58

4.2K 760 11
                                    

Sepertinya aku telah jatuh ke dalam pelukan alam mimpi. Entah bagaimana aku tahu bahwa diriku tengah bermimpi. Tahu begitu saja.

Aku sempat mengira akan dihadapkan pada kehidupan masa lalu milikku. Sebuah rutinitas menjemukan, penuh dengan tuntutan dan target, amat menyesakkan. Setiap hari hanya memikirkan cara bertahan hidup, terus berjuang mengeruk pasir harapan yang setiap hari makin menipis, dan tertampar ekspektasi berkali-kali. Bukan jenis kehidupan milik ratu.

Di hadapanku ternyata justru membentang hamparan rumput berwarna keemasan. Pada ujung-ujungnya dihiasi embun sebening kristal. Kupu-kupu merah darah terbang di antara rumpun bunga bewarna biru gelap. Langit pun bernuansa aneh, bukan biru maupun jingga. Langit yang ada di atasku berwarna oranye keemasan. Seakan seseorang sengaja melukiskan titik-titik awan pekat di atas sana agar terlihat serasi dengan nuansa apa pun yang dihadiahkan oleh pelukis mimpi.

Selama beberapa saat aku terhanyut dalam perasaan melankolis. Ada kesedihan dan kerinduan, berpadu jadi satu. Perasaan yang bisa saja membuatku menangis tersedu-sedu.

Sebutir air mata bisa saja membantuku melunturkan perasaan bersalah. Emosi yang membuatku seolah tercekik dan kesulitan bernapas. Aku membutuhkan pelipur, pengalih perhatian, agar tidak terjebak dengan perasaan menyesakkan.

“Sampai kapan kau akan membantu mereka?”

Aku menoleh. Tepat di sampingku berdiri seorang lelaki. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Seolah ada tabir yang mengelabui pandanganku. Dia mengenakan jubah indah berhias permata aneka warna. Rambutnya seperti darah, amat merah. Terurai sepanjang bahu.

“Kita bisa mengabaikan mereka,” katanya semanis madu. “Kau tidak perlu membela manusia.”

“Aku tidak bisa.”

Suara yang keluar dari mulutku pun terdengar asing. Raga ini, tubuh yang kumiliki ini bukan anak-anak!

“Mereka akan menumbalkanmu.”

“Bila aku mengabaikan mereka, maka tidak ada kehidupan.” Bunga-bunga di sekitarku berubah warna, dari biru menjadi merah darah kemudian hitam—seolah mereka merespons suasana hatiku. “Kita perlu bertindak. Bukankah itu yang disebut sebagai tanggung jawab?”

Seekor kupu-kupu hinggap di atas sekuntum bunga yang kini warnanya hitam sempurna. Kupu-kupu itu benar-benar terlihat serasi dengan bunga, sayapnya yang merah dihiasi titik-titik hitam.

“Aku tidak sependapat denganmu!” Semua tanaman pun kehilangan daya hidup. Kupu-kupu mati, tidak lagi mengangkasa dan langsung tergeletak di atas tanaman yang kini meranggas tanpa daun maupun bunga. “Kau terlalu mengutamakan mereka. Pengorbananmu tidak menjamin apa pun. Kesalahan serupa akan terulang. Manusia memang memiliki watak buruk. Sebanyak apa pun kebaikan yang kausuapkan ke mulut mereka, sekali saja kau berbuat salah, maka hanya kesalahanmu saja yang mereka ingat.”

“Akan tetapi mereka makhluk yang perasa lagi penyayang,” bantahku. Sekarang perlahan warna kehidupan mulai kembali. Pohon-pohon mulai menumbuhkan tunas daun, rumput-rumput kembali tegak, dan bunga pun bermekaran sejauh mata memandang. Kupu-kupu bersayap merah semakin marak. Sebagian dari kupu-kupu memilih hingga di ranting pohon sementara yang lain bermain-main di antara rerumputan. “Kau tidak boleh mengganggu. Hormatilah keputusanku.”

“Maka, aku akan mengikutimu!”

Mimpi terhenti.

Kesadaranku kembali.

Ketika aku membuka mata segala yang indah itu telah berganti dengan pemandangan familier: Kamar Nicholas. Aku tengah berbaring di ranjang, selimut bulu menghampar di atasku, dan ada Nicholas tengah memelukku.

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang