Sedari awal aku curiga bahwa permainan petak umpet berjalan curang. Setiap kali aku berjaga dan berhasil menangkap satu anak, maka anak tersebut akan langsung mengincarku walau ada anak lain yang persembunyiannya mencolok. Tidak tanggung-tanggung, mereka menangkap dengan cara memeluk dan menempelkan pipi ke wajahku.
Kecurigaanku terbukti dengan adanya anak-anak yang sengaja mengalah, ketika aku berjaga, agar tertangkap. Dengan kata lain, mereka secara sukarela tertangkap olehku. Tidak peduli anak mana pun yang aku tangkap, maka anak itu akan balas memburuku. Jangankan Pearl, yang lain pun sama saja!
Ada masalah apa dengan mereka? Sepertinya mereka terobsesi menjadi penjaga sekaligus merangkap “tertangkap” olehku. Niat mereka terlihat jelas! Aku bisa melihatnya di kedua mata mereka yang berbinar-binar, persis kucing yang menemukan tikus—alih-alih diburu dan dimakan, mereka memilih mempermainkan buruan hingga lelah.
Itulah yang aku rasakan! Kelelahan luar biasa bocah cilik delapan tahun!
Ironis, wanita 31 tahun terjebak dalam raga bocah cilik. Selain terjebak, aku pun tidak bisa mengalahkan naluri anak-anak yang selalu keluar sebagai pemenang. Tubuh dan naluri ini, pikirku, kesal. Harus segera menemukan cara mengendalikan naluri anak-anak agar tidak merugikanku di kemudian hari.
Sekarang permainan dimulai kembali. Anak-anak bersembunyi ... maksudku, mereka sengaja bersembunyi di tempat yang mudah kutemukan. Mana ada petak umpet semudah ini? Mereka....
Tidak semudah itu, pikirku.
Maka, aku memutuskan menangkap pengawas, salah satu kesatria Aveza, agar bertugas menjadi penjaga. Lelaki itu pada awalnya tampak bingung, tetapi aku pantang mundur dan memasang wajah seimut mungkin agar dia tidak bisa menolakku.
“Jaga!” Tidak lupa aku menambahkan mantra mujarab:
[Ayo, kau harus menuruti perintahku. Dengarkan aku wahai pengawal yang budiman. Kau harus bersedia menjadi penjaga. Patuhi perintahku, jadilah penjaga. Penjaga! Mari lekas hentikan permainan petak umpet berat sebelah ini.]
Rona merah merayapi pipi penjaga. Setelah terbatuk dan membulatkan tekad, ia berkata, “Ba-baiklah, bila Nona memaksa.”
‘Aku memaksamu melalui perintah telepati.’
“Sekarang, Nona silakan sembunyi.”
Itulah akhir dari permainan sepihak yang mengharuskanku menjadi penjaga berulang-ulang. Akhirnya lingkaran iblis terputus. HAHAHA. Jangan remehkan otak manusia kapitalis!
“Ruby, mengapa kau tidak memilihku?” Pearl mendengus, kesal.
“Nona Ruby, aku juga tidak keberatan jadi penjaga.”
Alasan, sedari tadi kalian mengincarku. AKU TAHU ITU!
“Nona, kenapa kau memilih pengawal Aveza?”
“Ini tidak asyik!”
“Sungguh patut disayangkan.”
Ketika pengawal itu bertanggung jawab sebagai penjaga, maka anak-anak yang lain pun secara profesional memilih menyembunyikan diri. Aku lekas mengincar salah satu meja dan bersembunyi di bawah.
“Aku baru tahu ada Aveza yang tidak menggigit.”
Mana aku tahu meja incaranku merupakan tempat peristirahatan anak bangsawan?
Aku pikir dengan menghindar dia, si bocah itu, akan berhenti mengincarku. Namun, aku salah. Dia justru mengekoriku. Terus berusaha membuka pembicaraan meskipun aku mengabaikannya. Dia benar-benar paham cara membuatku kesal setengah mati.
“Ruby?”
... dan sekarang aku berakhir dalam gendongan Alex.
“Yang Mulia, saya mohon maaf atas kelancangan adik saya,” kata Alex memohon maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...