Postlude 1: Keinginan Spesial
Gue jarang sekali—atau malah nggak pernah—menanyakan perihal kehidupan gue akan seperti apa nanti, tentang masa depan. Ketika orang-orang di sekitar gue, khususnya teman sekolah, banyak yang mengeluh akan melanjutkan pendidikan ke mana, gue mungkin jadi satu-satunya yang nggak pernah memusingkan hal itu.
Karena orangtua gue sudah mengaturnya untuk gue.
Dari kecil sampai besar, tempat di mana gue bersekolah, Mama yang menentukan—kecuali ketika SMA, itu untuk pertama kalinya gue bersuara perihal keinginan gue yang sejatinya bukan sesuatu yang kecil seperti memilih rasa es krim yang gue inginkan. Belakangan gue tahu kalau izin itu gue dapat karena ada campur tangan Kak Arya di dalamnya.
Malam ketika gue ngambek karena menginginkan satu sekolah dengan Lingga di sebuah sekolah pinggiran, alih-alih menyetujui pilihan Mama untuk sekolah di sekolah internasional, Kak Arya mendatangi Mama, berbicara dengan serius, sedikit menuntut, agak memaksa Mama juga Papa untuk membiarkan gue sekolah di SMA yang gue mau dengan alasan agar gue lebih semangat latihan tenis.
Itu Mama sendiri yang cerita ketika untuk pertama kalinya pula, gue punya waktu berdua sama Mama untuk merasakan yang namanya deep talk.
Dulu gue punya banyak teman—sebenarnya gue nggak yakin bisa disebut teman karena hubungan gue dengan mereka nggak seperti hubungan gue dengan Lingga, Val, Hasta, Genta, atau Mas Ibam. Kami hanya saling mengenal, mengobrol, hangout sesekali. Mereka adalah teman gue di sekolah dan tempat latihan.
Sampai akhirnya gue bertemu dengan sosok Lingga, cowok dekil, kurus, bau matahari, dan seperti kekurangan gizi itu berhasil membuat gue melihat dunia yang lebih asik, yang lebih seru, dan yang lebih menyenangkan. Dia berhasil menunjukkan pada gue bahwa kehidupan tuh nggak seharusnya datar-datar aja kayak yang sebelumnya gue alami.
Dia orang pertama yang bisa membuat gue tertawa begitu lepas, yang membuat gue terkadang lupa apa yang selama ini sedang mengekang gue.
Jadi, nggak heran kalau gue mau dia jadi pacar gue seutuhnya. Bukan sekadar teman yang kata orang perhatiannya udah kayak pacar. Bukan sekadar sahabat yang mendahulukan gue daripada yang lainnya. Gue mau dia jadi milik gue. Seutuhnya, seluruhnya, semuanya.
Dan kenapa juga dia harus ada drama sok nolak gue dulu?
Padahal jelas-jelas, gue nggak butuh dia jadi superhero kebanyakan harta, gue cuma butuh dia. Bener-bener dia dan kehidupannya yang senantiasa membawa pelangi di kehidupan gue yang abu-abu ini.
Tapi sejujurnya, setelah gue berhasil jadi pacarnya, gue agak sedikit menyesal, karena ternyata Lingga super nyebelin.
Nyebelin banget.
Nyebelin saat dia nanya, "Skripsi sampai mana, Shi?" pas gue ngajak dia main keluar.
berlanjut ke karyakarsa ....
-
seperti biasa yang guise, bisa udah bisa langsung dibaca di akun karyakarsa aku (lautkelabu), bisa klik link di bio, atau klik link di bagian percakapan akun wattpad aku buat langsung menuju ke tulisannya ....
dan seperti yang aku udah pernah bilang di twitter/x, semua part postlude ini bakal aku publish secara lengkap di karyakarsa, jadi kalian bisa follow akun karyakarsa aku kalau nggak mau ketinggalan update-annya hehe
niatnya mau langsung di publish semua part, tapi gak jadi karena satu dan banyak hal lainnya aku memutuskan untuk nyicil aja, supaya kalian juga gak terlalu berat buat beli kontennya kalau mau baca sekaligus hehehe
untuk di wattpad, tetap bakal aku update bagian preview2nya yaaa...
jangan lupa follow akun twitter/x aku juga biar gak ketinggalan konten bucin lingga sashi lainnya hehe
selamat membaca dan terima kasih
30/11/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...