11

9.7K 1.6K 12
                                    

Armand memiliki kebiasaan baru. Dalam setiap kesempatan bersantap, maka dia akan meletakkan Ruby di pangkuannya, melarang gadis cilik itu makan di kursinya sendiri, dan menyuapinya seperti induk burung merawat bayi-bayinya. Pearl dan Alex kadang mencoba membujuk Armand agar bertukar peran, membiarkan mereka mendapat kesempatan merawat Ruby, tetapi selalu ditolak Armand.

"Ayah, ayolah," Pearl membujuk. "Biarkan aku menyuapi Ruby."

"Tidak," Alex menyela. "Kemari Anak Aya-maksudku, Ruby. Kakak akan merawatmu dengan sangat baik. Oh ya, apa sebaiknya kau tidur bersama Kakak saja?"

"Ruby akan tidur bersamaku!"

"Pearl, kau butuh pelukan dariku?"

Armand tidak berusaha menengahi perdebatan antara Pearl dan Alex. Siang ini dia hanya fokus memperhatikan Ruby yang dengan lahap menghabiskan makanan apa pun yang ia suapkan. Bahkan sayuran sekalipun. Gadis cilik ini belum pernah menolak masakan apa pun. Berbeda dengan Pearl, yang membenci wortel, maupun Alex, yang tidak menyukai paprika. Sejauh ini Ruby tidak banyak menuntut. Bahkan koki yang biasa dibuat pusing tujuh keliling lantaran harus menyesuaikan menu agar sesuai bagi lidah Alex dan Pearl pun merasa terbantu dengan kepatuhan Ruby.

"Ruby, setelah makan kita akan belajar berhitung," kata Armand. Dengan lembut dia membantu Ruby minum. Sekarang berat badan Ruby mulai bertambah. Bahkan kulitnya pun tidak seburuk ketika pertama kali berjumpa. "Seharusnya istriku sudah kembali dari tugas."

"Siang ini Ibu pasti pulang," Pearl memberi semangat. "Kakak, apa kau akan ikut berburu monster?"

"Harus." Alex menyobek roti, mengunyah sampai lembut, kemudian menelan. "Takkan aku biarkan bocah Veremon itu menang!"

"Alex," Armand mengingatkan, "lawan terberatmu kemungkinan berasal dari kuil."

Perburuan di Hutan Bencana diselenggarakan dalam rangka pamer kekuatan. Acara yang diselenggarakan khusus bagi remaja usia tiga belas hingga tujuh belas tahun. Bukan sembarang manusia, melainkan manusia dengan kemampuan sihir dan berkat dewa. Merupakan hal normal bagi Kerajaan Damanus bahwa sebagian penghuninya, terutama dari kalangan bangsawan, mewarisi kesaktian dari dewa dan dewi. Semisal Aveza, mereka dipercaya mendapat berkat dari Arkhas, dewa kekuatan, dan Tulama, dewi sihir. Dalam segi ketahanan, fisik, serta sihir Aveza selalu berada di atas rata-rata.

Itu hanya sebagian kecil dari kemampuan Aveza, salah satu penghuni Kerajaan Damanus, belum keluarga besar yang lain.

'Terutama keluarga kerajaan,' pikir Armand, getir.

"Ruby dan Pearl akan ikut menonton?" tanya Alex.

"Duke," Kepala Pelayan mencoba mengingatkan Armand, "saya pikir tayangan pembantaian monster bukan pilihan bijak untuk disaksikan Nona Ruby."

Armand tidak mencemaskan Pearl. Sebab gadis ciliknya mampu memanah macan gunung dan membasmi monster sekelas goblin. Hal semacam ini wajar karena setiap Aveza memang terlahir dengan berkah dari dewa kekuatan dan dewi sihir. Namun, beda cerita dengan Ruby. Walaupun Jarga curiga bahwa Ruby mewarisi kemampuan Pendeta Sofia, tapi bukan berarti gadis ciliknya sanggup melihat pembantaian.

"Benar," kata Armand mengamini ucapan Kepala Pelayan. "Ruby akan tetap di rumah."

Pearl hendak mengejek Alex, tapi langsung terdiam begitu Armand berkata, "Pearl, kau harus menonton pertandingan. Ada banyak hal baru bisa kau pelajari dari peserta. Bukankah kau ingin mengikuti karier ibumu?"

Baik Alex maupun Pearl, keduanya tampak seperti anak anjing diabaikan majikan. Sedih.

Percakapan tidak berlanjut. Salah satu pelayan menghampiri Kepala Pelayan, dia membisikan sesuatu, kemudian Kepala Pelayan memberikan informasi terkait kepulangan istri Armand.

"Ibu?" Alex langsung bangkit, pergi, meninggalkan ruang makan. Sama halnya dengan Pearl yang berlari ke luar mengejar kakaknya.

"Ruby, kau akan bertemu dengan Bibi Clare."

