[EPISODE 19] - Best Friend

1.3K 206 23
                                    

Kunci sukses sebuah hubungan untuk mencapai titik akhir itu bukan perkara waktu yang sudah ditempuh, melainkan tentang sebuah percaya.

Hasta percaya kalimat itu. Kalimat yang Sashi tulis dalam buku keduanya yang terbit satu setengah tahun lalu, yang sebenarnya bisa terbit lebih cepat, tapi karena perombakkan cerita, waktu itu jadi mundur, alasannya karena Sashi menyelipkan sedikit emosi tentang hubungannya bersama Gema, tentang perselingkuhan itu.

"Gema nggak percaya gue cinta sama dia, kalau percaya, dia nggak mungkin nyelingkuhin gue." Itu yang Sashi katakan saat dia bercerita secara terbuka pada teman-temannya perihal apa yang terjadi pada dirinya dan Gema.

"Dasar emang tukang selingkuh aja, Shi. Walaupun dia percaya, kalau mental pengkhianatnya udah tumbuh, mau gimana lagi? Emang sakit dia," Gentala berkomentar, dengan tenang namun penuh amarah.

Harga sebuah percaya itu mahal. Hasta juga percaya kalimat itu. Dia percaya Dhea mencintainya, dan dia juga yakin bahwa Dhea percaya rasa cinta Hasta untuknya.

Tapi entah mengapa saat ini rasanya begitu sulit. Satu setengah tahun bukan waktu yang sebentar. Sashi bisa menerbitkan satu atau dua buku dalam waktu satu setengah tahun. Valerie bisa syuting tiga sampai empat judul film dalam waktu satu setengah tahun. Ibram bisa menyelesaikan belasan ribu desain iklannya. Gentala bisa memotret jutaan objek. Lingga bisa memperbaiki ratusan motor dan mobil. Hasta bisa saja bermimpi untuk sampai ke puncak akhir seuatu hubungan bersama Dhea dalam waktu satu setengah tahun.

Satu setengah tahun. Rasanya terlalu menyedihkan jika berakhir sia-sia.

Sebelum bertemu dengan Dhea, Hasta pernah pacaran tiga kali. Satu kali ketika SMA, dan dua kali ketika kuliah. Semuanya tidak pernah ada yang menyentuh waktu satu tahun. Hubungan yang terakhir dia jalani selama tujuh bulan sebelum akhirnya putus karena mereka sama-sama sibuk mengerjakan tugas akhir. Emosi di sana-sini, beban di sana-sini, membuat akhirnya mereka memutuskan untuk selesai.

Kata itu terdengar sangat mengerikan saat ini.

Selesai.

Untuk pertama kalinya, Hasta memikirkan Dhea bukan tentang masa depan yang indah, melainkan masa depan yang buruk, tentang bagaimana kiranya mereka akan selesai.

"Kok kamu jadi nyalahin aku?" suara itu terdengar di ujung telepon. Suara melengkin Dhea yang penuh emosi setelah Hasta mengungkapkan betapa sulitnya mereka berkomunikasi akhir-akhirnya, betapa susahnya mereka untuk bertemu. "Sekarang aku tanya sama kamu, siapa yang selama aku di Surabaya susah dihubungin? Waktu aku pulang dari Surabaya terus ngajak ketemu, kamu bilangnya lagi di Bogor."

"Tapi aku emang lagi di Bogor, Yang. Kamu tahu kan aku lagi berusaha buat pulang tiap minggu, nemuin orangtua aku, adik-adik aku."

"Iya, aku tahu. Aku tahu banget, dan aku sama sekali nggak ngelarang. Tapi bukan itu masalahnya."

"Terus apa?" Hasta berusaha untuk tidak terpancing amarah, namun agaknya sedikit gagal.

"Kita seharusnya masih bisa ketemu setelah itu. Kalau kamu pulang tiap weekend, kita masih bisa ketemu weekday sehabis dari kantor, kan? Biasanya juga gitu. Kenapa akhir-akhir ini susah banget?"

Hasta mendesah. Dia sadar akan hal itu, sangat sadar. Tapi dia tidak punya alasan lain untuk dilontarkan selain, "Aku capek, Yang."

"Aku juga capek!" suara Dhea semakin meninggi. "Aku juga capek kerja! Sama kayak kamu, aku juga seharian capek dituntut ini-itu sama atasan, tapi apa dengan ketemu kamu aku tambah capek? Nggak, Yang, nggak. Aku justru cari kamu buat ngelepasin rasa capek aku. Aku justru cari kamu buat bikin aku semangat lagi. Tapi lihat apa yang terjadi? Aku yang cinta kamu dengan cara yang salah atau emang rasa cinta itu udah nggak ada sih di kamu?"

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang