68

2.3K 414 5
                                    

Viren memutuskan mengasingkan diri ke balkon. Angin berembus pelan, menggoyang ranting dan menyebabkan tangkai bunga berayun seolah hendak merayu Viren. Dalam sebuah novel romansa pastilah saat ini dia akan dipertemukan dengan seorang lady. Berawal dari tatapan malu-malu, kemudian berubah menjadi asmara singkat.

Akan tetapi, Viren bukanlah pangeran dari negeri dongeng maupun kesatria. Dia hanyalah seorang yatim piatu; tanpa sanak, pangkat, maupun kekayaan. Percintaan dalam roman picisan bisa terjadi sekalipun dia tidak memiliki kekayaan maupun pangkat. Namun, berbeda dengan dunia nyata yang ia tempati.

Dunia yang Viren tempati merupakan penggambaran dari betapa sistem kekayaan telah membentuk hierarki. Orang-orang miskin akan tetap berada di bawah; sulit merangkak naik, akan selalu terinjak oleh kepentingan golongan tertentu, dan mungkin yang terparah: Mati.

Viren bukan manusia suci. Dia tidak seperti Saint Magda yang bisa memercayai kelompok bangsawan. Terlalu banyak yang dia korbankan demi mencapai posisi sekarang. Walau bara kemarahan dan dendam masih berkobar dalam dada, dia mencoba menekan keinginan membunuh. Dia bertahan. Semua karena kenangan mengenai seorang gadis cilik.

Kedua tangan Viren mencengkeram pagar pelindung. Dada berdesir. Timbul keinginan sekadar menyapa. Namun, tidak mungkin. Keluarga Aveza mengelilingi Ruby seolah ia tengah berada di taman binatang buas. Takkan ada satu lelaki pun berani mendekat. Baik Nicholas maupun Armand, terutama Alex secara terang-terangan menyatakan ketidaksukaan mereka terhadap seluruh lelaki yang berani memandangi Ruby.

“Oh maaf, saya kira tidak ada orang”

Viren berbalik, menatap orang yang ia pikir tidak akan bisa ditemui olehnya.

Ruby berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Sadarlah Viren bahwa dia lupa mengunci pintu ketika bergegas melarikan diri.

“Saya yang salah,” kata Viren.

“Oh tidak perlu memaklumi keteledoranku,” potong Ruby sembari menggelengkan kepala. “Seharusnya saya mengecek terlebih dahulu sebelum datang ke sini.”

“Bila tidak keberatan,” Viren menawarkan, “Anda bisa menggunakannya dan saya akan pergi. Kebetulan saya sudah cukup menyegarkan diri.”

“Oh jangan! Lagi pula, kita berdua sepertinya sama-sama melarikan diri dari masalah. Jadi, tidak masalah bila kita berbagi, Tuan Paladin.”

Ujung bibir Viren terangkat. Ironis bahwa dia bisa langsung mengenali Ruby. Berbeda dengan Ruby yang menganggap Viren sebagai orang asing. “Anda mungkin ingat dengan saya?”

Ruby menelengkan kepala. “Ya?”

Cahaya rembulan terpantul di kedua mata Ruby. Tampak indah dan membuat Viren seakan tersedot ke dalam kedamaian yang ditawarkan di sepasang mata tersebut. “Saya adalah paladin cilik yang dulu sempat Anda temui bersama Saint Magda.”

Sejenak Ruby tidak mengatakan apa pun.

Hanya ada semilir angin malam yang menggoda siapa pun lekas mengutarakan rahasia terdalam yang tersembunyi dalam lubuk hati.

Viren siap menyerah. Dia tidak memiliki ekspektasi apa pun. Seorang paladin hanya akan dikenang karena dua hal yakni, kemenangan dan kebodohannya. “Maaf,” katanya dengan nada suara yang terdengar begitu kelu, “saya akan pergi. Silakan menikmati malam.”

“Jangan,” Ruby melarang.

“Tapi....”

“Maaf, saya hanya tertegun. Anda sungguh berbeda dari kali terakhir kita berjumpa. Saat itu kita berdua masih kanak-kanak. Kemudian kita berdua kembali bertemu setelah dewasa dan ... ya. Ya! Saya mengingatnya. Anda paladin yang pernah menyelamatkan saya. Tentu saja. Bagaimana mungkin saya lupa?”

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang