Armand membawa Jarga masuk ke ruang kerja. Dia memerintahkan Kepala Pelayan agar ke luar dari ruangan, hanya membiarkan duke dan sang penyihir bicara berdua.
Jarga duduk santai di sofa. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan sengit yang ditembakkan Armand.
“Dia mirip Sir Nicholas,” kata Jarga sembari menjentikkan jari. “Tubuh semungil itu, seperti anak ayam. Apa Anda tidak keberatan saya mengecek lebih lanjut kesehatan Nona Ruby? Omong-omong, saya dengar Sir Nicholas menjalin hubungan gelap dengan calon pendeta bernama Sofia. Bila benar dugaan saya, maka bisa jadi Nona Ruby mewarisi kekuatan suci. Meski tidak semua pendeta memiliki kekuatan semacam itu, tetapi ada baiknya Anda mengecek lebih lanjut.”
Armand yang sedari tadi hanya duduk diam pun akhirnya bersuara, “Apa kau yakin keponakanku mewarisi kemampuan ibunya?”
“Bisa saja,” Jarga menjawab. “Saya dengar Pendeta Sofia berasal dari keluarga biasa, bukan bangsawan. Namun, kemampuan Pendeta Sofia dalam berkomunikasi dengan makhluk suci patut dikagumi. Sayang dia meninggal. Saya pikir dia hanya sebatang kara, mati karena sakit. Saya tidak tahu bahwa Pendeta Sofia ternyata meninggal karena persalinan.”
“Adikku memang tengik,” Armand mencibir, teringat perilaku Nicholas dan sejumlah masalah yang ditinggalkan olehnya. “Menghamili pendeta! Seharusnya dia memberitahuku agar aku setidaknya bisa melindungi keponakanku dari tangan wanita itu!”
“Saya yakin ‘menghamili’ bukan kata yang pantas dalam kasus Sir Nicholas. Ada kemungkinan bahwa Pendeta Sofia memang sengaja tidak memberitahukan kehamilannya kepada Sir Nicholas.”
“Gara-gara itu aku terlambat melindungi keponakanku yang mungil seperti anak ayam itu.”
Jarga mengangguk-angguk. “Cukup disesalkan,” katanya, pedih. “Anak sekecil itu harus menerima perlakuan kasar. Dia bahkan tidak bisa tumbuh senormalnya Aveza. Sir Nicholas, andai dia masih hidup di suatu tempat, pasti akan membakar habis rumah orang yang berani menyakiti putrinya. Omong-omong, bukankah Pendeta Sofia termasuk salah satu kandidat saint?”
“Pendeta Sofia delapan tahun lalu mengundurkan diri,” Armand mengakui. “Aku tidak menyangka alasan pengunduran diri sang pendeta dikarenakan Nicholas. Andai pihak paladin tahu, aku tidak yakin sanggup melindungi adikku dari kemarahan kuil. Terlebih, Pendeta Sofia merupakan salah satu pemilik kekuatan yang digadang sebagai saint.”
“Anda tidak perlu cemas,” Jarga menenangkan. “Posisi saint sudah terisi. Saint Magda berhasil terpilih delapan tahun lalu. Kerajaan Damanus telah mengakui Saint Magda sebagai perwakilan dewa dan dewi bagi manusia. Anda tidak usah risau terkait kuil mengetahui keberadaan Nona Ruby. Lagi pula, mereka tidak akan berani langsung mengambil Nona dan menjadikannya penghuni kuil. Bukan begitu cara kerja kuil.”
Armand teringat liontin peninggalan Nicholas yang diserahkan John dalam surat. Liontin rubi merupakan peninggalan dari mendiang ibu mereka. Hanya Nicholas yang berhasil mendapat kenang-kenangan dari sang ibu sementara Armand tidak. Sedikit banyak Armand merasa iri. Namun, mau tidak mau dia harus menyerahkan liontin tersebut kepada Ruby, satu-satunya barang peninggalan Nicholas.
“Sebentar lagi Anda mengadakan jamuan ulang tahun Madam Aveza,” kata Jarga, riang. “Saya harap Anda tidak lupa mengundang saya dan oh saya ingin bayaran atas jasa saya dalam bentuk mineral sihir. Saya butuh.”
Kadang Armand lupa bahwa banyak lady tertipu wajah rupawan Jarga. “Jangan coba dekati Ruby.”
“Duke?”
“Kau tidak diperbolehkan menemui Ruby tanpa izinku.”
“...”
*
Pearl menatap sengit kepada Alex yang baru saja menyelesaikan latihan. Sembari bersungut-sungut Pearl berseru, “Kakak curang!”
