Rudolph, raja Damanus, tengah memikirkan rencana mengamankan beberapa daerah yang akhir-akhir ini sering didatangi monster. Surat permohonan dari baron dan count yang merasa daerah mereka terancam pun membanjiri istana. Permohonan mengirimkan tim khusus agar lekas mengenyahkan monster.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Rudolph?" Melinda Mehran, ratu Damanus, meletakkan secangkir teh mint di meja. Tidak ada siapa pun selain mereka berdua di ruang baca. Melinda mengenakan gaun merah berhias sulaman emas bunga mawar. Warna yang amat cocok dengan rambut Melinda yang berwarna ungu gelap. "Akhir-akhir ini kau kelihatan tidak sehat. Apa aku perlu memanggil pendeta agar mereka memberkatimu dengan kesehatan?"
"Melinda, tidak ada pendeta yang cukup sakti selain Saint Magda," Rudolph mendengus dan mematahkan argumen istrinya. Dia mencoba meregangkan tubuh, sekadar mengusir nyeri dan lelah yang membebani bahu. Kursi berderak setiap kali Rudolph melakukan peregangan tangan. "Kuil Giham jelas cukup banyak menerima sorotan. Aku tidak perlu menambah masalah yang perlu Saint Magda atasi."
"Mengapa kau tidak membiarkan Saint Magda menjadi pemimpin Giham?" Melinda menyarankan. Dia duduk di sofa, tepat di dekat meja kerja suaminya. "Kepala Pendeta bukan orang bersih. Masalah Damanus sebagian besar merupakan hasil karya dari Kepala Pendeta. Bukan begitu, Suamiku?"
Alih-alih kesal, Rudolph justru terkekeh. Dia menjepit cuping hidung, mencoba menekan denyut pening di pelipis, kemudian menghela napas karena letih. "Dengan menempatkan Saint Magda sebagai puncak utama kekuasaan Giham," ia menjelaskan. "Maka, tidak menutup kemungkinan perubahan lain menyusul. Sedari dulu perdebatan perihal posisi perempuan di atas lelaki menjadi momok mengerikan. Melinda, aku tidak ingin menambah daftar ancaman terhadap perempuan di Damanus. Kau pasti paham maksudku. Ada segelintir pria dengan ego besar dan mental sekecil kedelai. Jenis orang yang memandang rendah perempuan dan tidak ingin mereka keluar dari zona keramat."
"Jenis yang hanya ingin perempuan sebagai tropi saja," Melinda menambahkan. "Hanya menghargai perempuan yang bisa tunduk kepada aturan lelaki. Perempuan tidak memiliki hak perihal berpendapat dan mengungkapkan gagasan. Aku curiga ada bangsawan yang ingin perempuan hanya belajar menyulam dan seni menyenangkan pria di ranjang."
"Aku lebih suka melihatmu memukul mundur para menteri yang tidak tahu diri dan menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan tidak kalah hebat daripada kaum pria," Rudolph menyuarakan pemikirannya. "Kau terlihat cantik saat mendebat mereka, Sayangku."
"Jangan mencoba meredakan kemarahanku," Melinda memperingatkan. Dia bersedekap, menguatkan bahu, kemudian berusaha menampilkan senyum mengancam tapi menawan. "Kau tidak akan mendapat hadiah apa pun atas rayuan murahanmu, Rajaku."
Rudolph mengangkat cangkir. Selama sesaat dia menikmati aroma daun mint yang menyegarkan. Dia menyesap teh, membiarkan kehangatan membasuh tenggorokkan. 'Andai kedamaian mudah diciptakan,' pikirnya sembari membayangkan masa depan Damanus.
"Ada permintaan dari daerah pinggiran," kata Rudolph sembari meletakkan cangkir di meja. "Mereka ingin bantuan agar monster berhenti menghantui ladang dan pemukiman."
"Bagaimana dengan pendeta? Bukankah tanah yang disucikan tidak mudah didatangi monster?"
"Barangkali Ilkhi, dewa tipu daya, tengah menciptakan lelucon untuk kita. Monster? Aku takut ke depannya kita harus berhadapan dengan iblis serta pasukannya. Damanus akan mengalami kerugian besar dan aku tidak suka melihat hal semacam itu terjadi."
"Bagaimana dengan pendeta?" Melinda masih saja fokus terhadap topik pendeta. "Kau bisa meminta Kepala Pendeta mengirim paladin. Mereka dilatih demi hal semacam itu. Membasmi iblis. Mengurung monster. Abaikan protes Kepala Pendeta. Kau bisa mengancam dengan mengangkat kepala pendeta baru. Semudah itu."
"Apa kau lupa bahwa posisi teratas di Giham didapat atas dasar pemilihan tanpa campur tangan kerajaan? Aku tidak bisa memanfaatkan pengaruh begitu saja. Bisa-bisa segelintir bangsawan meniru diriku dan membenarkan tindakan mereka yang sesungguhnya tidak patut dicontoh."
Melinda menelengkan kepala. Segaris senyum manis terpeta di bibir. "Nicholas Aveza," katanya. "Aku dengar dia berhasil ditemukan. Kau pasti ingat dengan pemuda yang satu itu, bukan?"
"Dia hanya beberapa tahun lebih muda dariku!" protes Rudolph, tidak terima istrinya memuji pria lain. "Oh ya, Duke Aveza meminta izin mengenai memasukkan seorang bocah ke dalam daftar keluarga secara legal. Dia tidak bersedia menyebutkan nama ibunya, tetapi ayahnya...."
"Ya, dia adalah Sir Nicholas," Melinda membenarkan. "Aku tahu dia sekarang menjadi seorang ayah dan kudengar dari Sislin-ku yang manis bahwa Aveza mungil yang satu ini amat menggemaskan. Sebenarnya aku mengundang anak-anak Aveza. Sayang hanya Alex dan Pearl saja yang muncul. Sayang sekali. Oh ya, aku sempat melihat rekaman Aveza mungil dari salah satu pelayan. Dia sangat menggemaskan dan membuatku ingin memeluknya!"
"Istriku," Rudolph memperingatkan, "kau tidak bisa menyentuh anak Aveza mana pun."
"Aku hanya mengagumi si kecil!" Melinda membela diri. "Dia mirip anak ayam yang baru menetas. Lucu. Sebaiknya aku meminta rekaman baru mengenai si mungil itu. Oh, hampir saja aku lupa. Kau, suamiku yang nakal, membuatku lupa akan satu hal."
Rudolph tidak yakin dengan perubahan suasana hati Melinda. Bahkan sekarang Melinda tengah menyatukan tangan dan berkata, "Tawarkan pangkat dan tanah kepada Nicholas Aveza. Dia pasti sanggup menyingkirkan monster. Rekam jejak Nicholas terbilang bagus. Kecuali, sikap pemberontaknya yang seperti kuda liar."
"Bagaimana kau yakin kuda liar ini bersedia menerima tawaranku? Dulu aku pernah menawarinya jabatan kepala kesatria istana raja, tetapi dia menolak dan memilih menjadi penjaga peziarah!"
"Kau tidak mengerti," Melinda menjelaskan, "sekarang dia butuh pangkat agar bisa mempertahankan putrinya. Duke Armand mungkin saja tidak keberatan dengan kehadiran Sir Nicholas di kediamannya. Namun, si kecil itu membutuhkan biaya membesarkan. Sir Nicholas tidak punya tanah dan pangkat. Dia akan menjadi bulan-bulanan di kalangan bangsawan. Namun, begitu memiliki pangkat maka dia akan mandiri dan bisa membesarkan putrinya jauh dari campur tangan Duke Armand maupun ayahnya. Aku dengar Sir Nicholas ingin meninggalkan kediaman Aveza dan menjauhkan putrinya dari Duke Armand...."
"Pasti Duke Armand menolak," Rudolph menebak. "Dia tidak rela melepas keponakannya."
"Tawarkan tanah dan pangkat," Melinda menyarankan. "Sir Nicholas pasti akan bersedia. Dia butuh uang. Dengan kemandirian, Sir Nicholas akan menjadi salah satu pendukung Sislin. Tambahkan Count Veremon yang jelas memihak kepada kita."
"Apa untungnya bagimu?"
"Aku bisa mengundang si mungil!" seru Melinda. "Duke Armand membatasi akses dan membuatku ingin memukul pantatnya dengan sapu! Dia benar-benar tidak paham bahwa makhluk semanis dan semungil itu tidak layak dikurung! Oh ya, Suamiku. Aku bahkan menyewa pelukis agar menggambar potret Aveza muda itu!"
"..."
"Kyaaa!" seru Melinda, bahagia. "Aku tidak sabar menghadiahi si mungil dengan boneka dan manisan. Apa aku harus menawarkan diri sebagai ibu asuh? Bagaimana menurutmu? Ah pasti menyenangkan."
Rudolph kehabisan kata-kata.
Selesai ditulis pada 4 Agustus 2022.
Halo, teman-teman.
Ruby masih jadi prioritas tulis. Bonus Morgan dan chapter rahasia sedang saya cicil. Nanti akan saya terbitkan di KaryaKarsa. Kalian silakan mampir di sana, ya? Please, temani saya nulis. Sendirian itu nggak enak. Bukanya bisa lewat browser kok. Soalnya saya juga gitu, lewat browser. App KaryaKarsa gedhe, ponsel saya nggak jodoh dengan app tersebut. Hehe, maklum keluaran tahun 2016. Misal ada dana lebih saya akan coba beli baru agar bisa akses dan terus menulis.
Oh ya, semoga kalian suka, ya bab ini. Love you, teman-teman.
Salam hangat,
G.C
P.S: Hari ini saya sedang sedih dan kecewa. Hmmm, tenang saja. Tetap nulis kok. Jangan lupa temanin saya menyelesaikan Ruby. Love. Love. Love.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only for Villainess (Tamat)
FantasySalah satu impianku adalah bisa merasakan nikmatnya menjalani kehidupan makmur; kenyang, tidak perlu memikirkan masalah ekonomi, dan satu-satunya masalah hidup hanya memikirkan "besok mau makan apa?" Nah, jenis kehidupan damai, mapan, dan nyaman sep...