Aku curiga Duke menganggap diriku sebagai boneka. Dia sama sekali tidak berniat membiarkanku berjalan kaki, seolah aku akan hancur begitu kaki menapak tanah. Walau Ruby sering mendapat perlakuan kasar dari Aiya, tetapi bukan berarti dia ini, si Ruby, mudah rusak seperti boneka keramik. Lagi pula, sedari tadi aku merasa pelayan tak henti-hentinya tersipu seakan melihatku sebagai spesies unik. Alien? Apa mereka jarang melihat bocah cilik yang berasal dari desa?
“Kau akan bertemu sepupumu,” Duke menjelaskan. Kami berjalan melewati selasar, diikuti oleh pelayan yang mengekor di belakang, dan aku benar-benar ingin jalan kaki! “Pearl berusia sebelas tahun dan Alex tiga belas tahun.”
Kami sampai di salah satu taman. Di sana ada dua orang anak-anak, bocah perempuan dan laki-laki, tengah bermain. Si bocah perempuan langsung menangkap kedatangan Duke. Dia hendak menyambut Duke, tetapi lekas-lekas berhenti di tengah jalan. “Ayah?”
Pearl, tebakku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang dan mata biru. Benar-benar seperti boneka. Gaun bermotif bunga-bunga membungkus tubuhnya. Di belakang Pearl, berdirilah Alex. Nah, Alex benar-benar menyerupai Duke Armand. Mata biru. Rambut hitam. Bedanya, dia tengah mengamatiku dengan sorot ingin tahu.
Dalam cerita hubungan mereka bertiga—Ruby, Pearl, dan Alex—terbilang tidak baik. Ini semua diawali oleh kecemburuan Ruby. Dia tidak senang melihat Pearl mendapat perhatian dari semua lelaki. Ya, jenis drama opera sabun. Sekarang aku hanya bisa berharap mereka bisa menganggapku sebagai teman. Andai diizinkan, tentunya.
“Pearl, Alex,” kata Duke Armand. Dia berlutut, menyejajarkan pandangan kami. “Perkenalkan, dia Ruby, putri mendiang paman kalian, Nicholas.”
Aku hendak berkata, “Halo.” Namun, salam tersebut kandas begitu Pearl bertanya, “Mengapa dia begitu dekil?”
“Itu karena kami baru menempuh perjalanan jauh,” Duke Armand menjawab. “Wajar bila penampilan kami tidak rapi.”
Bahkan pegawai butik saja memuji keimutan Ruby, tetapi mungkin pesona imut tidak mempan pada Pearl.
“Barangkali Ayah salah anak,” kata Alex. “Dia tidak mirip Aveza,”
“Jangan salah,” Duke Armand membelaku. “Ruby mirip Paman Nicholas. Apa kalian lupa potret keluarga yang tergantung di ruang belajar Ayah?”
Mohon maaf bila diriku buluk dan tidak estetik. Masalahnya Ruby baru saja melewati masa sulit; menerima tindakan kekerasan, malnutrisi, bahkan aku berani taruhan dia tidak tahu nama ayah dan wajah orangtuanya.
Andai yang mendengar perkataan Pearl dan Alex merupakan Ruby asli, maka sudah pasti Ruby akan menangis dan menganggap sepupunya sebagai musuh. Namun, berhubung yang menempati raga bocah delapan tahun ini adalah seorang perempuan berusia 31 tahun, ucapan mereka TIDAK TERLALU MENYAKITKAN, TAPI TETAP SAJA TIDAK ENAK DIDENGAR DI TELINGA.
“Berapa usiamu?” Pearl mengamatiku sembari menekan telunjuk ke pipiku. “Apa kau bisa bahasa kerajaan?”
“Delapan,” jawabku.
“Aku pikir dia berusia lima tahun!” Alex memekik. “Dia kecil sekali untuk ukuran bocah delapan tahun! Suaranya mirip tupai!”
Itu karena Ruby kurang makan, saudara-saudara! Lalu, APA MAKSUDNYA DENGAN SUARAKU MIRIP TUPAI?
“Ayah ingin memperkenalkan Ruby kepada ibu kalian.”
“Ibu sedang pergi,” Alex menjelaskan. Sekarang entah mengapa dia terus saja memencet-mencet pipiku. “Ada permintaan dari perbatasan. Urusan monster.”
‘Duke, tolong aku! Kedua anakmu sedang berencana membuat pipiku kempes!’
Teriakan minta tolongku hanya mengendap di hati. Tidak tersampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantastikSalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...