Pedang yang ada dalam genggaman Viren memiliki banyak nama, salah satunya: Bintang Fajar. Dia langsung tahu begitu saja mengenai asal-muasal Bintang Fajar; terbuat dari pecahan meteor, ditermpa di dasar perut gunung berapi yang selalu memuntahkan kemarahan, dan terlahir sebagai senjata terbaik yang pernah ada di alam semesta. Tidak ada satu makhluk, bahkan dewa maupun dewi sekalipun, yang bisa menjinakkan Bintang Fajar kecuali satu entitas.
Arkheoz, dewa para bintang dan kesaktian.
Emosi dan memori membanjiri Viren. Dia mengingat semua kehidupan yang telah lama terkubur. Satu per satu menghantam Viren. Dia ingat bahwa dirinya merupakan saudara Arkhais, dewa kekuatan. Lantas kenangan lain pun berlomba menariknya ke dalam samudra kenangan. Semua kejadian yang telah ia lewati selama beratus kehidupan menuntut diperhatikan olehnya.
“Kau baik-baik saja?”
Pertanyaan Ilya Zeni berhasil mengadang serangan memori dalam diri Viren. Dia undur diri dan bergegas meninggalkan Ilya Zeni. Bintang Fajar seolah memiliki jantung yang membuat Viren merasa tengah menggenggam seluruh kehidupan dalam tangannya. Dia mengabaikan panggilan beberapa paladin dan langsung lenyap ke dalam kegelapan. Dulu, ketika dia merasa sebagai manusia, seorang Viren, jelas tidak mungkin mengerahkan kesaktian. Namun, kini ingatan lama membanjir masuk beserta segenap informasi mengenai jati diri asli Viren.
Kedua mata Viren berkilat oleh bara emosi. Semua perasaan kehilangan, putus asa, terkhianati, bahkan dendam. Entah berapa kali dia gagal melindungi seseorang yang begitu penting baginya. Awal cerita yang ia jalani mungkin berbeda, tetapi akhirnya selalu sama: Kematian.
Viren membiarkan gelombang kekuatan baru datang menghampiri. Kekuatan yang ini, yang tengah membelainya, bukanlah miliknya. Meski begitu dia tidak takut, bahkan bila ada naga berusia ribuan tahun mencoba menelannya ... ia tidak takut. Pendar-pendar cahaya merah berkedip di sekitarnya seperti kunang-kunang. Perlahan cahaya tersebut makin banyak dan membentuk tirai. Dia menyusup di balik tirai tersebut dan disambut pemandangan yang bertolak belakang dengan suasana perkemahan dadakan milik pasukan Ilya Zeni.
Sekarang Viren tengah berada di balkon. Udara malam terasa sejuk sekaligus menyegarkan. Tanaman rambat menjalari pagar pelindung. Di hadapan Viren beridirilah Emir.
Emir. Dulu Viren mengenal Emir sebagai Riqua, dewa kesetiaan dan hasrat. Sama seperti Viren, Emir pun sadar bahwa mereka berdua setara.
“Kali ini kau berhasil mengingatnya,” kata Emir. Dia seperti pangeran dari negeri dongeng. Hanya saja dengan sedikit sentuhan kekejaman yang tersembunyi rapi di balik topeng kecantikan wajah manusia. “Tidak mengesankan.”
“Hentikan permainanmu,” Viren menuntut. Bintang Fajar berdenyar, merespons emosi Viren. “Sebelum kita semua menyesal.”
“Aku tidak pernah memulai permainan,” Emir menepis tuduhan Viren. “Selama ini aku selalu berusaha mencegah. Kaulah yang bebal. Kaubiarkan dia mengorbankan diri demi kepentingan manusia yang bahkan tidak akan mengingat warisannya.”
“Manusia yang ia lindungi merupakan bagian dari penciptaan. Kau tahu itu. Kita semua sepakat membiarkan manusia mendiami benua utama.”
“Aku tidak sepakat dengan hasil karya Zouna. Dia disebut sebagai dewa pengetahuan, tetapi tidak paham bahwa makhluk yang ia ciptakan justru bersifat destruktif. Pikirkan mengenai betapa sering kehancuran dimulai dari seorang manusia yang menginginkan sesuatu?”
“Itu karena berkat yang diberikan kita semua kepada manusia.”
“Konyol. Dulu, sebelum kau mendapat semua ingatan, kebencianmu kepada manusia sama besarnya dengan racun yang tersimpan di dasar laut. Sekarang begitu setetes memori menyentuh lidahmu, kau merasa seakan bisa menilai keputusanku.”
“Kau keliru.”
“Manusia hanya mengakui dewa yang bersedia mengabulkan keinginan mereka,” kata Emir dengan nada suara yang terkesan dingin. “Mereka tidak bersedia melihat maupun mendengarkan ajaran kita. Apa gunanya memedulikan mereka? Kau dan aku tahu itu sia-sia.”
Viren bisa mendengar sarkasme dalam ucapan Emir. Dia sungguh menempatkan manusia jauh di bawah monster dan iblis sekalipun. Tidak ada hal menarik dalam kehidupan manusia yang bisa mengubah pendapat Emir. Dia sudah menyimpulkan manusia sebagai makhluk tercela.
“Tidak semua seburuk itu,” Viren mencoba menyanggah ucapan Emir. “Mereka masih layak diperjuangkan.”
Saint Magda, pikir Viren, lesu.
“Demi apa?” tantangnya. Cahaya bulan membuat Emir terlihat pucat. “Kekasihku sudah berbuat banyak bagi mereka. Sekarang biarkan mereka mati dan menanggung tindakan pendahulunya. Dia tidak harus memperbaiki segalanya. Aku muak!”
“Dia bukan kekasihmu,” Viren menolak mengakui klaim Emir atas rekan seperjuangannya. “Dia bukan kekasih siapa pun. Apabila kau bersikeras menghancurkan benua ini, maka dia akan mengutukmu sepanjang keabadian.”
“Aku tidak perlu berusaha menghancurkan benua ini sebab manusia berkontribusi mempercepat akhir dunia.”
“Itu hanya bisa terjadi bila Yula memilih menghentikan siklus kelahiran dan kematian. Dia yang bertanggung jawab atas seluruh nyawa di dunia. Kau bicara omong kosong.”
“Dewi kematian hanyalah simbol. Tanpa Kleana, kehidupan ini tidak akan ada.”
Begitu nama Kleana disebut oleh Emir, Viren pun teringat lingkaran kelahiran dan kematian yang mereka bertiga jalani. Selalu Kleana yang paling menderita. Selalu....
“Aku tidak akan membiarkan dia menumbalkan diri,” Emir menggeram. “Dunia boleh hancur. Kleana tidak perlu membaktikan diri pada hukum kebajikan. Aku tidak sanggup melihatnya mati berkali-kali dan terlahir—menjalani kehidupan; identitas baru, kehilangan jati diri, dan membiarkan tubuhnya terkoyak oleh perbuatan bejat manusia. Barangkali kau bisa membiarkan dia memilih jalan semacam itu. Namun, pada akhirnya selalu sama, bukan? Kleana mati.”
“Dia sudah berjanji akan melindungi semua kehidupan.”
“Biarkan yang lain mengambil alih tugas tersebut!”
“Tidak satu pun dari kita bisa.”
Viren langsung dihantam luapan energi. Sesuatu merayap keluar dari kegelapan. Sepesang sayap menyeruak, menghalangi sinar rembulan yang hendak menyentuh Emir. Cakar-cakar tajam sehitam arang mencengkeram pagar pelindung. Sosok itu menyerupai seekor naga hanya saja jauh lebih ganas daripada naga-naga pada umumnya. Makhluk itu menyeringai, memamerkan barisan gigi setajam belati.
“Arkheoz, saudara Arkhas,” Emir memperingatkan, “enyah sebelum kujatuhkan dirimu ke neraka.”
Riqua tidak seperti dewa dan dewi mana pun. Viren tahu bahwa Riqua terobsesi kepada Kleana. Dia bahkan dengan sukarela, sama seperi Arkheoz, mengikuti perjalanan Kleana ke dalam berbagai lingkaran kehidupan. Bila dulu Riqua memilih diam dan menghargai keputusan Kleana, maka kali ini akan berbeda.
Makhluk di belakang Emir menggeram, siap menyerang.
“Kleana tidak bisa mencintai seperti manusia,” ujar Viren. “Dia tidak akan pernah memilih siapa pun di antara kita.”
“Aku tidak butuh kesediaannya.”
Titik-titik cahaya merah kembali bermunculan, menyelimuti Viren, dan membawanya kembali ke perkemahan.
Kini Viren menatap ke dalam kegelapan. Dia mencengkeram Bintang Fajar seolah pedang tersebut bisa memberinya pencerahan.
“Kali ini pun,” desis Viren, “kita akan berseberangan jalan.”
Selesai ditulis pada 13 April 2023.
Halo, teman-teman.
(0_0) Ya hmm memang Only for Villainess akan gelap. Hmm gelap. :”) Saya sudah kasih peringatan lho, ya. BUWAHAHAHAHAHAHAHAHA.
(0_0) Ini cerita kedua setelah Protagonist’s Lovemometer yang ingin segera saya selesaikan! Pokoknya kalau bisa tahun ini harus tamat! Ueeeeeee!
Jangan lupa jaga kesehatan.
I love you, teman-teman!
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...