PRELUDE 1 : Kebebasan
•••
Dari kecil, gue bertanya-tanya, bagaimana rasanya bebas, rasanya diberi kebebasan, rasanya diberi pilihan.
Gue nggak pernah tahu bagaimana rasanya memilih sekolah mana yang gue suka. Gue nggak pernah menentukan tas seperti apa yang cocok untuk gue pergi ke sekolah. Gue nggak pernah diberi kesempatan untuk mengatakan bahwa gue lebih suka selai kacang daripada selai cokelat, gue lebih suka roti tawar biasa tanpa dipanggang. Gue ... nggak pernah diberi kesempatan untuk menentukan seperti apa masa depan yang gue inginkan.
Papa seorang dokter, dan Mama adalah seorang atlet tenis nomor satu sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun setelah menikah dengan Papa.
Gue dibesarkan dengan baik. Orangtua gue nggak pernah sekalipun memberi uang saku yang sedikit. Gue hidup berkecukupan sejak kecil. Gue punya kamar yang luas, yang penuh dengan boneka, yang punya kasur king size, yang selalu jadi bahan iri teman-teman gue semasa sekolah.
Sayang ..., orangtua gue nggak pernah memberikan gue sebuah pilihan. Satu-satunya pilihan yang mereka beri pada gue, tentang masa depan, adalah ..., "Sashi lebih suka lihat Papa pakai baju dokter atau lihat Mama main tenis?"
Saat itu gue menjawab, "Mama. Mama keren pas lagi main tenis."
Saat itu gue nggak tahu kalau itu adalah pilihan bagaimana ke depannya orangtua gue mengatur masa depan anaknya.
Ya, akhirnya Mama memutuskan menjadikan gue sebagai petenis. Lagi-lagi tanpa gue diberi kesempatan untuk memilih.
Kalau waktu bisa diulang, ketika gue diberi pilihan itu, gue akan menjawab, bahwa gue nggak suka keduanya. Gue nggak suka melihat Papa memakai jas putihnya. Gue nggak suka melihat Mama bersama raket dan bola kuningnya. Gue nggak suka.
Karena gue memang nggak pernah menginginkan jadi keduanya. Dokter dan atlet.
Tapi sekali lagi, gue nggak pernah diberi kesempatan untuk memilih, untuk berbicara tentang semuanya.
"Kalau lo nggak suka, kenapa dilakuin?"
Gue menatapnya, tepat di matanya, berusaha mencurahkan isi hati tanpa perlu mengatakan banyak hal, sebab dia tahu tanpa diberitahu. Dia tahu kalau gue membenci tenis, tanpa gue beritahu.
Saat itu usia gue lima belas tahun. Tahun kelima gue bertemu dan memutuskan berteman dengan bocah laki-laki bernama Lingga. Bocah seusia gue yang saat pertemuan pertama kami, dia tanpa sengaja menendang bola sepaknya ke tubuh gue yang berdiri di pinggir lapangan.
"Aduh, Non, nggak apa-apa?" Mbak Sari berseru khawatir. Gue nggak terjatuh, karena tendangannya memang nggak terlalu kuat. Tapi insiden itu membuat bocah-bocah seusianya yang sedang bermain di tengah lapangan, langsung menoleh ke arah gue.
Mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa gadis manja bersama pengasuhnya masuk ke stadion bola tak terurus ini. Gue berharap mereka nggak lupa kalau stadion bola tempat mereka bermain itu letaknya nggak jauh dari tempat latihan tenis, tempat para atlet tenis dilahirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Acak[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...