Sore ini Dasya berada di dapur. Tadi Karel mengajaknya makan di restoran terlebih dahulu sebagai bayaran, karena ia mau mengajarinya membuat cookies.
Setelah membuat adonan cookies. Pemuda itu mulai mencetaknya. Ia tak sabar memberikan doinya satu lusin cookies.
Pemuda itu memasukkan cookies pada oven ia memanggangnya di suhu 180 derajat. Pemuda itu memperhatikan cookies buatannya terus menerus membuat Dasya tertawa. Karel terlihat seperti anak kecil saat ini. Sepertinya ia akan memperhatikan cookies itu sampai dua belas menit kemudian.
Dasya melihat kedatangan Ezra. Wajah pemuda itu nampak lelah. Bibirnya terlihat pucat. Dasya langsung mengambil gelas. Menuangkan air putih pada gelas kosong yang ia pegang.
Berjalan cepat ke arah Ezra yang masih berdiri tegap dihadapannya.
Ezra tersenyum padanya. Pemuda itu membingkai wajah Dasya. "Aku bahagia, kamu berani ikut audisi."
Dasya mengangguk. "Minum dulu."
Dasya menarik lengan Dasya, menyuruh Dasya duduk di samping Karel yang rupanya tertidur sambil melihat oven.
Setelah dua belas menit berlalu. Dasya membantu Karel menghias cookies. Ia tidak tega membangunkan Karel.
Ezra membantu Dasya menghias cookies. "Pacar aku ternyata bisa buat cookies. Tapi dia gak pernah buatin aku."
Dasya menjadi merasa bersalah. Apalagi melihat wajah Ezra yang pucat, namun masih mau membantu dirinya menghias cookies.
"Lain kali aku bikinin ya? Hari ini aku gak sempet. Waktunya mepet. Dikit lagi aku mau kerja di cafe." Dasya memperhatikan Ezra yang memasang wajah biasa-biasa saja. Namun, nampak horror dimata Dasya.
"Kamu sekarang udah gak perlu aku lagi, ya. Das?"
"Kok kamu ngomong gitu?" Tangan Dasya yang sedang menghias, benar-benar terhenti.
"Kamu nyari kerja gak bilang-bilang aku, kamu ikut audisi juga gak bilang-bilang aku. Kamu gak ngabarain aku sama sekali. Padahal kamu punya handphone dari aku."
"Kamu gak punya kuota?" tanya Ezra yang kini menatap manik mata gadisnya.
"Kalo gak punya aku beliin, biar kamu bisa ngabarin aku. Tiga chat dalam sehari juga gakpapa. Kalo kamu terlalu sibuk."
"Aku gak suka diabaikan. Kamu juga gak suka, kan? Kamu bahkan lebih tau dari aku rasanya diabaikan." ucap Ezra.
Sungguh, Dasya sangat merasa bersalah. Gadis itu menundukkan kepalanya. Tak berani melihat Ezra yang masih setia menatapnya.
"Aku ngeluh karena aku mau hubungan kita lebih baik ke depannya. Aku mau kita sama-sama berjuang buat hubungan kita." Tutur Ezra.
Pemuda itu memasukkan Dasya ke dalam pelukannya. Mengecup puncak kepala gadisnya. "Aku gak berniat buat kamu terluka. Maaf."
"Aku yang salah. Tapi, kamu yang minta maaf." ucap Dasya. Sekarang Dasya berpikir bahwa dia sedang menyia-nyiakan orang yang sayang padanya.
Ia sendiri yang menjauhkan diri pada Ezra. Dia sendiri yang membuat jarak. Jika suatu saat Ezra menghilang berarti itu salah dirinya sendiri. Karena ia tidak pandai menjaga hubungan.
Dasya memeluk Ezra dengan erat. "Maaf, aku salah."
"Makasih, Zra. Udah bertahan sejauh ini untuk aku."
🥀
Malam ini Disya mengunjungi cafe bersama teman-temannya. Mereka memilih duduk di luar. Usai memesan makanan, mereka mengobrol dengan santai.
"Eh, kuku lo bagus, Bell." ucap Aurel.
"Lo ganti nail art lagi?" tanya Rasi yang melirik tangan Bella yang sedang dipegang oleh Aurel.
Bella mengangguk. "Bosen."
"Minggu depan, lo mau ganti lagi gak?" tanya Rasi.
"Boleh." Bella melepaskan tangannya dari Aurel. Ia mengangkat tangannya tepat di depan wajah. Memperhatikan nail art yang kemarin ia ubah.
"Lo ikut gak, Das?" tanya Rasi.
