[EPISODE 35] - 7 Days

1.2K 183 26
                                    

Baru kemarin Valerie memberitahu perihal Hasta dan kondisi mamanya. Dan seperti disambar petir, kabar tidak mengenakan itu datang begitu saja menghampiri kelimanya.

Bahkan rasanya baru beberapa menit lalu mereka berencana untuk menjenguk dan melupakan apa yang Hasta perbuat. Sekarang mereka sudah kembali berkumpul di Ruang Kosong dengan wajah duka yang begitu kental—Sashi dan Lingga sampai harus naik taksi karena hujan tak kunjung berhenti.

"Soal Hasta," kemarin Valerie memulainya begitu, matanya menatap satu per satu teman-temannya yang melihatnya penuh tanya. "Nyokapnya sakit. Kanker. Udah parah."

Sashi seketika menganga, tak percaya pada yang didengarnya.

"Beberapa hari lalu gue minta tolong Bang Bobi buat cari tahu soal ini. Sebenernya gue minta tolong buat cari tahu asal-usul artikel itu, sih. Tapi hasilnya jauh di luar dugaan gue," Valerie kembali berbicara. "Kita semua tahu artikel itu bisa muncul karena Hasta walaupun yang nulis bukan dia. Tapi nggak ada siapa pun yang tahu foto itu selain kita, kan?"

"Gue nggak lihat ada pegawai kafe yang coba masuk ke sini juga," sahut Ibram yang ketika itu langsung mengecek rekaman CCTV di depan pintu Ruang Kosong, yang memang tak merekam siapa pun di sana selain keenam penghuninya.

"Nah, Bang Bobi akhirnya nyari tahu soal itu. Ternyata, Hasta sengaja 'ngejual' info itu ke temennya yang kerja di portal berita lain. Foto lo waktu di kepolisian," Valerie menatap Lingga. "Itu Hasta sendiri yang motret, dan dia kasih ke orang ini. Namanya Chico, temen kuliahnya Hasta dulu."

"Gue kenal," Ibram kembali menyahut. "Nggak yang kenal-kenal banget, sih. Cuma sekadar tahu aja. Mereka emang lumayan deket. Gue beberapa kali sering lihat mereka setongkrongan di fakultasnya."

"Tapi buat apa Hasta 'jual' info itu?" tanya Sashi. Dia merasa tak ada satu pun benang merah yang bisa diambilnya dari setiap kata yang diucapkan Valerie.

"Nyokapnya butuh dana buat pengobatan," tebak Gentala dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.

Valerie mendesah. "Bener."

Sashi berdiri dengan emosi. "Kenapa sampai harus numbalin temen-temennya sih!? Dia pikir fungsinya punya temen itu apa!? Dia pikir kita ini semiskin apa sampai nggak bisa nolongin dia buat bantuin mamanya!?"

Lingga menarik kembali Sashi untuk duduk di sampingnya. Menggenggam tangannya dan mengusapnya, memberi ketenangan. Agaknya hari itu Sashi terlalu banyak emosi.

"Kayaknya si bangsat itu emang nggak pernah nganggep kita temen," sahut Gentala. Dibanding dengan Lingga, sesunggung Gentala adalah orang yang paling kesal terhadap apa yang terjadi pada persahabatan mereka yang berantakan karena Hasta.

"Terus sekarang mau gimana?" tanya Lingga setelah berhasil membuat Sashi lebih tenang.

"Kita jenguk nyokapnya. Gimanapun juga … kita temennya." Ibram menatap mereka semua.

"Kalian aja, gue nggak ikut. Males."

"Ta …." Valerie menghampiri Gentala. "Kalau lo bilang Hasta nggak nganggep kita temen, apa bedanya dong sama lo?"

"Ya, tapi, kan …." Gentala mendesah kasar. Ucapan Valerie ada benarnya, tapi dia tetap merasa sebal.

"Kapan?" Sashi bertanya.

"Gue besok ngantor, sih," ujar Ibram.

"Gue besok masih ada jadwal sampai sore, lusa baru free," Gentala ikut menambahkan.

Tiga sisanya jelas punya jadwal kosong.

"Ya udah, kalau nggak keberatan, habis Ibam beren ngantor, kita langsung ke sana. Kita cari penginapan deket sana, mumpung lusa weekend. Lo nggak ke kantor kalau weekend, kan?' Valerie menatap Ibam.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang