7

11.2K 1.8K 48
                                    

Alex sedari tadi memperhatikanku yang tengah duduk di pangkuan Duke. Dia mirip kucing sedang mengintai burung, menanti kesempatan, dan menerkam. Aku bahkan bisa melihat ekor dan sepasang telinga kucing imajinasi pada dirinya. 

“Jangan takut, Alex tidak akan menggigitmu,” Duke mencoba menenangkan. “Nah, apa ada makanan yang kauinginkan, Ruby?”

Sekarang kami tengah bersantap malam. Berhubung aku benar-benar pendek menjurus kerdil, begitu duduk di kursi meja makan tak terjangkau olehku. Akhirnya Duke Armand memutuskan memangku dan membantuku makan. Istri Duke Armand belum kembali. Di ruang makan hanya ada aku, Duke Armand, Alex, Pearl, dan beberapa pelayan.

“Ayah, aku juga ingin memangkunya,” Pearl merajuk. “Dia menggemaskan.”

Tidak usah, kataku dalam hati, pedih.

Oh betapa mengenaskan pertumbuhan Ruby. Orang sering mengira Ruby berusia lima tahun, padahal dia sudah menginjak usia delapan! Aiya pantas diganjar hukuman berat.

“Sini,” Alex menggoda, menyodorkan garpu dengan potongan daging, “biarkan Kakak menyuapimu. Ayo buka mulutmu.”

Dia menjengkelkan! Sedari tadi terus mengekoriku, sama sekali tidak memberiku ruang bernapas, membuatku tercekik dan dilanda kecemasan berlebih.

“Ruby, buka mulutmu,” Duke Armand membujuk, menempatkan sendok di depan bibirku. Mau tidak mau aku menurut dan membiarkannya menyuapiku. Senyum kemenangan langsung terpeta di bibir. “Lihat, Ruby benar-benar menempel kepadaku.”

Siapa saja, tolong sadarkan Duke Armand.

“Ruby, coba ayam saos lada ini,” kata Pearl.

‘Mohon maaf, jarak antara kita terlalu jauh. Tidak mungkin aku bisa menerima uluran tanganmu.’

Tentu saja, tidak seorang pun mendengar jeritan hatiku.

“Apa Ruby akan tidur bersamaku?”

“Dia akan tidur di kamarnya sendiri,” Duke menjawab pertanyaan Pearl.

“Kakak akan menemanimu,” Alex mengajukan diri. “Jangan cemas, aku tidak akan meninggalkanmu.”

‘Kau yang paling berbahaya di antara mereka bertiga, Alex!’ Tidak salah lagi, dia yang paling berbahaya.

Duke menyeka bibirku, sama sekali tidak peduli dengan tatapan Alex yang sedari tadi mengincarku.

“Ruby, kemari.” Alex menjulurkan tangan, mencoba meraihku. “Panggil aku Kakak. Ayo, cepat.”

Ada yang salah dengan kakak tokoh utama.

*

Usai gosok gigi dan berganti gaun tidur, Natalie mengantarku tidur.

Alih-alih menikmati ranjang empuk dan hangatnya selimut, kakak beradik Aveza justru tengah bersaing memperebutkan posisi “yang pantas tidur bersama Ruby”. Akhirnya Natalie menengahi dengan sebuah ide yakni, mereka berdua tidur bersamaku!

BAGUS! Sekarang aku tidak bisa melarikan diri dari kedua makhluk buas berwujud anak-anak imut. Luarnya saja terlihat anak bangsawan normal, tapi di dalam mereka tidak ada bedanya dengan predator—siap menerkam.

“Ruby, kau harus banyak makan,” kata Pearl sembari menempelkan pipi ke rambutku.

“Apa kau berlatih pedang? Kenapa ada kapalan di telapak tanganmu-hei, siapa yang memukulmu?” Alex sibuk meneliti bekas luka yang ada di sepanjang tanganku. Kerutan di kening pun bertambah dalam seiring temuan yang berhasil diketahui Alex. “Tidak mungkin Ayah menghajarmu, bukan? Ayo katakan kepada Kakak siapa yang mengganggumu!”

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang