Sashi pikir, ketika sang papa mengatakan ingin bermain catur dengan Lingga, itu hanya sekadar kiasan semata sebagai ungkapan bahwa Lingga diterima sebagai kekasih Sashi. Tapi ternyata Lukman sungguh-sungguh perihal itu.
Begitu masuk ke dalam rumah, Sashi mengatakan akan ke kamarnya dan mandi sebelum mereka makan malam bersama. Sejujurnya, meninggalkan Lingga bersama sang papa atau sang mama masih membuatnya takut, tapi juga lucu melihat Lingga selalu berubah kaku dan tegang setiap berhadapan dengan kedua orangtuanya. Tapi apa boleh buat? Dia tak bisa membawa Lingga ke dalam kamarnya meskipun sangat ingin, restu orangtuanya bisa-bisa langsung dicabut. Alhasil, Sashi dengan pasrah membiarkan Lingga mengobrol dengan papanya di ruang tamu.
Tapi tanpa Sashi ketahui, setelah dia masuk ke kamar, Lukman menggiring Lingga ke halaman belakang untuk bermain catur dengannya. Lingga bukan pemain ulung, tapi jika di bengkel sedang tak ada kerjaan, dia dan teman-temannya suka bermain catur atau kartu, jadi memang sudah terbiasa. Sebelumnya, dia dan Lukman sudah pernah bermain, dari empat kali permainan, Lingga hanya kalah sekali. Dan itu membuat Lukman tertantang untuk terus bermain dengan Lingga.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, lengkap dengan rambut yang setengah basah, Sashi turun dan mendapati keduanya tak ada di ruang tamu. Dan dia sudah tahu ada di mana mereka jika tidak ada di ruang tamu.
"Ga," panggil Sashi, membuat Lingga menoleh dan ternyata dua orang lelaki itu baru menyelesaikan ronde pertama dan akan lanjut ke ronde berikutnya.
"Ini loh, kamu belajar main catur sama Lingga biar bisa temenin Papa main catur kalau di rumah," sahut Lukman dengan gerutuan pelan, terlihat jelas bahwa barusan dia juga kalah.
"Lebih baik lo mandi." Mengabaikan sang papa, Sashi kembali berbicara pada Lingga. "Ada hoodie lo di sini, pakai itu."
"Nanti aja, gue bisa mandi di rumah habis nganterin lo ke studio. Mau main catur dulu."
Sashi geram. Dia menghampiri dan menarik lengan lelaki itu. "Mandi. Lo bau keringet, bau oli juga. Main caturnya udahan dulu."
"Tapi, Shi ...."
"Pa, main caturnya udahan, oke? Biarin Lingga numpang mandi di sini."
Lukman berdeham kecil, melirik ke arah Lingga. "Kamu ganggu kesenangan orang aja," ucapnya pada Sashi.
"Nanti disambung lagi kalau ada waktu," sahut Sashi sebelum menarik Lingga pergi dari sana.
"Kasih pinjam baju kakakmu," teriak Lukman setelahnya.
"Iya!"
"Shi," bisik Lingga setelah mereka pergi dari halaman belakang dan melewati dapur di mana Dewi masih sibuk di sana, yang hanya memberi tatapan datar saat Lingga mengangguk sopan ketika pandangan mereka bertubrukkan.
"Gue ada banyak kaus lo di sini, pakai itu aja."
"Bukan itu," ujar Lingga. "Nggak enak sama bokap lo kalau gue tinggalin kayak tadi."
"Ga." Sashi menatap tajam. "Gue tahu lo segan banget sama Papa, lo juga berusaha terus buat ngambil hati Papa, tapi nggak gitu juga. Asal lo nggak berlaku seenaknya di depan Papa, atau bertingkat nggak sopan, Papa bakal tetep nerima lo. Gue nggak ngelarang lo main catur sama Papa, tapi bukan berarti lo juga nggak bisa buat bilang nggak, selagi lo nolaknya dengan sopan. Lagian, ini kan bukan nolak. Lo udah main sekali, itu udah cukup. Kalau diladenin, lo bisa seharian duduk di situ buat nemenin Papa main catur doang. Lain kali, coba ajak ngobrol Papa tanpa harus main catur. Mungkin itu lebih baik."
Lingga mendesah berat. Dia menunduk. "Gue nggak ngerti .... Ini pertama kalinya buat gue. Gue takut ngecewain lo atau orangtua lo," ujarnya pelan, membuat Sashi tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
De Todo[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...