31

265 21 0
                                    

Dasya bangun dari jongkoknya. Ia sudah lelah menangis. Berhenti menangis bukan berarti ia sudah melupakan  masalahnya, bukan. Ia memang sudah berhenti menangis. Namun, tatapan mata gadis itu kosong, ia berjalan dengan langkah gontai, kakinya melangkah tanpa tujuan yang jelas. Dasya ingin mengalihkan rasa sakitnya. Ia lebih baik pegal berjalan daripada harus mengingat semuanya.

Keluarga harmonis yang ia dambakan memang tidak ada. Bahkan sebelum dirinya hadir. Ia hanya menjadi penonton harmonisnya keluarga seseorang. Ia mengeratkan tas ranselnya.

'Tin'

'Tin'

'Tin'

Suara klakson mobil yang sebenarnya memekakkan telinga tidak dapat di dengar oleh Dasya. Tarikan tangan seorang pemuda membuatnya jatuh kepelukan pemuda itu.

"Bego, bodoh, tolol." Maki pemuda itu.

"Lo mikir gak, sih? Badan lo bisa sakit semua kalo ketabrak!" teriak pemuda itu sambil menyugar rambutnya. Ia sungguh panik tadi, takut tidak bisa menjangkau gadis yang telah ia selamatkan karna jaraknya yang lumayan jauh.

"Kamu? " Dasya menunjuk Raka.

Raka tidak peduli, ia menarik tangan Dasya dengan kencang. Tidak peduli gadis yang di belakangnya itu berjalan tertatih karena mencoba menyamakan langkahnya. Raka mengajak Dasya duduk di bangku halte.

"Bilang lo butuh apa dari gue?" tanya Raka sambil memegang pundak Dasya.

Ia ingin meyakini Dasya jika ia bisa membantu Dasya. Dasya menatap mata Raka yang menatapnya dengan sendu. Pemuda itu pasti merasa iba padanya. Bagaiamana tidak, wajahnya yang kacau terlihat sangat jelas.

Setelah menatap Raka, Dasya mengalihkan atensinya. Ia memandang tangan besar dan kuat itu yang mencengkram bahunya dengan pelan.

Dasya menurunkan tangan itu dari bahunya. Gadis itu tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menunduk karena malu, malu masalahnya terlihat oleh orang lain.

Raka memeluk Dasya. Pemuda itu mengelus rambut Dasya. Jakunnya naik turun karena ia merasakan rasa sakitnya Dasya.

"Aku bakalan ada di sisi kamuu, " ucap Raka sembari menyandarkan kepalanya di kepala Dasya.

"Lo gak usah khawatir, Dasya punya gue."

Bukan, bukan Raka yang berbicara. Tapi, Ezra. Pemuda itu berdiri tak jauh dari mereka. Memegang tiang halte seraya mengatur napas yang tak beraturan.

Ezra tahu bahwa Dasya tidak baik-baik saja. Ia memberi waktu untuk Dasya bertanya pada Tasha, Ezra memberi waktu untuk Dasya menenangkan diri karena masalahnya. Namun, setelah itu Ezra mencoba mengirim chat pada Dasya, ia juga mencoba menelpon Dasya. Berharap Dasya tidak larut dalam kesedihannya.

Pemuda itu berjalan berbolak balik di kamarnya memutuskan apakah ia harus ke rumah Dasya? Pasalnya, ia tidak tenang jika hanya di rumah tanpa mengetahui kabar gadisnya itu.

Setibanya di sana kamar Dasya yang ia lihat dari jendela terlihat berantakan. Lemari gadis itu terbuka. Ia yakin gadisnya pergi dari rumah. Ia langsung turun dari tangga dengan cepat. Lalu kembali mengendarai motornya. Mengunjungi tempat yang pernah menjadi kenangan indah mereka.

Pemuda itu menelpon Dasya setiap kali ia sampai di tempat. Mengedarkan sekeliling, dan menjelajah tempat itu kembali dengan tangan menempel di daun telinganya. Ia harap Dasya baik-baik saja.

Ezra terus berlari, sampai ia bingung harus mencari kemana lagi. Gadisnya tidak ada dimanapun. Sepertinya berlari lebih baik daripada menggunakan motornya.

Ia meninggalkan motornya, tak peduli apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya ingin selalu berada di samping Dasya, Dasya sangat membutuhkannya, ia semakin ingin menjaganya ketika chat dari Shana masuk.

