Suara televisi di ruang depan dan suara gemericik air hujan yang masih turun du luar rumah membangunkan Sashi dari tidurnya. Ada hal yang sudah jadi kebiasaan setelah tinggal dengan Lingga, yaitu meraba tempat tidur sebelum benar-benar bangun dan membuka mata.
Kali ini pun dia melakukannya. Dan Lingga tak ada di kasur bersamanya.
Mata Sashi terbuka, pandangannya lurus ke depan, pada langit-langit kamar. Menoleh ke seluruh ruangan, dan tetap tak menemukan Lingga di sana. Kemudian teringat apa yang dia lakukan sebelum tidur, membuat wajahnya terasa panas.
Bagaimana dia menghadapi Lingga setelah ini? Sashi jadi gugup sendiri.
Dia duduk, menunduk untuk menatap tubuhnya sendiri. Sudah berpakaian lengkap. Tapi ketika meraba dadanya, agaknya Lingga lupa memasangkan bra. Atau sengaja? Atau .... Ya, mungkin Lingga tahu kebiasaan Sashi yang tak pernah pakai bra ketika tidur makanya dia tidak memasangkannya.
Meski belum tahu harus bagaimana saat bertemu Lingga, dia tetap bangkit untuk mencari lelaki itu. Berjalan agak tertatih karena rasanya di sudut sana masih terasa sedikit perih.
Rumah ini tak punya banyak ruangan. Selain dua kamar, dapur yang sempit, dan kamar mandi yang minimalis, ruang tamu dan ruang bersantai sembari menonton televisi pun jadi satu. Sashi bisa langsung menemuka ruangan itu tepat setelah keluar dari kamar. Di mana televisi menyala dan Lingga meringkuk di sofa dengan matanya yang terpejam. Ada asbak dengan beberapa puntung rokok di dalamnya, juga bungkus rokok beserta koreknya yang terletak bersebelahan.
Sashi menghampiri, berjalan perlahan, sebelum ikut berbaring di sofa yang sempit itu. Menjejalkan tubuhnya pada ruang yang masih tersisa. Dan dia tahu Lingga terbangun karena hal itu.
"Udah bangun?" suara Lingga serak dan berat. Dia menarik tubuh Sashi untuk lebih dekat dengannya. Agar punggung itu lebih menempel pada tubuhnya, dan dia melingkarkan tangannya begitu rapat di perut Sashi sementara wajahnya mulai mengendus rambut belakang Sashi.
"Suara TV-nya ganggu, ya?" tanya lelaki itu lagi.
"Kok lo tidur di sini?" Sashi tak menjawab, dia justru bertanya.
"Tadi kebangun gara-gara suara petir, terus gue ngerokok bentar di sini. Eh, malah kebablasan tidur di sini."
"Gue nggak denger ada suara petir."
Lingga terkekeh. "Lo kan kalau tidur kayak kebo. Ada gempa bumi juga nggak akan tahu."
Sashi menyiku perut Lingga.
"Shi ...."
Dia bergumam.
"Masih sakit?"
Dia diam.
"Sashi ...."
"Dikit," jawabnya singkat dan pelan.
"Gue harus minta maaf nggak?"
"Jangan minta maaf. Jangan bikin seolah apa yang kita lakuin tuh kesalahan."
"Oke ...." Lingga mengecup pundak Sashi, tersenyum. "Kalau gitu ..., gimana?"
"Hah?"
"Gimana rasanya?"
Sashi tiba-tiba duduk, menatap Lingga dengan tatapan tak percaya. "Lo nyuruh gue nge-review?"
Lingga tertawa. Menarik kembali Sashi untuk kembali berbaring, kali ini di atas tubuhnya. "Sashi Azkiyana, coba berikan ulasanmu? Apakah kamu puas?"
Sashi memukul dada Lingga, membuat lelaki itu mengaduh.
"Nanti udah bisa bikin novel erotis dong, ya. Kan udah ada pengalaman," goda Lingga lagi.
"Bisa diam nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...