*

Alih-alih mendengarkan pendapatku, Duke justru meluncur menyambut Bibi Clare dengan senyum cemerlang. Dia langsung pergi ke ruang utama, tempat semua orang sedang mengerumuni seseorang, dan berkata, "Sayangku, ada yang ingin aku perkenalkan kepadamu."

Alex dan yang lain menyingkir, memberi jalan kepada seorang wanita.

Dia, wanita itu, merupakan wanita tercantik yang pernah aku temui seumur hidup. Tinggi, semampai, berkulit bersih, rambut berwarna biru yang terurai sepanjang pinggang, sepasang mata biru-mata yang mirip dengan milik Pearl dan Alex. Alih-alih gaun, dia mengenakan seragam resmi dengan jubah hitam tersampir di bahu.

"Dia putri Nicholas?"

Wah bahkan suaranya pun terdengar merdu di telingaku.

"Namanya Ruby," Duke menjelaskan. Dia mengurangi jarak, mempersilakan istrinya mengamatiku dari jarak dekat. "Ayo, Ruby. Sapa bibimu."

Pasti saat ini pipiku merah sempurna. Dipertemukan dengan wanita seanggun istri Duke, mana sanggup aku bicara?

"Halo, Ruby. Apa kau menyukai Paman dan sepupumu?"

Aku mengangguk. Yah, walaupun Alex menyebalkan dan Duke tidak memberiku kebebasan makan sendiri dan sepertinya ingin memonopoli kesempatan hak eksklusif menggendongku, mereka pada dasarnya manusia baik dan tidak suka memukul anak kecil. Jadi, hmm aku bisa berkompromi.

Duke menyerahkanku kepada Bibi (sekarang akan aku akui dia sebagai bibi) dan mulai bertanya mengenai perjalanan dan bantuan serta pekerjaan di perbatasan.

"Ternyata bukan monster yang bersembunyi di dalam hutan, " Bibi menjelaskan. Sekarang kami tengah berada di ruang keluarga. Pelayan menyiapkan kudapan untuk Alex dan Pearl, sementara aku sibuk minum cokelat hangat di pangkuan Bibi yang sudah berganti pakaian dengan gaun. "Peri nakal. Bukan jenis yang suka berteman dengan manusia. Sepertinya ada pemburu yang berusaha merusak habitat mereka, maka aku terpaksa memasang benteng dan melarang siapa pun masuk ke hutan. Peri sudah lama mendiami tempat-tempat tertentu, kita tidak bisa mengusir mereka. Itu kalau tidak ingin mendapat murka dari Zan, dewa peri dan makhluk suci."

Ada begitu banyak makhluk ajaib. Peri, monster, aku tidak akan terkejut bila suatu saat seekor unicorn menghampiriku dan menawari apel. Hahaha, tidak mungkin.

"Lupakan sebentar pekerjaanmu, Ibu." Pearl duduk meringkuk di dekat ibunya. "Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahunmu."

"Ah ya," kata Bibi. "Kalian pasti akan mengundang bermacam orang. Ruby akan mendapat teman baru. Bukan begitu, Manis?"

Lupakan saja. Mereka, Pearl dan Alex, pasti akan mengontaminasi pertemuan mencari sahabatku.

"Berapa usiamu, Manis?"

"Delapan," aku menjawab Bibi.

Sejenak kerutan muncul di kening Bibi. "Sayangku," katanya memanggil Duke. "Kalau tidak salah Ruby tinggal di desa bersama wali asuh, bukan? Apa kau tidak keberatan memperkenalkanku dengan mereka?"

"Istri saudara Pendeta Sofia sudah dibereskan, Istriku," jawab Duke, nada senang amat kentara dalam suaranya. "Apa kau ingin berkunjung?"

"Tentu."

Pasangan suami istri ini mengerikan dalam artian BENAR-BENAR TIDAK BISA DISEPELEKAN. Meskipun senyum terpasang di wajah Bibi, tetapi senyum ini tidak bisa menyembunyikan aura permusuhan dalam dirinya.

"Ungggh." Aku tidak sanggup menahan hawa dingin yang tiba-tiba menjalar di kulit. Tubuhku gemetar dan aku merasa sangat tidak nyaman.

"Oh, Manis." Bibi lekas memelukku. "Maafkan aku. Bibimu ini terlalu bersemangat."

"Ibu," Alex memperingatkan, "Ruby tidak seperti Pearl, dia sensitif."

"Benar." Pearl membelai kepalaku, mencoba meringankan rasa dingin yang mulai lenyap dari diriku.

"Jarga pun mengatakan bahwa Ruby tidak bisa belajar sihir dan berpedang," Duke menambahkan. "Sayang, sebaiknya kau kontrol energimu."

Ha ... ha. Apa tubuh Ruby selemah itu?

YANG BENAR SAJA!

***
Selesai ditulis pada 10 Mei 2022.

***
Selamat membaca.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang