Jarga mengekor di belakang Sislin. Degup jantungnya tidak beraturan dan sepertinya dia merasa menua dan makin renta dalam semalam. Aveza membuatnya kurang tidur, sementara masalah baru muncul. Entah dari mana monster dan makhluk terkutuk berasal, tapi dia tidak bisa merasa kiamat mungkin saja terjadi.
Kota Zeru terlindung oleh pilar-pilar suci. Benda-benda itu sudah ada jauh sebelum Penyihir Agung berdiam di Damanus. Tidak ada satu orang pun yang tahu penemu maupun pencipta pilar. Hanya ada segelintir mitos, antara satu cerita dengan cerita lain belum tentu benar. Ada yang mengisahkan bahwa pilar-pilar tersebut merupakan bagian dari sisik Ragnok; yang lain meyakini bahwa Urmiz, dewi cahaya, meleburkan sejumlah bintang dan memadukannya jadi satu sebagai tameng Damanus; adapula kisah yang menuturkan perihal Tulama, dewi sihir, mengutuk iblis yang berniat mengambil alih Damanus. Mana pun dari versi cerita hanya satu hal yang benar, pilar-pilar tersebut melindungi Kota Zeru.
Malam bertabur bintang. Angin berembus pelan.
Damai?
Anehnya Jarga tidak merasa bisa menyebut keheningan, yang jarang terjadi, sebagai pertanda baik. Dia tahu bahwa sebagian orang penting telah dikirim keluar dari Zeru. Putra dan putri Duke Aveza, paladin, dan mungkin akan makin banyak orang-orang yang harus diajukan sebagai martir.
Monster memutuskan menyerang manusia. Mereka yang dulu memilih bersembunyi di hutan tiba-tiba menunjukkan taring kepada manusia. Ini bukan pertanda baik. Semua orang pun bisa merasakan aura tidak menyenangkan.
Sislin mengarahkan Jarga menuruni tangga, menyeberangi taman, kemudian berhenti tepat di salah satu menara sihir yang ada di area istana. Bangunan itu terlihat seperti penjara bagi monster: semak ivy beracun merambati sebagian besar dinding, ngengat terbang di sekitar lampu sihir, dan rumput tumbuh subur hingga setinggi lutut.
“Yang Mulia,” panggil Jarga, “Anda yakin ingin menemui beliau?”
“Hanya tinggal dia saja yang belum dimintai bantuan.”
Jarga memutuskan tidak bertanya.
Hanya Jarga dan Sislin saja yang masuk ke dalam, kesatria lain harus tinggal di luar.
Mereka berdua mendaki tangga yang mengular ke atas. Setiap kali melangkah maka lampu-lampu sihir yang tertanam di dinding pun akan terpicu—menyala. Setelah melewati sekian anak tangga, mereka sampai di puncak. Hanya ada satu ruangan, satu pintu, dan satu penunggu. Di pintu terpasang pengetuk pintu berupa ular yang menggigit bulan sabit. Sislin meraih pengait dan menggerakkannya.
“Apa kita perlu mempersiapkan sesuatu?” Itulah yang hendak Jarga tanyakan sebelum ular—pengetuk—pintu bergerak. Ular besi itu merayap turun, masuk melalui celah pintu, dan sesudah terdengar suara besi berkelontang, maka pintu pun terbuka.
Di dalam ruangan tersebut diterangi oleh lampu-lampu sihir yang juga tertanam di dinding dan langit-langit. Di sana hanya ada seorang pria dalam balutan jubah hitam bersulam benang emas. Dia duduk di kursi, memberi intruksi kepada Jarga dan Sislin agar masuk.
“Kami butuh nasihat bijak dari Anda,” ucap Sislin tanpa tedeng aling-aling.
Penyihir Agung. Orang mengira dia hanya tinggal di menara milik penyihir. Padahal yang sejatinya Penyihir Agung memilih mengurung diri di salah satu menara di istana. Tidak ada yang tahu alasan pasti akan keputusan Penyihir Agung memisahkan diri dari para penyihir, termasuk penyihir agung lain yang juga mendapat gelar sama baiknya dengan Penyihir Agung yang satu ini.
Gelar penyihir agung diberikan kepada penyihir terkuat, tetapi Penyihir Agung yang ada di sini tidak memiliki nama maupun gelar. Dia disebut sebagai Penyihir Agung karena pendahulu Damanus hanya memberi himbauan kepada penerusnya tentang keberadaan lelaki ini sebagai topik sensitif. Tidak ada yang boleh mengganggu-gugat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...