41

5.6K 1.1K 31
                                    

Rudolph menerima kehadiran August Sika. Bila ketika Nicholas dan Armand bertamu diterima dengan tangan terbuka, maka begitu August Sika mengajukan diri, kepala pendeta pun diarahkan ke ruangan temu yang biasa dipergunakan Rudolph ketika mengadakan audiensi; tidak ada pelayanan khusus, tidak ada keramah-tamahan, dan murni menampilkan penguasa di hadapan Giham.

Ruang audiensi hanya memiliki satu kursi: Singgasana yang diduduki oleh Rudolph. Berdiri tepat di samping kanan Rudolph ada Count Veremon, Leo Veromon, yang menjabat sebagai sekretaris pribadi. Dia telah mengucapkan dukungan kepada Rudolph dan bersedia menduduki posisi sekretaris pribadi. Di depan pintu masuk ada kesatria berbaju zirah yang bertugas sebagai penjaga. Di belakang Rudolph pun berdiri sepasang kesatria penjaga.

Karpet merah membentang dari pintu masuk sampai ke singgasana. Di sepanjang dinding terpasang lukisan raja-raja Damanus. Pencahayaan berasal dari batu sihir yang dipasang di dinding, pilar, serta langit-langit.

August Sika hadir dalam balutan jubah agung. Bahkan di hadapan pembesar sekelas Rudolph pun pendeta yang satu ini tidak sudi terlihat buruk sedikit pun. Setidaknya dalam segi pakaian. Dia membungkuk, memberikan salam, kemudian berkata, “Terima kasih Baginda bersedia menerima kehadiran saya.”

Walau kata-kata August Sika terkesan sopan, tetapi di mata Rudolph ia bisa merasakan kepahitan dalam setiap kata yang August Sika lontarkan. Senyum yang terpasang di wajah pendeta itu bahkan tidak terpancar di kedua mata. Benar-benar tolol bila serta-merta memercayai ucapan August Sika sebagai sebentuk kepatuhan belaka sebab itu tidak benar.

“Aku paham, Kepala Pendeta,” kata Rudolph. “Kau menghendaki izin memasuki wilayah Aveza di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah milik Count Eldez.”

“Iya, Baginda,” August Sika membenarkan. “Saya ingin membantu Count Eldez meringankan biaya pajak. Menurut saya sangat tidak adil bagi wilayah kedaulatan Eldez untuk membayar sejumlah upeti kepada Aveza hanya karena jalur perdagangan mereka bersinggungan secara langsung dengan Aveza.”

“Begitukah? Coba kita dengar pendapat Count Veremon terkait urusan pajak ini,” Rudolph menyarankan. “Aku tidak suka mengambil keputusan tanpa mendengar nasihat dari pihak lain.”

Sontak air muka August Sika pun berubah pucat.

Count Veremon mengabaikan perubahan ekspresi di wajah August Sika. Dia menatap langsung kepada August Sika dan mulai memberi penjelasan. “Kepala Pendeta, saya paham kecemasan Anda terkait nasib Eldez. Berdasarkan hemat saya, Anda memiliki hubungan baik dengan Count Eldez terutama karena dialah yang memberikan bantuan mengusung hasil penebangan sejumlah pohon ash yang konon Anda butuhkan untuk persembahan. Namun, terkait urusan pajak yang harus Eldez berikan kepada Aveza sudahlah tepat.”

Kali ini August Sika makin pucat. Rudolph menyaksikan perubahan emosi yang terlukis di wajah sang pendeta dengan penuh minat.

“Aveza melindungi jalur perdagangan dari monster,” Count Veremon menjelaskan. “Hal ini membantu sejumlah pedagang dan tentunya mereka tidak perlu menyewa pengawal. Merupakan hal wajar bila Eldez memberikan koin tambahan kepada Aveza atas bantuan tersebut. Saya pikir Aveza masih menarik harga wajar. Tidak berlebihan.”

Count Veremon mengetuk dagu dengan telunjuk, kemudian bertanya, “Kepala Pendeta, sebenarnya ke mana perginya sejumlah pohon ash yang konon Anda berikan sebagai persembahan? Menurut saya sebaiknya kita menggunakan persembahan tersebut sebagai senjata untuk membantu pasukan Sir Nicholas melumpuhakan monster. Meskipun Menara Sihir bersedia memberi bantuan dengan menanam ash dan mawar hitam, tetapi bantuan kuil sangat diperlukan dalam melancarkan misi suci bagi umat manusia.”

“Count, kau berani mempertanyakan misi suci?” August Sika menegakkan tubuh, kedua tangan mengepal, dan siapa pun bisa merasakan letupan kemarahan dari dirinya. “Lancang.”

“Kepala Pendeta,” Rudolph menengahi. “Sekretaris Istana hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar menjalankan tugas. Tidak ada maksud khusus. Bila ucapan Sekretaris telah menyakitimu, maka maafkanlah dia demi diriku.”

“Baginda, mana mungkin saya berani menuntut Anda?” August Sika mulai mengucapkan rayuan. “Anda merupakan matahari bagi Damanus. Merupakan kewajiban bagi saya memberi dukungan penuh atas misi Damanus. Namun, saya mohon maaf karena ash yang telah dipersembahkan kepada Urmiz tidak bisa ditarik kembali. Benda-benda tersebut akan menjadi milik Urmiz.”

“Urmiz pasti lebih senang bila persembahannya digunakan sebagaimana fungsinya daripada sekadar menjadi pajangan,” Rudolph mengutarakan opini. “Dewa dan dewi butuh pemujaan, sementara pemujanya butuh bantuan. Maka, sudah menjadi hukum bagi si pemuja melindungi negeri ini dari kehancuran. Bukan, begitu?”

“Baginda, merupakan tabu mengambil sesembahan.”

“Kepala Pendeta,” kali ini Count Veremon bersuara. “Bila Anda mencemaskan kemarahan dan murka para dewa, bagaimana bila Anda menyerahkan sejumlah ash yang Anda berikan kepada Count Eldez? Saya dengar dia menerima pemberian Giham berupa ash dan sejumlah ... anak-anak yang konon mengubah nasib di Eldez? Oh ya, bagaimana kabar mereka karena saya tidak pernah mendengar kelanjutan misi tersebut?”

Kerutan di sekitar bibir August Sika semakin bertamabah dalam. “Mereka baik-baik saja, Count,” jawabnya, pahit. “Anda tidak perlu mencemaskan keberadaan sejumlah anak yang telah menemukan tempatnya di keluarga baru.”

“Saya hanya ingin memastikan bahwa kuil tidak perlu sungkan meminta bantuan istana,” kata Count Veremon. Bagi orang asing Count Veremon tampak seperti pangeran dalam gambaran dongeng. Namun, di mata August Sika dia tidak ada bedanya dengan hama yang perlu dibasmi sesegera mungkin. “Putraku kadang ingin bertukar kabar dengan salah satu kenalannya, calon pendeta, yang ternyata menjadi salah satu anak yang ikut pergi bersama Eldez.”

Rudolph ingin menertawakan August Sika. Sungguh mati kepala pendeta yang satu ini sama sekali tidak mencerminkan kebaikan yang biasa diperlihatkan oleh tokoh suci beriman. August Sika sama sekali tidak ingin menunduk di hadapan Count Veremon. Pria berambut pirang melawan pria tua berhati keji. Tidak ada salahnya menggambarkan pertempuran kedua manusia ini dalam kisah epik yang nanti diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

“Baginda, sudilah Anda membiarkan Eldez mendapat keringan,” August Sika memohon. “Count Eldez telah banyak berjaza bagi Damanus.”

“Dia bahkan menolak ikut maju bersama Duke Aveza ketika ada monster yang muncul di perairan,” Rudolph menyerang. “Dengan alasan dirinya hanya bersedia meminjamkan sejumlah gerobak rusak untuk angkutan. Apa itu yang kau maksud, Kepala Pendeta?”

August Sika diam tak berkutik.

“Apa kau lupa?” Rudolph melanjutkan. “Sir Nicholas telah menyumbangkan tenaga dan waktu demi melindungi peziarah yang ingin mengunjungi ritus suci. Anda hanya mengirim paladin, itu pun atas campur tangan Saint Magda, sebagai pendamping. Jelas Aveza lebih banyak berjasa kepada Damanus daripada Eldez. Oh jangan lupakan mengenai tragedi yang menimpa Ratu. Aku masih ingat dengan jelas bahwa Anda berkata bahwa Ratu telah melanggar pantangan dengan membiarkan kaum terasing memasuki wilayah suci. Padahal mereka hanyalah sekelompok pelaut yang ingin mengunjungi makam Saint Zevi dan memberi hormat.”

August Sika gemetar, mundur perlahan.

“Aku masih mengingatnya, Kepala Pendeta,” Rudolph mengingatkan. “Selalu mengingatnya.”

Selesai ditulis pada 14 Agustus 2022.

Halo, teman-teman.

Semoga suka, ya?

Love youuuuuuuu.

Salam hangat,

G.C

P.S: Suasana hati saya hari ini sedang mendung. Jadi, maaf kalau tulisannya kurang gigit.

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang