Dasya berjalan di trotoar. Ia meminta Ezra untuk menerima pekerjaan itu. Rasanya Dasya ingin berteriak sekencang-kencangnya ketika ia merasa telah mengambil keputusan yang salah.
Dasya mengingat kejadian tadi. Ketika senja yang indah sudah menghampiri keduanya. Ia pikir itu akan menjadi momen terindah tapi, ternyata itu adalah momen terburuk yang tidak pernah ingin ia kenang.
"Kamu akan berusaha Terima pekerjaan itu demi aku."
"Kita harus sama-sama berjuang." tegas Dasya sambil menghapus air matanya. Ia mengangguk mantap agar bisa meyakinkan Ezra yang menatapnya dengan ragu.
Ezra menggeleng. "Aku ingin ada di setiap proses yang kamu lalui."
"Aku juga begitu." jawab Dasya.
"Mau berjanji?" tanya Dasya.
Ezra tidak menjawab, ia rasa ini akan menjadi perjanjian yang akan ia sesali. Jadi, ia memilih diam, ingin mengetahui apa yang ingin Dasya ucapkan padanya.
"Pergi dari hidupku, Zra. Pergi, gapai cita-cita kamu, sampai kamu berhasil. Lalu, temui aku ketika kamu sudah berhasil." pinta Dasya.
"ENGGAK." tolak Ezra.
"Jangan keras kepala! Masa depanmu ada pada dirimu sendiri, bukan orang lain!" tutur Dasya.
Dasya berlari meninggalkan Ezra. Katakanlah ia payah. Payah untuk bersandiwara. Ia tidak bisa menahan tangisnya. Sungguh, ia membenci dirinya yang terus menangis tanpa henti. Anehnya air mata ini selalu memiliki stock yang banyak untuk meluncurkan air mata.
Dasya melihat jalanan yang penuh dengan mobil berlalu lalang. Matanya menatap jalanan dengan kosong.
"Lelah sekali rasanya."
🥀
Ezra termenung. Salahkah dirinya karena tidak mengejar Dasya? Tapi, ini yang Dasya mau. Dasya meminta dirinya pergi sampai dirinya berhasil.
Ezra menghela napas kasar. Ia menyugar rambutnya. Menyandarkan tubuhnya pada bangku panjang yang tadi mereka duduki berdua.
Ezra menatap langit senja itu. Mengingat kejadian semalam. Beberapa panggilan tak terjawab dari anak Panthera.
Geza mengernyitkan dahi. Ia balik menelfon.
"Bos. Ternyata cewek lo cantik."
Kalimat itu membuat Ezra langsung membuat matanya hampir keluar. Pikirannya langsung terpusat pada Dasya, gadis itu dalam bahaya.
Ezra langsung membalikkan tubuh Kana, mencari kunci motor pemuda yang sudah berada di alam mimpi itu.
Pemuda itu mencari dengan tergesa-gesa. Bagaimana ia bisa tertidur? Ia tidak menanyakan kabar pada gadisnya, apakah gadis itu sudah sampai rumah? Apakah gadis itu sampai dengan selamat? Tidak, Ezra tidak menanyakan itu. Dirinya merasa bersalah, ia gagal melindungi Dasya.
Ezra berlari. Melangkahkan kakinya ke dapur dengan cepat. Ia membutuhkan kunci motor itu secepatnya. Dasya dalam bahaya. Tapi, kunci motor Kana tidak ketemu setelah beberapa menit ia mencari.
Pemuda itu mulai menggaruk kepalanya. Bingung harus bagaiamana lagi. Ia kembali ke kamar Kana. Mencari handphone Kana.
"Halo." ucap Ezra setelah panggilan itu terhubung.
"Kenapa, lo make Handphone Kana?" tanya Raka.
"Dasya dalam bahaya." jujur Ezra.
Raka terkekeh. Ia melihat jalanan yang sepi, lalu mengalihkan bola matanya ke bawah, menatap batu yang sejak tadi dimainkan oleh kaki kanannya. Ia tendang sekencang mungkin hingga batu itu terpental jauh.
Raka sangat geram dengan Ezra. "Lo gak becus ngurus Dasya."
Tidak dapat dipungkiri, ucapan Raka memang benar. Tapi, ini bukan waktunya ia marah dengan ucapan Raka.
"Lewatin perbatasan. Gue gak akan ngehukum lo." tegas Ezra.
"Tanpa lo suruh, gue udah ngelewatin perbatasan." jawab Raka sambil mematikan panggilan telpon.
Kaki panjangnya melangkah, mendekati markas Panthera. Raka dan Karel berjalan dengan gagahnya. Tidak takut akan terjadi sesuatu pada mereka.
Mereka datang dengan mendobrak pintu menggunakan kaki. Tidak ada kata sopan untuk pemuda yang berani menyakiti perempuan.
Meski begitu, Raka tidak langsung memulainya dengan perkelahian. Ia melihat sekitar, memastikan Dasya berada di sana.
"Nyari apa?" tanya salah satu anak Panthera yang tidak Raka kenal.
"Wow anak Xenodermus berani ke sini?" tanya anak Panthera yang memiliki tato di lehernya.
"Balikin cewe gue, kesini." tegas Raka penuh penekanan.
"Jangan-jangan, lo anak barunya Xenodermus?" tanya pemuda bertato di leher itu sambil mengelilingi Raka.
"Panggil dia ke sini." Lanjutnya dengan menaikkan dagu.
Karel sedikit terkejut. Ketika bukan Dasya yang mereka bawa, tetapi banyaknya anak Panthera bersama satu geng motor lain yang tak ia kenal.
Semuanya mengelilingi Karel dan Raka. Ruangan yang lumayan luas itu tiba-tiba penuh. Raka paham, anak Panthera hanya ingin berkelahi. Maka, ia akan memulainya.
Raka langsung melayangkan pukulan menggunakan kaki setelah memutar tubuhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luceat
أدب المراهقينDasya berdiri di depan jendela dengan salah satu tangan yang menempel di jendela. Kepalanya sedikit terangkat, ia melihat langit yang di taburi dengan bintang. "Kali ini..aku pengen egois." Setetes air mata meluncur dengan cepat di pipi Dasya. Tak...