Ia terus berlari, memasuki gang kecil sekalipun. Meskipun ia tidak yakin Dasya akan melewatinya. Ezra sudah putus asa. Ia tetap tidak menemukan Dasya. Ia kembali mengambil handphonenya di saku celananya.

"Dasya,"

"Dasya, angkat telponnya,"

"Aku mohon." Lirih Ezra.

Telapak tangannya sudah dingin karena berlari di dinginnya malam. Pepohonan menyapa dengan daunnya yang berjatuhan. Membuat hawa di sekitarnya menjadi berbeda. Ezra semakin ketakutan. Bukan takut karena hantu, takut karena Dasya mungkin tidak akan pernah mengangkat telponnya lagi, dan memilih untuk pergi untuk selamanya darinya.

"ANGKAT DASYAAAAA!" teriak Ezra yang semakin terlihat khawatir.

Kaki pemuda itu sudah lemas, bukan karena letihnya berlari tetapi karena takut dirinya tidak bisa menemukan Dasya.

Tetapi, ia bersyukur melihat gadisnya aman. Gadisnya sedang duduk dibangku halte. Meskipun pemandangan di sebelah gadisnya membuatnya cemburu, ia tidak akan menunjukkan itu pada Raka.

"Das, ayo balik sama aku." Ajak Ezra seraya mengulurkan tangannya. Namun, uluran tangan itu tidak disambut dengan baik.

Raka tertawa remeh pada Ezra. Smirknya seperti melambangkan permusuhan bagi mereka.

"Das," Sekali lagi, Ezra mengulurkan tangan untuk Dasya. Ia yakin pasti kali ini, Dasya akan ikut bersamanya meninggalkan Raka.

"Aku gak mau ikut kalian." ucap Dasya.

"Das, aku pacar kamuu." Lirih Ezra.

Dasya menatap Raka. Lebih baik ia menatap Raka daripada ia menatap Ezra dan kembali bersedih karena mengabaikan kekasihnya.

"Pulang, Das. Udah malem. Angin malam gak baik buat kamu." Ezra berjongkok di hadapan Dasya sambil menyelipkan rambut Dasya yang menutupi wajahnya.

Raka merasa sesak ketika Ezra begitu tulus membujuk Dasya. Selama ini ia tidak salah mencoba merelakan Dasya pada Ezra. Pemuda itu mencari Dasya sampai keringat di wajahnya begitu ketara.

Tangannya mengepal. Ia bukan siapa-siapanya Dasya lagi sekarang. Tapi, ia masih berada di sini untuk memastikan Dasya aman.

"Ayo ke Xenodermus. Lo bakal aman disana." kali ini Raka menarik paksa Dasya hingga terbangun dari duduknya. Gadis itu terkejut bukan main. Pergelangan tangannya sakit karena Raka menariknya dengan tiba-tiba.

Ezra mendorong dada Raka. Ia tidak suka caranya Raka memperlakukan gadisnya seperti itu. "Cewek gue kesakitan, lepasin gak?"

"Ini udah malem, dia harus tidur. Kali ini lo gak bisa ngebantu dia." Raka melepas tangan Ezra yang menahan pergelangan Dasya.

"Lo sekarang miskin. Mana bisa lo ngebantu Dasya? Lo mau ngajak Dasya pulang ke rumahnya yang kaya neraka itu?" tanya Raka.

Ezra memukul rahang Raka. Meskipun ucapan Raka benar sekalipun ia tetap tidak menyukainya. Ia akan tetap memberikan Dasya yang terbaik.

Melihat darah segar keluar dari sudut bibirnya, Raka juga langsung membalas memukul Ezra. Rasanya Dasya ingin melerai mereka berdua, tapi ia sedang sibuk untuk berdiri kokoh. Matanya buram. Bukan, bukan karena air mata, melainkan kesadarannya yang akan segera menghilang.

"Stop." Dasya berhasil mengeluarkan suaranya. Namun, suaranya begitu kecil, ia seperti sedang berbisik. Tangannya memegang kepalanya. Ia sudah tidak dapat menahannya.

'Bruk'

Jatuhnya Dasya membuat mereka tersadar. Keduanya yang saling memegang kerah itu langsung menghampiri Dasya.

Raka dengan cepat menggendong Dasya. "Tolong! untuk kali ini, biarin Dasya sama gue lagi."

"Dia aman sama gue." Raka meyakinkan Ezra.

Ezra mengangguk meski dengan ragu. "Aku gagal ngerawat kamu lagi, Das."

🥀

Vote and comment🥰

Luceat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang