Hampir Celaka

5 0 0
                                    

Gelapnya malam, dinginnya angin yang berhembus dengan perlahan membuat seisi bumi memerlukan kehangatan.

Reiki sedari tadi duduk di kursi yang berada di dalam ruangan dan terus memandang ke arah gadis yang sudah terlelap di atas bed hospital. Ekspresi wajahnya seketika berubah setelah Mariam pergi.

Beberapa menit kemudian...

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu terdengar dari luar ruangan, pertanda ada seseorang yang ingin masuk.

Reiki bergegas beranjak dari tempat duduknya dan perlahan membuka pintu ruangan, "Eh, temannya Bianca, ya?"

Dengan sopan Sylvie menjawab, "Malam, Om, saya Sylvie." Sylvie mengulurkan salah satu tangannya dan langsung dibalas uluran tangannya oleh Reiki.

"Malam, Sylvie. Mau jenguk Bianca, ya? Tapi maaf, Biancanya belum bangun ..." ucap Reiki dengan memperlihatkan senyuman tipisnya.

"Oh gitu ya, Om? Yaudah deh, saya pulang aja," balas Sylvie, "Mari, O--"

"Vie?" ujar Bianca tiba-tiba yang membuat ucapan Sylvie terpotong.

Dengan cepat Sylvie langsung membalikkan tubuhnya, dan menerobos masuk ke dalam ruangan tanpa memperdulikan Reiki.

Lelaki itu spontan melirik sinis ke arah Sylvie tanpa diketahui gadis tersebut, lalu menutup pintu ruangan meninggalkan kedua gadis yang berada di dalam.

"Hai, Ca! Gimana keadaan lo?" sapa Sylvie sambil menyimpan bungkusan makanan di atas meja.

"Udah enakan, Alhamdulillah ..." jawab Bianca.

"Eh, gue mau tanya. Om-om yang dari tadi sama lo itu siapa, sih?"

"Orang yang nikah sama mama gue," jawab Bianca tanpa mau menyebut kata 'Ayah'.

"Ayah tiri lo? Kayaknya, gue pernah liat dia di sekolah, deh!" tutur Sylvie antusias.

"Serius? Ngapain dia ke sekolah? Kurang kerjaan," sambung Bianca sambil mengangkat salah satu alisnya.

"Iya. Gue yakin kok, kalau gue pernah liat ayah tiri lo di sekolah, terus masuk ke ruangan pak Andre."

"What? Ruangan kepala sekolah? Ngapain dia? Bener-bener kurang kerjaan banget ngurusin hidup gue."

"Gue gak tau, Ca. Gue gak sempet denger pembicaraan ayah tiri lo sama pak Andre," ucap Sylvie berbohong.

"Jadi penasaran, gue. Sebenernya apa ya, yang dia omongin sama pak Andre?"

"Ah, udah lah, gak penting juga buat lo pikirin. Yang terpenting sekarang itu, kesehatan lo. Oke?"

"Iya, iya ..." jawab Bianca pasrah, "By the way, lo ngapain ke sini? Tumben," sambungnya.

"Gue mau jenguk lo lah, masa mau ngajak lo main. Gila lo, Ca," balas Sylvie sambil tersenyum simpul.

Bianca tertawa kecil, "Makasih ya, Vie, lo udah selalu ada buat gue."

"Apaan sih, lo? Gak usah bikin gue melow, deh!" sewot Sylvie, "Sebenernya gue ke sini bukan cuma mau jengukin lo, tapi ada satu hal yang pengen gue ceritain ke lo, Ca," lanjutnya dengan nada bicara yang mulai serius.

"Oh iya, sebelum lo pulang, lo kan bilang sama gue, kalau lo tau semuanya. Itu maksudnya apa? Tau apa? Soal apa?" cerocos Bianca.

"Lama-lama sifat lo mirip sama Kyla, nyerocos mulu," sindir Sylvie sambil memutar bola matanya malas.

"Vie ... mulai deh, kebiasaan!" ucap Bianca yang meniru gaya bicara Sylvie, "Kalau gini, gue mirip sama lo, gak?" sambungnya yang diakhiri tawa.

Sylvie menghembuskan nafasnya pelan, "Terserah lo aja deh, Ca."

Why Should Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang