60

3.9K 785 21
                                    

Alex dan Pearl memutuskan menempuh pendidikan di akademi. Sebetulnya mereka bisa saja, sepertiku, belajar di rumah. Namun, ada hal lain yang mereka incar. 

Usut punya usut Pearl ingin mengikuti jejak Clare, ibunya. Barangkali dia mengincar posisi kesatria tertinggi. Aku curiga dia cuma ingin memanfaatkan momen tersebut sebagai pengalih isu agar suatu hari tidak perlu menikah dengan pria yang tidak ia kehendaki. Perempuan di Damanus, tidak seperti penggambaran novel historikal, diperkenankan memiliki pekerjaan dan menempuh pendidikan. Inilah yang Pearl incar: Kesempatan melebarkan sayap.

Alex? Aku berani taruhan dia terpaksa ikut karena tuntutan dari Armand. Meski begitu, dia tetap patuh. Sebelum berangkat pun dia menyempatkan diri memeluk dan mencium pipiku. Berkali-kali. Oh iya, dia mencium pipiku berkali-kali dan hanya bisa dihentikan oleh Nicholas yang mengancam akan menendang pantatnya jika tidak lekas masuk kereta.

Di kediaman Aveza sekarang hanya aku seorang saja yang menjadi anak-anak kesayangan semua orang. Sebentuk posisi tidak menarik dan merugikanku. Kegiatanku hanya didominasi oleh makan, mandi, bermain, belajar. Hmmm tidak juga. Kadang Jarga datang mengontrol kondisi kesehatanku. Ketika Jarga datang, maka ketiga pria Aveza akan berada dalam satu ruangan; memelototi Jarga, memberi satu dua ancaman, dan ... mereka butuh liburan.

Tidak ada masalah dengan otakku, maksudku, mental dewasaku. Satu-satunya yang menjadi musuh utama hanyalah status pertumbuhan. Aku tidak akan rela hanya memiliki tinggi tubuh 140 sentimeter saja! Itu kalau memang aku bisa tumbuh. Semua kondisi fisikku diakibatkan oleh permasalahan usai keluar dari kandungan Sofia. Dengan kata lain perlakuan Aiya dan ketidakkompetenan John. Andai mereka bisa merawatku sedikit lebih baik, maka aku bisa tumbuh normal.

“Kaaaak!”

Ung menarik-narik tangkai buah ceri dan melemparnya di udara. Dengan penuh percaya diri dia membuka paruh dan menerima sebutir ceri. GOOOL!

Sekarang aku memasuki usia sembilan. Namun, tubuhku masih seperti itu-itu saja—tidak ada perubahan menarik. Ada bibit kecemasan mulai tumbuh dalam diriku. Selain karena aku takut suatu hari bertemu dengan Emir dan kemungkinan lain seperti Nicholas bangkrut, juga keinginan berdiri di atas dua kakiku sendiri. Mandiri.

Mandiri?

Hahaha. Aku bicara sok penting sekali. Padahal diriku tengah asyik berbaring di ranjang sembari menikmati pelayanan dari Natalie yang sedari tadi mengipasiku. Sekarang sudah memasuki musim panas dan udara terasa menyengat. Jelas aku terlalu dimanja oleh Aveza. Bukan hal baik!

“Natalie, jus jeruk,” pintaku dengan suara manis.

“Saya tidak akan lama,” katanya sembari meletakkan kipas berbulu di nakas, “tolong jangan ke mana-mana, ya?”

“Jeruuuuk.”

Natalie menyunggingkan senyum. “Tentu.” Setelahnya dia meninggalkanku seorang diri di kamar bersama Ung.

Bukan tanpa sebab aku meminta jus kepada Natalie. Aku ingin memanggil Cerkho dan kehadiran Natalie sama sekali tidak membantu.

“Cerkho!”

Asap hitam mengumpul di sekitar kaki ranjang. Semakin tebal dan memadat. Sepasang tangan terjulur keluar dari dalam gumpalan lalu diikuti oleh sebentuk wajah yang tidak asing. “Kau memanggilku, ya?”

“Solusi!” pekikku seraya merentangkan tangan. Kini aku telah duduk tegak di kasur, sama sekali tidak peduli dengan protes Ung yang kesulitan mengumpulkan ceri yang terserak akibat pergerakanku. “Ingin tumbuh! Ingin bisa bicara lancar! Sembuhkan aku!”

Mana mungkin aku rela melepas kesempatan tumbuh normal selayaknya anak manusia pada umumnya?

Tidak selamanya Aveza maupun para dewa itu bisa kuandalkan. Prinsip hidup: Jangan terlalu berekspektasi terhadap kebaikan orang lain. Satu-satunya yang bisa kuandalkan hanya diriku sendiri. Tidak ada yang bisa menebak arah masa depan. Lagi pula, Nicholas ternyata payah bila dihadapkan dengan pembukuan. Dia tidak mengerti laba dan rugi! Jangankan bisnis, mengelola keuangan saja membuatnya diserang sakit kepala.

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang