"Saat itu sebenarnya Sandi tidak ingin memiliki anak dari ibumu. Meskipun sudah menikah lama dengan ibumu."
"Kandungan Mama saat itu sudah sembilan bulan berbeda dengan Mama kamu yang mengandung kamu tujuh bulan."
"Ibu kandung kamu teriak di depan kami saat kami berada di taman. Ibu kandung kamu ke tabrak mobil saat mengandung kamu. Pilihannya cuma satu. Kamu yang diselamatkan atau ibu kamu yang diselamatkan."
"Ibu kandung kamu memilih melahirkan kamu. Saat itu mama juga sedang mengandung Disya. Malamnya Mama juga melahirkan Disya."
"Papa kamu gak mau ngerawat kamu, dia pengen naruh kamu di panti asuhan. Mama bilang mama akan merawat kamu, Mama gak nyangka wajah kalian bisa mirip sekali layaknya anak kembar. Gen papa kalian lebih mendominasi." Tasha semakin mengeratkan pelukannya pada Dasya yang sudah tak kuat berdiri.
Gadis itu hanya diam mendengarkan. Ia sudah salah paham pada ibu kandungnya sendiri.
"MAMAAAAAA. AKU SAYANG MAMAAA."
Dasya menyatakan rasa sayangnya pada ibu kandungnya. Kini tangisan Dasya bersuara. Sangat perih rasanya. Ia baru mengetahui ini.Tasha sudah melonggarkan pelukannya. Dasya mendorong Tasha pelan untuk melepas pelukannya. Dasya jatuh terduduk. "Ma, dimana makam Mama kandung aku?" tanya Dasya sambil sesenggukan.
Tasha menggelengkan kepalanya. "Mama gak tau, orang tua mama kamu gak ngizinin Sandi tahu saat Mama ingin ziarah. Kakek nenek kamu mengira kamu sudah mati. Kami gak tahu keberadaan mereka sekarang."
"AAAAAAAAAAAAAAAA" Dasya berteriak sambil menjambak rambutnya. Ia kesal dengan kenyataan ini. Batin Dasya mengatakan berulang kali jika ini sungguh perih.
"Ma, ada apa?" tanya Disya. Gadis itu kesal dengan Dasya yang dari tadi terus saja berteriak.
Dasya menolehkan kepalanya. Mata Dasya terlihat sendu sekali. "Pantas saja kamu selalu beruntung."
"Jadi, ini alasannya." Dasya kembali menjambak rambutnya.
Tasha berusaha menghentikan tangan Dasya yang terus saja menyakiti dirinya.
"Berhenti sayang!""Berhenti nyakitin diri kamu!" Tasha melihat tatapan Dasya begitu dalam padanya. Matanya berbicara bahwa kenyataannya sungguh membuatnya sakit.
Rasanya Dasya ingin menyalahkan seseorang. Tapi, siapa yang harusnya disalahkan? Sandi yang membohongi Tasha dan ibu kandungnya? Ibu kandungnya yang membiarkan dirinya tidak mendapatkan kasih sayang? Atau Tasha yang justru menjauhkannya dari keluarga ibu kandungnya? Jika saja Tasha memberikan Dasya pada kakek neneknya, mungkin saja ia mendapatkan kasih sayang lebih baik dari mereka.
Dasya tidak bisa menyalahkan mereka. Semuanya memiliki alasan tersendiri saat mengambil keputusan.
"Kenapa sih?" Sebal Disya.
"Gak jelas banget anaknya." Disya mengedikkan bahu, sebelum memilih pergi.
🥀
Malam ini Dasya tidak berselera untuk makan. Ia memilih tidur daripada makan. Meskipun saat ini ia sedang berbaring di kasur. Dasya tidak bisa tidur. Sedaritadi ia hanya membolak-balikan badannya saja. Chat dan telpon dari Ezra pun tak ia tanggapi. Ia sedang tidak ingin diganggu.
Tiba-tiba ucapan Tasha kembali terngiang-ngiang di otaknya. Dasya kembali menangis. Sampai matanya benar-benar tidak bisa terbuka karena bengkak. Rasanya ia tidak ingin mengetahui semua ini, ketika faktanya lebih menyakitkan lagi.
Sebagai putri satu-satunya ia bahkan tidak pernah mendoakan ibu kandungnya sama sekali. Sebagai putri satu-satunya ia tidak pernah melihat bagaimana wajah ibunya yang bak bidadari itu. Sebagai putri satu-satunya ia baru mengenal ibu kandungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luceat
Teen FictionDasya berdiri di depan jendela dengan salah satu tangan yang menempel di jendela. Kepalanya sedikit terangkat, ia melihat langit yang di taburi dengan bintang. "Kali ini..aku pengen egois." Setetes air mata meluncur dengan cepat di pipi Dasya. Tak...