Ezra terbangun dari tidurnya. Melihat ke sekitar. Tidak ada siapapun di dalam ruangan kecuali dirinya.
Apakah kondisi gadisnya sekarang sudah pulih? tanyanya dalam hati.
Semalam ia melihat Raka membawa Dasya keluar. Gadis itu mengeluarkan darah di lutut dan pelipisnya.
Dasya terluka karenanya. Dan Raka selalu datang menjadi penyelamat. Raka selalu tahu kondisi Dasya lebih dulu dibanding dirinya.
Bahkan sekarang ia merasa cintanya pada Dasya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cinta Raka pada Dasya.
Wangi parfum Raka diseragam Dasya kali itu semakin membuatnya overthinking.
Suara pintu terbuka dengan tergesa-gesa membuyarkan pikiran Ezra yang bersarang di kepalanya. Ayahnya masuk dengan wajah berseri-seri sambil membawa file di tangannya.
Pria tua itu menyerahkan pulpen pada anaknya yang berusaha mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. "Cepat tanda tangan ini, supaya kehidupan kita jadi lebih baik seperti sebelumnya."
"Apa ini, yah?" tanya Ezra dengan dahi yang sedikit berkerut. Ia tidak mungkin menandatangani kertas yang masih di dalam map itu tanpa mengetahui apa isinya.
Ia sudah tidak yakin lagi dengan ayahnya. Kepala keluarganya itu sudah menyuruh dirinya untuk bertunangan dengan Disya, gadis yang tidak ia cintai.
"Ini pekerjaan yang mudah untuk kamu. Ayah yakin kamu bisa melakukannya." jawabnya masih dengan wajah berseri-seri.
"Ada yang menawarkan kamu pekerjaan sebagai model." ucap sang Ayah sambil menepuk-nepuk bahu Ezra seakan bangga memiliki anak setampan Ezra.
"Minggu besok kamu pergi ke Paris bareng om Fariz."
Ezra menatap file yang ada di tangannya, lalu menatap ayahnya yang berdiri di hadapannya. Matanya berkaca-kaca. Mengapa banyak sekali yang menjadi pemisah hubungan dirinya dengan Dasya.
"Aku gak mau." jawabnya dengan datar.
"Coba kamu pikirkan lagi." Ayahnya masih berharap, ia memberikan senyumannya pada Ezra meski tipis. Namun, masih tetap terlihat.
"Aku udah bilang enggak, yah." datar. Ezra menjawabnya dengan datar lagi.
"Ayah harap kamu berbakti. Cepat tanda tangan. Ayah akan menunggu."
" KENAPA AYAH GAK NGERTI?" teriaknya sambil berdiri di hadapan ayahnya.
Untuk pertama kalinya Ezra berteriak. Ia tahu ia salah. Sebenarnya ia tidak ingin membentak ayahnya. Ayahnya sangat menyayanginya. Tapi, ketika uang tidak berpihak pada keluarganya. Harmonis keluarga tidak bisa ia lihat lagi. Sepertinya ayahnya tergila-gila pada uang. Ia tidak mengenali ayahnya yang sekarang. Pria tua yang ada dihadapannya ini terasa asing baginya semenjak kejadian itu.
"Ayah paham." sambil menganggukkan kepalanya.
"Ini mungkin berat bagi keluarga kita. Tapi ayah yakin sama kamu. Kamu selalu membuktikan bahwa kamu terbaik."
"Jika boleh Ayah meminta satu hal dari kamu. Ayah ingin kamu sukses disana. Kesempatan sudah berada ditanganmu."
"Apa kamu tidak ingin membuat ayahmu bangga lagi? Apa kamu tidak ingin membuat ayahmu bahagia?" tanyanya pelan.
"Tapi, bahagia aku ADA DI SINI, YAH." Nada lirih penuh penekanan itu menjadi amarah yang begitu besar.
Ezra saat ini seperti tidak tahu sopan santun pada Ayahnya. Keduanya sama-sama keras kepala.
🥀
"Sebenarnya Dasya anak yang pandai. Dia multitalent, saya sangat tau itu. Tapi, semenjak mengikuti audisi menyanyi anak itu jadi jarang berangkat ke sekolah."
"Dasya terus berlatih bernyanyi dan bernyanyi. Dan, saya sangat menyayangkan itu. Saya sebagai ayahnya ingin anak saya membagi waktunya dengan seimbang antara menyanyi dan sekolah."
"Saya ingin anak saya menjadi orang yang berpendidikan. Jadi, saya ingin Dasya di eliminasi dari audisi ini."
"Saya harap anda mengerti apa yang saya khawatirkan. Karena Dasya ini masih remaja, masih labil. Di bilangin juga masih keras kepala. Hahaha." Suara tawa pria tua itu menjadi pemecah obrolan yang terlihat begitu serius.
Pria tua itu menyeruput kopi yang ia pesan. Untuk menghilangkan kegugupannya, ia meminum kopi yang berada di dalam cangkir putih.
"Silahkan diminum, bu." tawar pria paruh baya itu dengan sopan serta memakai gerakan tangan.
Juri wanita itu menyeruput minumannya sebelum menjawab keluhan pria tua dihadapannya.
"Maaf, pak. Tapi, saya tidak bisa mengeliminasi peserta begitu saja."
"Ini adalah masalah keluarga. Saran saya, bapak harus membicarakan ini baik-baik dengan Dasya. Anak itu begitu cantik hatinya, dan multitalenta seperti yang bapak bilang. Saya pribadi sangat menyukai suara Dasya yang indah nanti merdu itu." Juri wanita itu mengatakan sejujurnya. Dasya sangat menghayati ketika menyanyi. Ia seakan merasakan setiap lirik lagu yang ia nyanyikan.
"Mohon maaf, jika saya lancang. Tapi, saya pikir, lebih baik bapak mencari solusi terbaik untuk masalah ini. Mungkin bapak bisa mengatur jadwal Dasya dan meminta Dasya untuk mematuhinya."
Juri wanita itu menutup matanya. " Saya yaaaakin banget. Kalo Dasya itu nurut sama bapak."
Juri itu memberikan senyuman terbaik kepada orang tua peserta. "Jujur saya salut dengan bapak yang memperhatikan perkembangan anak. Karena zaman sekarang banyak anak remaja yang dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya. Sedangkan bapak mengurusi putri bapak dengan baik. Dasya pasti bangga punya ayah yang masih memperdulikannya."
Pria itu mengangguk sambil membalas senyum juri wanita yang berada dihadapannya.
"Sial rencana gagal." Batin pria tua itu dalam hati.
Ia harus memikirkan rencana lagi, kali ini ia harus membuat rencana lebih matang.
Juri wanita itu mengangkat tangannya. Memperhatikan jam yang ia kenakan. "Kalau begitu saya izin pamit, ya, pak. Terimakasih atas perbincangan hari ini."
Dengan ramah juri wanita itu menundukkan kepalanya sebagai tanda terimakasih.
"Oh, iya, bu. Makasih juga atas waktunya." balasnya
"Permisi." Ucapnya. Kemudian melenggang pergi dari pandangan pria tua itu.
"Sial"
"Sial"
"Sial"
Pria tua itu meretuki kebodohannya yang langsung bertindak tanpa memikirkan apa saja yang harus ia bicarakan.
🥀
Ezra mengemas pakaian dan barang-barang yang perlu ia bawa seperti charger handphone dan earphone.
Ia menghentikan aktifitasnya. Belum juga ia berangkat, kepalanya sudah berpikir tentang Dasya. Gadis itu begitu rapuh untuk berdiri sendiri. Gadis itu butuh penopang. Namun, penopangnya menghilang secara bersamaan.
Ezra ingin sekali mengatakan sesuatu sebelum pergi dari negaranya untuk gadisnya.
"Apa Dasya masih mau ngangkat telpon gue?" Tanyanya entah pada siapa.
Handphonenya sudah berada di genggaman tangannya. Ia bimbang apakah Dasya sedang sibuk atau tidak.
Sementara itu gadis yang sedang dipikirkan oleh Ezra, kini sedang memotong sayur kol. Ia menghentikan aktivitasnya ketika suara handphonenya berbunyi. Di taruhnya pisau itu di samping talenan.
Tak lupa, ia juga mengelap tangannya yang masih basah menggunakan apron sehabis mencuci sayuran.
Baru saja mengambil handphonenya yang berada di atas kulkas. Suara handphonenya tidak lagi berbunyi.
"Ezra" gumam Dasya.
Gadis itu melamun. Berpikir apakah sebaiknya ia kembali menlfon Ezra? Tapi, pikirannya kali ini mengalahkan hatinya. Ia memilih mengabaikan Ezra.
🥀
Jangan lupa vote and comment ya?
Makasih buat dukungannya😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Luceat
Teen FictionDasya berdiri di depan jendela dengan salah satu tangan yang menempel di jendela. Kepalanya sedikit terangkat, ia melihat langit yang di taburi dengan bintang. "Kali ini..aku pengen egois." Setetes air mata meluncur dengan cepat di pipi Dasya. Tak...