Alex yang masih bersimbah keringat, mencoba menyeka pelipis menggunakan lengan. Sekarang dia hanya mengenakan kemeja berbahan ringan dan celana kulit lengkap dengan sepatu.
Gaun Pearl yang berwarna merah jambu tanpak kontras dengan suasana lapangan tanding. Beberapa kesatria yang kebetulan tengah berlatih pun menyempatkan diri mengamati Pearl.
“Aku tidak curang, Pearl.”
Sembari menjejakkan kaki, Pearl menggembungkan pipi.
“Pearl, apa kau juga ingin dipeluk? Sini?”
Sontak Pearl memasang eksperesi masam. Lalu, dia lari sembari memanggil nama ayahnya.
“Kupikir kau datang ke sini karena ingin pelukan dariku?”
Alex menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok Ruby yang tengah berjalan-jalan di sore hari. Ruby ditemani Natalie dan beberapa pelayan. Tanpa ragu Alex langsung berlari dan menghampiri Ruby.
Sebenarnya Ruby hendak melarikan diri, mengelak dari pelukan Alex, tapi gagal.
“Ruby, kau rindu padaku?” Alex mengusap-ngusapkan wajahnya ke pipi Ruby. Dia sama sekali tidak peduli dengan protes si bocah cilik yang menggeliat, mencoba lolos dari pelukan. “Sini, aku akan memberimu banyak cinta dan kasih sayang.”
“Tidak mauuuu!”
Tangan Ruby yang mungil mencoba mendorong wajah Alex. Sekuat apa pun Ruby berusaha melawan, kekuatannya tidak ada apa-apanya di hadapan Alex.
“Natalie!” Ruby memanggil, air mata menggenang dan siap tumpah. “Natalieee!”
“Kau ini, aku ada bersamamu. Kenapa kau selalu memanggil pelayanmu?”
Salah satu pelayan mengeluarkan batu perekam, piranti sihir yang berfungsi mengabadikan momen dengan cara menekan tombol dan mengarahkan batu ke objek yang diinginkan, dan menyimpan momen perjuangan Ruby melawan Alex.
“Huwaaaa-tidak mau!” Ruby mengepalkan tinju, berusaha memukul bahu Alex yang keras bukan main. “Natalie!”
“Tuan Muda,” Natalie menengahi, tidak sanggup melihat Ruby yang menangis tanpa henti. “Nona tidak nyaman.”
Alex mencium pipi Ruby, kemudian dia membiarkan Ruby berlari ke pelukan Natalie.
Di benak Alex, Ruby makin mirip dengan anak ayam yang baru menetas. Tentu saja dalam artian menggemaskan. Mungkin esok dia harus menyarankan Armand agar memesan gaun dan sepatu kuning sebanyak mungkin.
Akhirnya Ruby berhenti menangis. Ia memilih merebahkan kepala ke bahu Natalie, menolak menatap Alex.
Alex hendak mengomentari Ruby, tetapi salah satu penjaga gerbang mendatangi Alex dan berkata, “Tuan, Tuan Muda Rayla dari Veremon ingin bertemu dengan Anda.”
“Hmmm.” Tiba-tiba ide menarik terbit di kepala Alex. “Ruby, ayo jangan marah. Aku tidak akan mengganggumu bila kau bersedia bekerja sama denganku.”
Meski enggan, Ruby akhirnya bersedia kembali ke gendongan Alex. Mereka berdua langsung menuju ruang tamu. Di sana seorang pemuda yang sepantaran dengan Alex tengah menunggu.
Sinar matahari yang berwarna oranye membuat rambut pirang Rayla terlihat seperti emas. Rayla mengenakan setelan bernuansa cokelat dan hitam. Sepasang mata berwarna biru tampak tertarik dengan bocah yang ada dalam gendongan Alex.
“Kau datang di saat yang tepat,” kata Alex, puas.
“Apa ini artinya kau paham bahwa kunjunganku ke sini ada kaitannya dengan ajang adu pedang yang akan segera diselenggarakan?”
Alex mendengus, tangannya membelai kepala Ruby. “Aku bahkan tidak peduli dengan adu pedang. Kau boleh ikut sendirian. Lagi pula, tidak ada yang menarik selain menghabisi monster dan pamer bakat.”
“Alex, kau tahu bukan itu tujuan medan laga diselenggarakan.”
“Nah, lihat. Adikku jauh lebih menarik daripada adu pedang,” Alex memamerkan Ruby yang sepertinya mulai menangis lagi. “Dia seperti anak ayam.”
Tangis pun tidak bisa dihindari.
***
Selesai ditulis pada 8 Mei 2022.***
:”) Keyboard beneran pulih. Huhuhu, senang saya nggak perlu ke reparasi.Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...