34

259 14 1
                                    

Pagi ini Karel sudah mengetuk pintu kamarnya dengan kencang.

"Lebih baik kepagian daripada kesiangan."

"Gue males nunggu lo ngantri panjang. Sekarang cepet mandi, Das." Teriak Karel dari luar kamarnya.

Gadis cantik itu langsung keluar dari kamarnya. Dasya sudah menyiapkan persyaratan audisi semalam. Gadis itu hanya menguncir rambutnya seperti ekor kuda.

"Semangat banget." ucap Karel sambil mengacak-acak rambut Dasya.

Karel menarik tangan Dasya pelan. Rupanya di ruang tamu anak-anak Xenodermus sedang minum-minum.

Karel menggenggam tangan Dasya kuat membuat Dasya tersadar jika dirinya sedang mematung.

Meskipun anak Xenodermus baik padanya, ia jadi khawatir ketika mereka mabuk. Mereka bisa saja berbuat kasar ketika tidak sadarkan diri.

Di perjalanan Dasya sedang berfikir untuk pergi dari basecamp Xenodermus. Tapi masalahnya, ia tidak tahu harus tinggal dimana setelah ini. Apalagi besok ia harus sekolah. Dasya sudah banyak absen akhir-akhir ini. Itu akan berpengaruh pada nilainya. Gadis itu menghela napas panjang. Bingung harus bagaimana.

Setelah memikirkan harus tinggal dimana yang tak kunjung usai. Kini Dasya terpaku pada banyaknya orang yang mengantri untuk audisi. Syukurlah ia datang pagi. Jadi, ia tidak perlu mengantri lebih lama. Karel menyuruhnya untuk berpose, ia akan memberikan foto ini pada Raka.

Dasya menyerahkan syarat audisi. Setelah di cek oleh petugas ia boleh memasuki studio didampingi Karel. Dasya mendudukan dirinya di bangku panjang yang tersedia di studio yang disusul dengan Karel. Dasya melihat ke sekelilingnya, beberapa orang sedang berlatih, berbincang, dan..

Matanya tertuju pada sebuah keluarga yang memberikan semangat pada putri mereka. Dasya meremas gaunnya. Ia teringat keluarganya. Dasya masih mengharapkan kasih sayang tulus dari papanya. Dasya merindukan kasih sayang Tasha yang begitu besar saat dirinya kecil. Dasya masih saja menginginkan keluarga yang harmonis. Padahal dirinya tahu, itu semua tidak akan terjadi.

Kenapa? Kenapa hidupnya seperti ini? Ia sungguh iri pada Disya. Hidupnya begitu berbeda.

"Anak Bunda. Pasti bisa!" Ujar ibu itu pada putrinya yang mungkin seumuran dengan Dasya.

"Mama." Satu kata keluar dari mulut Dasya. Gadis itu merindukan ibu kandungnya. Ia merindukannya. Sangat sangat merindukannya.

Karel mendengarnya. Pemuda yang sedang menggulirkan layar handphonenya itu mendengar jelas satu kata yang diucapkan Dasya.

Pemuda itu tidak bertanya pada Dasya. Ia hanya mengamati bagaimana Dasya mengontrol dirinya sendiri.

Dasya memasang earphonenya ia tidak ingin mendengar seorang ibu yang menyemangati putrinya. Ia tidak ingin dengar. Mendengarnya hanya membuat ia menangis dan terlihat seperti orang lemah di sini. Ia harus kuat.

Karel melihat Dasya yang melamun. Mata Dasya sudah penuh dengan air mata. Hanya tunggu beberapa detik lagi. Maka, air mata itu akan turun membasahi pipi cantiknya.

"Butuh pelukan?" Ucap Karel dengan hati-hati.

Dasya menoleh menatap Karel yang juga menatapnya. Ia sudah berusaha kuat. Namun, tidak bisa. Isakan tangis ia tahan. Air mata itu jatuh. Tangannya dengan sigap langsung menutup wajahnya.

Dasya menghapus air matanya. "Aku gakpapa."

Gadis itu tersenyum pada Karel dengan rahang yang mengeras.

Karel menganggukkan kepalanya. "Dasya yang gue kenal emang selalu kuat."

Ketika nomor urutnya dipanggil, Dasya langsung bangkit dari duduknya. Ia berlari kecil untuk menemui juri-juri yang kini menunggu Dasya bernyanyi.

Luceat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang