[POSTLUDE 2] - Hasta Nugraha

491 30 0
                                    

Postlude 2: Dipaksa Dewasa

Bapak dan Ibu nggak pernah mengajarkan gue secara langsung untuk menjadi lebih dewasa di depan adik-adik gue, untuk menjadi lebih kuat, untuk menjadi yang bisa diandalkan, nggak perah. Itu semua terbangun dengan sendirinya setelah gue melihat keadaan, situasi, kondisi, apa yang terjadi di keluarga gue.

Gue pikir, kalimat 'dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan' itu hanya sekadar kalimat biasa. Nyatanya, tanpa sadar, itu terjadi pada gue.

Saat mau masuk SMA, gue terpaksa pindah ke Jakarta untuk mengurangi beban keluarga karena saat itu keadaan ekonomi keluarga gue sedang nggak baik-baik saja. Nenek mengulurkan bantuan untuk mengurus gue di Jakarta, dibantu dengan Om Rusdi. Sampai akhir hayatnya, Nenek membiayai sekolah gue pakai uang pensiun Kakek yang turun padanya. Om Rusdi pun memberi gue uang saku meski gue nggak pernah sekalipun meminta karena Ibu dan Bapak mewanti-wanti gue untuk nggak membebankan Om Rusdi, karena walau sedikit, Ibu dan Bapak masih suka memberi gue uang saku.

Gue nggak pernah keberatan soal kepindahan itu, sebab yang gue tahu, itu demi kebaikan adik-adik gue. Toh, gue dengan cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, jadi gue nggak terlalu mempermasalahkan hal itu.

Atau mungkin sebenarnya saat itu gue belum mengerti saja ....

Saat mau kuliah, gue sempat bingung memilih jurusan. Gue bingung pada minat gue sendiri, apa yang sebenarnya gue inginkan, dan gue butuhkan untuk masa depan. Ketika teman-teman gue sudah mantap pada pilihannya, mungkin hanya gue yang kebingungan. Ibu dan Bapak ingin gue masuk Bisnis, katanya nanti kalau sudah lulus gampang cari kerja, dan kerjanya bisa di tempat bagus. Om Rusdi menyarankan gue untuk ambil IT, lagi-lagi katanya gaji pegawai IT gede-gede.

Tapi ujung-ujungnya, setelah galau, bingung, resah nggak jelas, gue masuk ke Jurnalistik, berharap setelah kerja bisa jadi penyiar berita keren yang tampil di TV.

Sejak kecil, gue punya cita-cita sederhana dan memang agak kekanakan ketika orang-orang bertanya apa keinginan gue setelah besar. Gue pengin masuk TV.

Karena kayaknya gue nggak bisa jadi artis, main film, jadi bintang iklan, apalagi nyanyi. Akhirnya pilihan gue jatuh pada penyiar berita dengan setelah jas dan rambut klimis keren. Meski semesta berkata lain.

Gue memang berakhir menyiarkan berita. Tapi bukan di TV, melainkan di media lain.

Ya ..., kadang-kadang hidup di dunia ini memang nggak usah melambungkan ekspektasi tinggi-tinggi. Sukur-sukur cuma belok ke arah lain, bukan malah dijatuhkan dari ketinggian itu.

Tapi tahu nggak, gue punya satu kebiasaan yang mungkin aneh tapi selalu gue lakukan kalau gue sedang banyak pikiran?

Naik transum.

Transportasi umum.

Seringnya sih busway karena haltenya nggak jauh dari kantor. Kalau lagi agak niat dikit, MRT boleh lah. KRL sekali-kali aja karena bukannya menikmati waktu di perjalanan, naik KRL malah bikin gue tambah stres karena saking padetnya, saking ramainya, saking banyaknya itu orang di dalam gerbong. Sampai detik ini gue cuma menemukan satu jalur KRL yang sepi—nggak sepakat jalur lain; yaitu jalur Stasiun Jakarta Kota sampai Stasiun Tanjung Priok.

Boleh dicoba.

berlanjut ke Karyakarsa ....

-

udah bisa dibaca di karyakarsa aku yaaa ....

03/12/23

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang