Postlude 3: Kisah Cinta
Cinta itu mudah, kalau saja dilakukan dengan orang yang tepat. Sialnya, gue nggak pernah jatuh cinta dengan orang yang tepat.
Dua kali gue jatuh cinta, dua kali juga gue gagal.
Kenapa sih gue ini? Gue bertanya-tanya. Kesalahan apa yang gue lakuin di masa lalu sampai bikin gue dua kali secara beruntun apes perkara cinta? Kayaknya gue nggak pernah menyakiti mantan gue yang sebelum-sebelumnya sampai sebegitunya sampai gue harus kena karma.
Apa gue nggak sadar aja?
Gue nggak selingkuh. Nggak melakukan kekerasan. Bohong dikit-dikit doang, itu pun bukan karena perkara besar, gue melakukannya terkadang demi keberlangsungan hubungan itu sendiri.
Jadi, bagian mana yang salah?
Gue nggak berhasil menjalin hubungan dengan Nesti meski tahu kalau dia juga punya rasa sama gue, suka sama gue.
Gue nggak berhasil menjalin hubungan dengan Kak Mara karena dia yang menganggap bahwa perasaan gue hanya perasaan iseng semata, nggak serius, dan terkesan nggak berguna. Hanya main-main.
Dan gue bukan tipe orang yang mau memaksa seseorang untuk melakukan apa yang gue mau, memaksa diri gue untuk berjuang lebih terhadap cinta yang udah jelas-jelas tertolak. Memang sepertinya gue nggak cocok untuk dijadikan ikon perjuangan, karena gue bukan Lingga.
Kalau gue jadi Lingga, bertahun-tahun udah jatuh cinta mampus sama Sashi, tapi baru bisa jadian di lima belas tahun mereka jadi temen, gue mungkin bisa gila. Gue nggak bisa seperti itu. Dan mungkin di tahun pertama gue menyadari perasaan gue dan perasaan Sashi yang nggak untuk gue, gue sudah memilih untuk menyerah.
Ya ..., beruntung, gue nggak kenal Sashi dari jaman kami berusia sepuluh. Dan gue nggak jatuh cinta sama Sashi.
Terlebih lagi, soal Kak Mara ..., gue pernah bertanya iseng sama nyokap, "Ma, kalau Genta suka sama cewek yang udah pernah menikah, Mama bakal gimana?"
Iseng, tapi sejujurnya punya niat terselubung. Walaupun saat itu, jelas-jelas gue dan Kak Mara sudah berakhir. Hanya saja, gue sempat berpikir, kalau nyokap memberi lampu hijau, mungkin gue bisa berjuang sedikit lagi, mencoba lagi.
"Janda maksudnya?" nyokap bertanya balik, seraya meninggalkan pandangannya pada uang toko yang sedang dihitung.
"Ya ..., gitu deh sebutannya." Gue garuk-garuk kepala.
"Udah punya anak?"
"Misalnya, udah."
"Nggak," jawabnya tegas. Gue agak merinding.
"Kenapa?"
"Ya, emangnya nggak ada perempuan lain selain perempuan itu?"
"Misalnya nggak ada?"
"Tetep nggak."
"Kenapa?" Sejujurnya, gue takut, tapi gue penasaran.
"Kamu bisa aja ngambil hati ibunya, tapi anaknya? Emangnya gampang. Sekalipun anak itu bilang iya, dalam hatinya belum tentu. Bagi dia, papanya tetep satu, mau udah ada atau nggak. Dan Mama nggak mau anak Mama diduakan sama orang lain."
Oke .... Gue paham.
Gue baru mau akan bangkit dari sana, pergi menuju kamar saat nyokap memanggil lagi.
"Kamu suka sama istri orang, Ta?" Mata nyokap memicing tajam.
Gue panik, tapi berusaha untuk tetap menjaga raut wajah. "Nggak. Apaan, sih? Genta cuma iseng doang nanya."
Sejatinya, orangtua gue dengan orangtua Sashi hampir sama. Bedanya, gue lebih diberi kesempatan untuk memilih apa yang gue suka dan apa yang gue inginkan dalam hidup gue. Nyokap nggak terlalu banyak ngatur, bokap juga nggak terlalu banyak menuntut agar anak satu-satunya ini menjadi seseorang yang dia inginkan. Hal itu yang membuat gue nggak berani buat melawan apa yang orangtua gue ucapkan, karena selama ini mereka sudah memberi gue terlalu banyak kesempatan.
Val pernah sekali bertanya, "Lo serius sama Kak Mara, Ta?"
"Ya ..., serius. Gue nggak pernah niat main-main sama perasaan orang lain."
"Bukan itu maksud gue," Val kelihatan berpikir, memilih kata yang mana yang tepat untuk diucapkan. "Gue bukannya mau ngatur atau ngelarang, tapi coba lo pikir lagi deh. Gue nggak yakin nyokap lo bakal setuju."
Gue diam.
"Nerima anak orang di kehidupan orangtua buat jadi pasangan anaknya aja susah, Ta. Ada aja skenario nggak terimanya. Gimana kalau anak orang yang lo bawa ke kehidupan orangtua lo ini, ternyata udah punya anak. Nggak gampang nerima dua orang sekaligus. Apalagi dia bukan anak lo."
berlanjut ke Karyakarsa ....
-
udah bisa dibaca lengkapnya di akun Karyakarsa aku, ya .....
05/12/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Aléatoire[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...