"Harus, dong." ucap Aurel dengan semangatnya. Padahal yang ditanya Disya bukan dirinya.
Bella menyunggingkan senyum miring. Wajah Disya tampak memikirkan sesuatu. "Kalo gak bisa, gakpapa. Kita gak maksa."
"Bisa dong." ucapnya.
Disya melihat ke sekeliling cafe. Bukan bukan karena ia baru saja ke tempat ini. Namun, ia tidak ingin mendengarkan temannya, ada suara indah yang mengalun dan membuatnya terhipnotis.
Dasya membawakan lagu Breathe, lagu Mackenzie Ziegler. Dengan sedikit gerakan tangan, Dasya mulai menghayati lagu yang ia bawakan. Nyaman sekali rasanya seperti ini. Ia merasa bebas. Ia merasa ini sebuah kebahagiaan.
Dasya menatap pelanggan yang hadir. Melihat mereka yang bercengkrama. Kebahagiaan mereka dapat dirasakan Dasya.
Saat itu mereka berada di tempat yang sama. Namun tidak saling melihat.
🥀
Larut malam Dasya terbangun. Tiba-tiba tenggorokannya kering. Ia membuka pintu kamarnya. Dasya melihat Raka yang berjalan pada lorong yang sepertinya jarang dijangkau anak Xenodermus.
Dasya berjalan jinjit. Ia tidak ingin Raka mendengar ketukan sendal yang ia pakai. Ia juga mencoba menjauhkan bayangannya yang begitu tinggi karena adanya cahaya dari sinar rembulan.
Raka menggeser kardus-kardus yang ada di hadapannya. Dasya membelalakan matanya ketika beberapa anak xenodermus yang tidak ia kenal namanya membantu Raka. Terdapat sebuah pintu di balik kardus-kardus yang tersusun rapi itu.
Dasya mengernyitkan dahi. Alisnya sedikit bertaut. Malam ini Ezra ke sini? Ia baru tahu. Pasalnya setelah pulang kerja ia langsung memilih untuk tidur dibanding berganti pakaian, membersihkan diri ataupun makan.
Setelah mereka masuk, Dasya langsung berjalan menghampiri pintu itu. Sejujurnya Dasya sedikit takut karena ruangan ini hanya dipasangkan lampu yang sangat minim cahaya.
Dasya menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang melihatnya. Ia mengendap-endap menuju pintu. Ia sedikit menempelkan kepalanya pada pintu. Mengira jika dirinya dapat mendengar percakapan mereka yang berada di dalam.
Dirasa tidak mendengarkan apapun. Ia memilih membuka knop pintu secara perlahan. Gadis cantik itu berusaha mengintip apa yang terjadi. Lampu di dalam ternyata memiliki penerangan sama seperti di luar. Sangat minim pencahayaan.
Apakah jika ia masuk, mereka semua tidak menyadarinya? Pikir Dasya.
Ia tidak tahu jika Ezra dekat dengan anak Xenodermus. Meskipun Ezra sering ke sini karenanya. Ia tidak pernah melihat Ezra yang berinteraksi dengan anak Xenodermus.
"CTARRR"
Dasya membelalakan matanya. Hampir saja ia berteriak. Tangannya menutup mulutnya. Tangannya melemas. Ia melepas knop pintu secara perlahan. Ia takut dirinya tertangkap basah. Ia ingin pergi dari sana. Namun, kakinya tidak bisa ia gerakan. Suara cambukan itu terlalu kencang dan membuatnya lemas.
"CTARRR"
Suara itu kembali terdengar di telinganya. Membuat ia menutup kedua matanya, tangannya yang berada di mulutnya berpindah menutupi telinganya.
"CTARRR"
Lagi, dan lagi suara cambukan itu terdengar. Dasya menangis ketakutan. Ia berusaha tidak bersuara, ia juga berusaha untuk bangun dari duduknya.
"CTARRR"
"ARGHH"
Dasya yang hampir menjauhi pintu mendengar teriakan pemuda itu. Ia mendengar jelas.
Dasya menghentikan langkahnya. "Suara itu..?"
Gadis itu menggelengkan kepala. "Ezra?"
🥀
Makasih buat kalian yang masih setia sama cerita aku. Makasih untuk apresiasi kalian juga yang udah ngevote cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luceat
Teen FictionDasya berdiri di depan jendela dengan salah satu tangan yang menempel di jendela. Kepalanya sedikit terangkat, ia melihat langit yang di taburi dengan bintang. "Kali ini..aku pengen egois." Setetes air mata meluncur dengan cepat di pipi Dasya. Tak...