"Ada kepala sekolahnya Azzam! Maaf, Ayah, Azzam tutup ya teleponnya. Ayah tolong cepat ke sini."
Tut.
Telepon pun terputus.
Semua mata tertuju ke arah Michell.
"Ada apa, Ren?" tanya Reiki penasaran.
"Siapa yang menghubungimu, Mas?" sambar Mariam ikut bertanya.
"Anak sambungku, ia berkata, saat ini bundanya sedang dalam bahaya!" jawab Michell panik.
"Tunggu, bahaya bagaimana maksudmu? Istrimu kenapa, Mas?" tanya Mariam.
"Aku tidak tahu pasti, yang jelas istriku dalam bahaya. Aku harus segera ke sana!" ucap Michell.
"Istri? Dalam bahaya?" ujar Reiki yang terlihat seperti sedang berpikir dan sedang mengingat sesuatu.
Tak ingin terlambat menyelamatkan istrinya itu, Michell pun mulai berlari. Namun tiba-tiba, ucapan Reiki membuat Michell menghentikan langkahnya.
"Ah, sepertinya aku tahu!"
Michell mengalihkan pandangannya ke wajah Reiki, menatap kedua bola mata sahabatnya dengan penuh tanya.
"Itu pasti Andre!" ujar Reiki dengan tiba-tiba.
"Andre? Siapa dia?" kaget Mariam.
"Dia teman satu jurusan Ren saat kuliah dahulu, dia juga kepala sekolah Bianca dan teman-temannya," balasnya.
Michell langsung mengingat ucapan Azzam di telepon.
"Pak Andre?" -Sylvie
"Papa?" -Raka
"Darimana kau tahu semua itu?" tanya Michell.
"Akan kujelaskan nanti. Lebih baik kita tidak mengulur waktu di sini. Kita harus segera menuju ke rumahmu, Ren. Karena, aku yakin Andre pasti melakukan sesuatu yang lebih kejam dariku," ungkap Reiki yang membuat Michell semakin cemas dan takut.
"Pak, saya masih harus menyelesaikan masalah ini. Saya minta waktunya sebentar ya, Pak? Bapak pun saya minta untuk ikut kami, karena di sana ada seseorang yang harus dihukum seperti saya. Dan saya mohon, kepada polisi lain, tolong jangan menyalakan sirine mobil saat sudah dekat dengan tempat tujuan," ucap Reiki pada salah satu polisi yang tadi memborgol tangan Reiki.
Polisi itu pun mengangguk setuju.
"Yasudah, Mas ... sekarang mari kita pergi menuju rumah Mas Michell. Aku takut terjadi apa-apa dengan istri dan anak Mas Michell," selip Mariam yang ikut merasa khawatir.
"Iya, Sayang ... aku pun merasakan hal yang sama," jawabnya.
"Rei, Mariam, dan Bianca, kalian ikut di mobilku. Sylvie dan teman-teman yang lain kalian membawa mobil?" ucap Michell.
"Bawa, Om," balas Sylvie.
"Hmm ... Om!" panggil Bryan kepada Michell, "Kalau Om ngizinin, Bianca ikut bareng saya aja ya, Om? Sekalian saya obatin lukanya Bianca," lanjutnya sambil melirik ke arah sang kekasih.
Bianca tersenyum, dan Michell pun menganggukan kepalanya.
Mereka semua pun langsung keluar dari gedung tua itu, begitu juga dengan polisi yang mengikuti dari belakang.
Mobil Michell dan mobil polisi lebih dulu meninggalkan tempat tersebut.
"Lo mau obatin lukanya Bianca dulu, kan?" tanya Raka yang mendapat anggukan dari Bryan.
"Di mobil gue gak ada kotak P3K," ucap Raka.
"Gue juga." Sylvie ikut berbicara.
"Tinggal beli di apotek obatnya," papar Farel,
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Should Me?
Teen FictionYang selalu kulihat, kehidupan seseorang itu layaknya seperti 'Setelah turun hujan, terbitlah pelangi yang indah'. Namun mengapa aku berbeda? Pelangi yang indah? Itu tidak ada dalam kamus hidupku. Kehidupan keluargaku saja bagai diterpa badai. Naasn...