Jam satu siang Karel mendatanginya. Ia bilang jika ini giliran Dasya bernyanyi di acara TV penyanyi berbakat.
Karel tahu jika kondisi Dasya tidak baik-baik saja. Ia hanya memberitahu karena ia tahu Dasya tidak mungkin mundur.
"Jadwal lo jam tiga sore. Masih ada waktu dua jam lagi, kalo lo gak mau ngelewatin kesempatan ini."
Dasya melihat kondisi lengannya yang tidak diperban. Namun, terasa sakit.
"Ini cuma rintangan. Lo gak boleh mundur, Das." Bujuk Karel.
"Ingat cuma rintangan." Ucapnya lagi dengan penuh penekanan.
"Gue yakin lo bisa." Karel terus saja merapalkan kalimat motivasi untuk Dasya.
"Aku gak bisa ke sana dengan kondisi kayak gini." ucapnya.
"Jadi, lo mau nyerah?" tanya Karel.
Dasya mulai berfikir. Kesempatan tidak datang dua kali. Tapi, apakah mungkin ia bisa melakukannya.
"Berusaha lebih baik daripada menyerah." Kali ini Karel mengulurkan telapak tangannya pada Dasya.
Dasya melihat telapak tangan Karel itu sejenak, lalu menatap Karel yang juga menatapnya.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Lo bisa, Das."
Karena terus mendapat dukungan dari Karel. Dasya mulai mengangkat kepalanya. Tiba-tiba pusing menyerang kepalanya. Dasya memegang kepalanya yang terasa berputar.
Dasya merintih. Ia baru tahu jika kepalanya diperban. Ia memaksakan dirinya untuk bangun. Satu tangannya memegang kepalanya. Dan satu tangannya memegang kasur.
Gadis itu menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya. Lalu berusaha menapakkan kakinya.
"Aaaa" teriak Dasya.
Hampir saja. Hampir saja ia tersungkur ke lantai. Jika Karel tidak sigap menolongnya.
"Karel aku gak bisa." Suara Dasya melemah, teriakannya tadi membuat kepalanya bertambah pusing.
Raka yang melihat itu langsung menghampiri mereka. "Lo mau bawa Dasya kemana?"
Raka mendorong bahu Karel. "Lo gak liat kondisinya?"
"Aku gakpapa." Dasya menatap Raka dengan berani.
"Gakpapa apanya? Pala lo aja diperban." ucap Raka hampir tak terkontrol.
"Dasya harus gapai cita-citanya." jawab Karel.
"Gak gini caranya." ucap Raka.
Pemuda itu mengambil alih Dasya dari Karel. "Gue gak ngizinin dia pergi."
Dasya berusaha mendorong Raka. "Kamu bukan siapa-siapa aku. Berhenti peduliin aku, Ka."
Raka termenung. Itu memang kenyataannya. Namun, ia tertampar ketika Dasya mengucapkan fakta itu.
Karel memapah Dasya ke toilet. Sambil menunggu Dasya berganti pakaian, Karel ingin membayar administrasinya terlebih dahulu.
Raka menoleh pada pintu kamar mandi yang tertutup itu. Ia menunggu Dasya seraya bersandar di tembok. Khawatir terjadi sesuatu pada Dasya.
🥀
Dasya memasuki panggung. Ia mencoba berjalan dengan seimbang. Perban di kepalanya ia lepas untuk mempercantik tampilannya. Dress yang ia kenakan mampu menutupi lutut yang terluka. Senyuman manis ia berikan pada juri dan penonton yang melihatnya.
Dasya menyanyikan lagu pesawat kertas, JKT 48. Ia selalu membawakan lagu yang sesuai untuknya agar dapat dihayati.
Hidup bagaikan pesawat kertas.
Terbang dan pergi membawa impian.
Sekuat tenaga dengan hembusan angin.
Terus melaju terbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luceat
Teen FictionDasya berdiri di depan jendela dengan salah satu tangan yang menempel di jendela. Kepalanya sedikit terangkat, ia melihat langit yang di taburi dengan bintang. "Kali ini..aku pengen egois." Setetes air mata meluncur dengan cepat di pipi Dasya. Tak...