Selayaknya potongan puzzle, tidak akan terbentuk suatu gambar kalau hilang salah satu potongannya.
Tidak akan terbentuk sebuah cerita, kalau hilang salah satu karakternya. Saling melengkapi, saling memenuhi.
•••
Di antara mereka, yang paling percaya pada takdir adalah Hasta Nugraha. Hasta menganggap semua yang terjadi di kehidupannya merupakan sebuah takdir yang sudah digariskan oleh semesta. Pertemuan Sashi dan Lingga di stadion bola, lalu merembet ke Ibram di bengkel, sampai terakhir di pertemuan Gentala. Hasta percaya itu semua karena takdir. Karena sebelum itu pun mereka sudah bertemu dengan bermacam-macam orang, tapi tidak ada yang sampai dekat lalu berteman hingga bertahun-tahun seperti mereka berenam.
"Ini takdir," katanya dalam kondisi setengah mabuk di suatu malam beberapa bulan lalu.
"Takdir apaan? Ini cuma kebetulan," dan Gentala membalasnya. Hanya dia dan Valerie yang tidak minum alkohol saat itu. Sashi sudah teler lebih dulu, berbanding terbalik dengan Lingga dan Ibram yang matanya masih kelihatan segar meski bergelas-gelas alkohol sudah masuk ke perutnya. Mereka yang toleransi alkoholnya paling tinggi di antara yang lainnya, maklum, sudah terlatih sejak dini dengan minuman semacam itu. Lingga minum alkohol pertama kali di usianya yang ke dua belas.
Dan Hasta kini tengah berusaha tetap fokus pada pembicaraan karena kepalanya pun sudah mulai pusing dan pandangannya mulai kabur, berusaha berdebat dengan Gentala yang paling tidak percaya takdir.
"Sashi cuma kebetulan ketemu Lingga hari itu karena dia bosen nunggu jemputannya yang nggak dateng-dateng. Lo juga cuma kebetulan lagi butuh narasumber buat ngerjain tugas. Dan gue ... cuma kebetulan jadi fotografer kalian hari itu. Semua ini ... cuma kebetulan."
"Menurut lo, kita ini takdir atau cuma kebetulan?" Hasta bertanya pada manusia-manusia yang matanya masih terbuka, menatap satu per satu. Nyaris mendapat jawaban dari Valerie kalau saja Sashi tidak tiba-tiba terbangun dan berteriak.
"Argh! Dosen sialan! Gue cuma telat lima menit tapi tetep disuruh tutup pintu dari luar! Argh!" Dia mengacak-acak rambutnya, membuat para lelaki di sana menatap prihatin, geleng-geleng kepala, mereka semua sudah pernah merasakannya.
"Lo tahu tadi dia bilang apa pas gue minta maaf karena telat?" Sashi kembali meracau. Dia berusaha menatap mata teman-temannya, seolah meminta belas kasihan. "Dia bilang, "Oh, ya udah, silakan tutup pintunya"," Sashi mempraktikannya dengan nada yang lembut. "Pas gue mau tutup itu pintu dan udah kesenengan karena gue pikir gue dibolehin masuk, eh dia ngomong lagi, "Tutup pintunya dari luar"." Lalu dia mengerang dengan dramatis. "Lo tahu? Bukan karena gue jadi absen sehari, tapi karena malunya, astaga ... sampai ubun-ubun!"
"Terus—"
"VAL!" para lelaki langsung berseru ketika Valerie hendak menanggapi, membuatnya langsung bungkam, melipat bibir ke dalam. Mereka bukan tidak percaya pada apa yang Sashi ceritakan, tapi masalahnya cerita tersebut sudah diulang sebanyak tiga kali malam ini. Dan kalau sampai seseorang memperpanjang dengan sok-sok menanggapi, maka malam itu akan ditutup hanya dengan racauan Sashi terhadap dosen dan rasa malunya. Padahal perdebatan soal takdir dan kebetulan jauh lebih menyenangkan.
Karena perdebatan itu kembali di bahas hari ini, dua hari sebelum perayaan anniversary Puzzle Cafe yang kedua, di Ruang Kosong saat mereka tengah berkumpul mempersiapkan ini dan itu—Valerie kembali tidak terlihat seperti tahun sebelumnya, katanya ada keperluan syuting iklan dan akan datang setelah selesai.
"Shi, menurut lo, takdir atau kebetulan?" Hasta menoleh pada Sashi yang tengah mengikat rambutnya yang sudah tidak dikeramasi dua hari. Rambut yang kotor dan lengket membawa ide cemerlang untuknya yang tengah menyelesaikan novel ketiganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...