan posisi Jarga dengan kepiting merah. “Lagi pula, kepiting merah suka mencapit jari. Kau tidak mungkin suka merasa sakit karena capit kepiting, Ruby.”

“Aku belum pernah dilukai kepiting mana pun,” Carlos membalas, menolak membenarkan argumen Armand. “Di sana mereka tidak tertarik mendekati manusia. Jangan berusaha mengolok-olok hunianku.”

“Ruby,” Armand kembali membujuk. “Jarga tidak suka pantai. Penyihir hanya bisa ditemui di menara. Di sini.”

“Kata siapa?” Carlos bersuara, “Aku bisa menyebutkan penyihir yang tinggal di luar istana. Mereka bahkan lebih tampan daripada Jarga. Berhenti membohongi cucuku.”

“Ruby, kau tahu? Jarga masuk dalam kategori penyihir paling tampan sekerajaan.”

“Majalah itu berbohong,” Carlos lagi-lagi menampik omongan Armand. “Ada penyihir es yang sangat tampan dan lebih kuat daripada Jarga. Apa kau hidup di hutan hingga tidak bisa membedakan emas dan batu?”

“Ayahmu tidak suka tinggal di pantai.”

“Anakku menyukai laut. Dasar penipu!”

Adu mulut di antara keduanya pun tidak terbantahkan. Satu sama lain saling serang hingga akhirnya Ruby menguap—lelah.

Carlos meletakkan Ruby di pangkuan. Gadis cilik itu langsung meringkuk dan tidur, sama sekali tidak tertarik pindah.

‘Semua ini gara-gara Alex,’ Armand menyumpah dalam hati. ‘Andai bocah itu bisa menjaga lisan, maka Ruby tidak akan menempel pada Ayah!’

Dengan penuh kasih sayang Carlos membelai kepala Ruby dan memosisikan gadis cilik itu agar bisa tidur nyenyak. “Apa kau masih meneruskan pencarian?”

Tanpa penjelasan pun Armand tahu siapa yang tengah dimaksudkan oleh Carlos. “Ya,” jawabnya. “Tim pencari masih dikerahkan. Apa pun hasil yang nanti aku temukan, pencarian tidak akan dihentikan sebelum sisa tubuh Nicholas ditemukan.”

Kedua mata Carlos sedikit menggelap. “Aku yakin dia masih ada di suatu tempat,” ujarnya dengan nada suara yang terdengar getir. “Walaupun pihak kerajaan menyatakan bahwa dia telah tiada, tetapi firasat seorang ayah yakin bahwa putranya masih selamat. Nicholas tidak semudah itu dilumpuhkan, apalagi oleh monster kelas kroco. Kau pasti mengenal baik betapa kuat dan liarnya adikmu itu.”

Armand mengangguk. “Nicholas mendapat tugas membantu pendeta yang ingin melakukan ziarah. Mereka harus melewati Saviq, salah satu daerah khusus yang ada di Provinsi Neteru. Aku masih tidak habis pikir siapa pun yang mencetuskan ide melewati Hutan Belora agar bisa sampai di ritus suci. Siapa pun tahu bahwa hutan tersebut jarang dijamah manusia dan merupakan sarang monster.”

“Hanya ada satu pendeta dan satu paladin yang selamat. Bukan, begitu?”

“Ya,” Armand membenarkan. “Dan mereka terluka parah. Paladin tidak kehilangan kemampuan bicara, sementara yang satunya kehilangan kewarasan.”

“Tidak ada informasi apa pun yang membantu. Paladin itu hanya menuliskan keterangan bahwa mereka diserbu sekelompok monster dalam berbagai wujud. Mereka terpaksa berpencar karena monster telanjur merangsek masuk pertahanan. Nicholas tidak mungkin selemah itu.”

“Dia dipercaya melindungi rombongan pendeta sekaligus melaksanakan tugas dari kerajaan.”

Armand mengangguk, lantas melipat tangan di depan dada. “Aku yakin mereka, rombongan itu, tidak sengaja bertemu dengan monster kelas atas. Jumlahnya mungkin lebih dari satu. Namun, anehnya monster ini bisa memanipulasi kondisi kejiwaan seseorang. Paladin itu berhasil selamat karena mengenakan jimat pelindung yang diberikan oleh Pendeta Sofia, sementara pendeta lain tidak memakai jimat apa pun karena berasal dari kuil yang berbeda.”

“Sofia,” kata Carlos, letih. “Dia memiliki banyak bakat, tetapi harus lengser dari posisi saint.”

“Dia memilih pergi,” Armand menjelaskan. “Jimat itu, jimat yang melindungi paladin, dibuat oleh Pendeta Sofia sebelum mengandung Ruby. Ayah bisa bayangkan jumlah energi yang ia harus suntikan ke setiap jimat. Saint Magda tidak bisa membuat jimat, tetapi dia memiliki kemampuan penyembuh. Inilah yang menjadi daya tarik utama Saint Magda hingga pihak kuil bersedia menerima pemberhentian Pendeta Sofia dari perebutan posisi saint.”

“Aku curiga Pendeta Sofia tidak memperlihatkan seluruh kemampuannya.”

Armand menghela napas. “Ayah benar. Aku juga sependapat mengenai kemampuan Pendeta Sofia. Dia sepertinya menyembunyikan banyak hal dari kuil maupun kerajaan.”

Kedua tatapan mata pria itu jatuh pada Ruby.

Mereka tahu bahwa ada kemungkinan Ruby mewarisi bakat ibunya.

Apa pun itu semoga kecemasan mereka tidak terbukti.

***
Selesai ditulis pada 27 Mei 2022.

***
Selamat membaca.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang